Copyrights @ Journal 2014 - Designed By Templateism - SEO Plugin by MyBloggerLab

Rabu, 01 Juni 2016

RASA YANG TERTINGGAL

Share




Gambar : Rumah Sakit Prof DR MA Hanafiah SM Batusangkar.
 “Jam Berapa pergi besok Bang ?” tanya adikku yang tinggal di asrama.
“Sekitar jam tujuh-an lah Jiko, besok kalau Bang masih tertidur panggail saja Bang dibawah,” jawab Irvan.
“Iya Bang,” sambil terus bermain game dengan temannya Aziz.
Memang malam minggu itu kebiasaan kami bermain game bola di notebook Irvan. Terkadang jika hari libur seperti jika hari jumat liburnya malam kamisnya pasti bermain ke mushalla Irvan. Namun Irvan pun senang ada adik-adiknya dari asrama yang berkunjung ke tempatnya. Daripada sendiri saja menghadapi malam-malam itu, bahkan malam itu juga mereka patungan untuk membeli berbagai makanan dan tidak lupa memberli kopi biar mata tetap menyala bermain game bola itu. Rasa seru, rasa penasaran selalu mengalir dalam jiwa mereka. Kalah dan menang itulah yang membuat mereka terus datang untuk bermain itu.

Terkadang jika tidak ada permainan itu di mulai dari jam sepuluh malam sampai berakhir ketika pukul empat pagi. Namun itu semua tidak mempengaruhi aktivitas Irvan dan juga adik-adik itu senang dan puas dengan permainannya. Itulah yang membuat Irvan selalu senang dalam hari-hari, berbagi dengan orang lain sudah menjadi kebiasaannya dan membuatnya senang. Memang ada kata-kata yang terus memotivasinya untuk terus membuat kebaikan setiap hari, kata-kata itu yang dibuatnya sendiri adalaha “Target hari ini membuat 1000 kebaikan.” Namun itulah yang terus ia usahakan walaupun itu banyak. Hanya Allah Swt yang tahu berapa target itu setiap harinya.
Permainan game bola yang masih sedang berlangsung itu baru pemanasan untuk memulai bermain liga antara kami. Setiap kami akan memdapatkan lawan komputer dan sistem kandang-tandang. Siapa yang kalah dia tidak akan bertemu, namun siapa yang terus menang dialah yang akan menjadi juara permainan itu. Setiap orang memiliki jagoan timnya masing-masing dan kami tentu juga memiliki jagoan kami juga. Jiko yang mengidolakan club Real Madrid FC dengan sederet pemain bintangnya yang lebih dikenal dengan sebutan losgalacticos atau bertabur pemain bintang seperti Ronaldo dari Brazil, Owen, Beckam, Casilas, Morientes, Roberto Carlos dan masih banyak lagi. Walaupun masih Wining Eleven tahun yang lama namun permainan itu sangat seru. Apalagi Aziz juga mengandalkan AC Milan dengan pemain yang begitu mencolok dan banyak juga pemain bintang disana seperti Sevchenko, Maldini dan masih banyak lagi. Sedangkan Irvan yang menjagokan Francesco Totti tentu dengan clubnya yang tidak asing lagi AS Roma yang hanya dikenal pemain satu itu. Namun ada keistimewaannya club ini walaupun hanya Totti yang menjadi bintang lapangan, dengan kekompakan permainan yang diperagakan Irvan akan menjadi momok yang sangat menakutnya bagi lawan-lawannya dengan membuatkan setiap pemain yang ada.
Laga demi laga terus berlanjut Aziz yang bermain lebih dulu dengan lawannya komputer. Sedangkan Jiko dan Irvan mengisi waktu sambil menunggu giliran mereka datang mengadakan perlawanan dalam catur yang juga sedag berlangsung. Memang permainan ini mengasah otak kita untuk berpikir dan hasil permainan catur antara kami berlangsung sengit satu sama. Itu berarti sama memilki kemenangan satu masing-masing, akan tetapi pada ronde berikutnya Irvan dapat mengelabuih Jiko dan skak mat. Dua satu score permainan dengan Irvan menjadi pemenang permainan itu.
Ternyata tanpa kami ketahui Aziz mengalami kekelahan dengan lawannya namun masih ada satu kesempatan lagi di tandang lawan. Jiko menjadi pemain yang akan melanjutkan liga dengan lawannya SS Lazio yang tidak bisa dianggap enteng. Namun diakhir permainan jiko mengalami seri 0-0 dengan dan masih mengisahkan laga tandang. Sama halnya Jiko begitu juga Irvan yang juga seri 0-0 dengan lawannya Inter Milan.
Akhirnya tibalah laga penentu bagi tim-tim masing masing. Aziz gagal melaju ke laga berikutnya sedangkan Jiko berhasil menang kelak dengan score 2-0 atas lawannya. Begitu juga Irvan yang sempat tinggal diawal, dia bahkan unggul diakhir pemainan selsai dengan score 3-1 dari lawannya. Mengisahkan tim dan Aziz hanya menjadi penonton saja sampai liga selesai. Akhirnya yang melaju ke babak final adalah Real Madrid dan AS Roma, itu berarti club mereka bertemu selain di papan caatur juga di dalam liga itu. Permainan sengit terjadi balas membalas dalam menyerang dan bertahan. Namun suara suporter Real Madrid bersorak keras dengan sundulan Zidane ke gawang AS Roma. Score satu kosong berlangsung sampai akhir turun minum. Namun pada babak kedua permainan padu AS Roma yang dimotori oleh sang captain Francesco Totti berhasil mengimbangi permainan. Umpan cip yang diselesaikan Mancini ke gawang Casilas dapat menbobol pertahanan Real Madrid. Laga semakin memanas dengan waktu yang tinggal beberapa menit lagi.
Balas membalas dan jual beli serangan terus saja terjadi, namun pertahanan tim juga tidak kalah hebatnya. Namun sesaat sebelum wasit meniup peluit panjangnya kembali Mancini mencatatkan namanya dipapan score dengan penyelesaian yang sempurna. Memang Irvan sudah mengetahui cara permainan lawan dan selain Casilas yang tangguh dibawah mister. Walaupun tendangan deras terjadi beberapa kali akan mampu dia tangkap namun kelemahannya adalah hanya dengan mengecoh sang kiper. Lagi-lagi bola cip yang melewati sang penjaga gawang kembali memungut bolanya yang kedua kali dari gawangnya. Peluip panjang tanda berakhirnya permainan dengan score akhir 2-1 atas kedua belah pihak.
Dengan hasil itu AS Roma menjadi pemenang liga dan menjatuhkan Real Madrid di babak final. Itulah kehebatan AS Roma yang yang tidak bisa diduga-duga, dengan permainan yang cantik dan kompak dapat mengalahkan club hebat dan besar seperti Real Madrid. Hanya senyuman kecil dan pujian yang keluar dari mulut Jiko dan Aziz.
“Hari ini memang miliknya AS Roma namun tidak dengan hari selanjutnya Bang,” begitulah komentar Jiko.
Tanpa kami sadari jam dinding sudah pukul setengah empat dan Jiko serta Aziz berpamitan pulang kembali ke rumahnya. Dengan mata yang sudah menyala lima watt Irvan mengantarkan mereka sampai ke pintu dan istirahat untuk mengimpan tenaga untuk bermain futsal di Hotel Pagaruyung Dua paginya. Walaupun kekurangan tidur, namun jika olahraga tidak pernah ada kata lelah buat Irvan. Bahkan setelah shalat subuh selesai Irvan kembali melanjutkan istirahatnya agar kuat bermain futsal nantinya.
“Bang Van....Bang Van....,” suara Jiko dari luar.
Dengan mata yang masih layu Irvan membuka kedua matanya dan melirik jam yang sudah pukul tujuh. Hanya jawaban kecil dan membukakan pintu Jiko menunggu di kamar kecilnya Irvan dengan tas yang berisi sepatu Jiko melihat-melihat foto-foto yang terpasang di kamar Irvan.
“Tunggu bentar ya Jiko,” sambil turun ke bawah.
“Iya Bang,” jawabnya.
Sambil memanaskan mesin Simerah di depan mushalla sebentar dan langsung mencuci muka dan yang lainnya. Hanya menunggu lima menit mereka pun siap untuk berangkat ke Hotel Pagarung Dua untuk bermain futsal dengan rombongan kader PKS setiap minggunya disana. Walaupun ada pemain yang sudah dewasa namun banyak yang masih kuliah berdatangan pada hari itu. Sistem pemainan dengan siapa yang kalah dia yang keluar atau siapa yang capek bisa bergantian dengan temannya yang belum bermain. Tidak berapa lama berjalan kamipun sudah sampai di depan lapangan futsal. Ternyata sudah ada beberapa orang disana dan hanya menunggu sekitar beberapa menit pintu lapangan dibuka oleh si penjaga. Pemain yang sudah lebih dari sepuluh orang memasuki area lapangan futsal. Kami yang datang telat sengaja tidak bermain lebih dulu karena masih banyak pemain yang lain. Akhirnya kami bermain pada laga kedua, memang durasinya lima belas menit untuk satu pemainan. Namun dengan terus berlari juga menguras tenaga yang ada, namun kurang tidur tidak membuat permainan Irvan kurang dan sama dengan biasanya. Apalagi AS Roma yang menjadi juara akan berdampak kepada permainan yang baik juga. Ternyata benar permainan sangat seru, walaupun tidak mencetak gol Irvan sempat  memberikan beberapa assist kepada teman satu timnya untuk mencetak gol.
Bermain sebagai gelandang adalah kesukaannya dari dulu. Serta bermain menyerang dan bertahan tidak dilupakannya serta pemainan dengan skill yang sedikit mencolok dapat diperagakannya. Bola yang melewati kolong lawan yang seolah-olah dihipnotis membuka kakinya sering terjadi dan membuka peluang timnya untuk mencetak angka. Akhirnya timnya menang dan lawan berikutnya kembali diganti. Lagi-lagi tim mereka menang dan dengan permintaan temannya dia istirahat diluar karena sudah telalu lama bermain juga. Tanpa disadari pukul sembilan lewat setengah jam permainan selesai. Kamipun pulang setelah berpamitan dengan teman-teman yang lainya. Tanpa Irvan sadari sepatu futsalnya ketinggalan di lapangan.
Setelah selesai mandi dan meletakkan barang-barang di tasnya di tempat semula dia tidak menemukan sepatu futsalnya. Baru dia ingat bahwa sepatunya ketinggalan di lapangan, karena akan ke tempat Kak Mursal di Rambatan. Dia kembali mengambil sepatunya yang memang masih terletak di bawah meja dekat dia membuka sepatu di akhir permainan.
Beberapa menit berjalan, sebelum ke rumahnya Irvan membeli perlengkapan paket untuk memasang listrik baru dekat rumahnya. Setelah membeli semua perlengkapan yang dibutuhkan Irvan melaju dengan Simerah yang selalu setia menemaninya ke rumah isteri Kak Mursal. Ternyata Kak Mursal sedang duduk-duduk di rumahnya dengan anak-anak dan isterinya. Sambil meletakkan semua peralatan listrik itu ke dalam rumah.
“Sudah makan Van ?” tanya Kak Mursal.
“Nanti sajalah Kak,” jawabnya.
“Makanlah dulu kami baru saja selesai makan.”
Akhirnya aku saparan dulu sebelum melaksanakan pekerjaan di tempat orang. Beberapa menit berlalu akhirnya kami berangkat dengan motor yang tidak jauh dari rumah Kak Mursal. Anaknya Nesta juga ikut ke tempat kami bekerja, hanya beberapa jam setelah itu Nesta meminta pulang. Akhirnya Kak Ega menjeputnya dan membawanya pulang. Pukul empat sore kami sudah selesai memasang paket untuk rumah baru itu. Baru sampai di rumah hujan lebat turu membasahi bumi. Setelah membersihkan diri dan shalat ashar kamipun istirahat di depan televisi sambil nonton TV.
Kak Mursal mengambil siaran Metro TV dengan acara Stand up comedi betle of comics. Acara yang menayangkan kelucuhan dan tata cara mengeluarkan kata-kata yang lucu sehingga orang yang mendengarnya tertawa. Memang cocok sekali untuk menghilangkan stes sehari-hari. Pada acara itu tentang UN Vs Anti Begal yang sedang marak-maraknya di tengah-tengah masyarakat. Begal yang mereka artikan dengan berandalan ngalau dalam acara tersebut. Sedang asyik-asyiknya menikmati acara televisi itu, tiba-tiba saja suara handphone Irvan berbunyi. Nama yang tidak asing lagi tertulis di ponselnya, namun memberikan tanda tanya yang besar serta fisasat tidak enak terhadap.
“Kenapa tiba-tiba saja Vinda nelpon padahal biasanya tidak pernah,” pikir Irvan.
Setelah Irvan mengangkat telpon itu ternyata benar kabar kurang enak disampaikan Vinda kepadanya. Bahkan dia sedang di rumah sakit Koto atau rumah sakit PROF. DR. MA. Hanafiah SM Batusangkar sekarang ini. Tanpa menunggu waktu yang lama Irvan berpamitan kepada Kak Mursal dan Kak Ega untuk pulang ke rumah walaupun hujan lebat sedang berlangsung. Dengan mengunakan mantel plastik berukuran kecil dengan warnah merah yang menyelimuti tubuh bagian atas. Walaupun tidak semua tubuh Irvan yang tertutup namun karena rasa penasaran yang tinggi dengan kesehatan Vinda. Dia terus melaju dengan kecepatan tinggi yang tidak mempedulikan lagi keselamatan dirinya. Dalam benaknya hanya ingin cepat sampai di rumah sakit dan melihat kondisi Vinda yang disana.
Tengah hujan yang lebat serta kecepatan yang sangat tinggi akan sangat berisiko terhadap kecelakaan. Namun dengan perlindungan-Nya dan rasa pedulinya terhadap Vinda dia tidak lagi memikirkan keselamatan dirinya walaupun jatuh. Mungkin tidak akan menghalangi niatnya untuk terus sampai ke rumah sakit. Sekitar sepuluh menit berjalan akhirnya Irvan sampai di rumah sakit dan langsung menuju VIP A ruang 8. Sebelumnya Irvan yang pernah juga berkunjung ke VIP A yang sama namun ruang yang berbeda. Dengan rasa naluri yang tinggi dan langkah yang pasti dia terus melangkah cepat dan menuju ke VIP A yang tertuliskan besar di depan ruangan itu.
Rasa dingin yang mengelimutinya dalam perjalanan tidak terasa dan hanya kecemasan yang ada dalam dirinya. Dengan langkah cepat dan mata yang tajam, dia memandang ke setiap sudut ruangan. Akhirnya dia sampai di kamar 8 disana tertuliskan, “Ruang 8 Anggun Sari (ruangan ini sumbangan Ibu Era Harum.” Yang terletak di depan ruangan 7 dengan nama Tuanku Lareh.
Detak jantung yang semakin cepat sebelum melangkah ke dalam ruangan itu.
Assalamu ‘alaiku,” sambil masuk ke dalam.
Wassalamu ‘alaikum,” balas Vinda dan adiknya.
Terlihat Vinda yang sedang terinfus di atas kasur dengan wajah yang pucat dan terasa berbeda dengan sebelumnya. Masih terus berdiri Irvan memperhatikan sekujur tubuhnya wajah serta infus yang masih terpasang di tangannya sebelah kiri. Walaupun terlihat pucat namun Vinda tetap mencoba berusaha untuk tersenyum dan merasa senang dengan kedatangan Irvan. Walaunpun sebenarnya semua itu dipaksakannya. Vinda yang awalnya merebahkan dirinya di atas kasur mencoba duduk dengan pakaian berwarna pink bergariskan orange. Namun Vinda tidak mengunakan jilbabnya pada saat itu. Terlihat rambut indah Vinda yang lurus terurai dan senyumannya yang indah. Begitulah Vinda berusaha untuk tetap mencoba memperihatkan kalau dia kuat menghadapi penyakitnya itu.
“Vinda,,,,”
“Sakit apa Vinda ?” dengan nada yang sedikit gemetar.
Entah karena kedinginan atau cemas Irvan tidak tahu apa yang terjadi. Karena rasa dingin seperti tidak dia rasakan dan seperti tidak melewati hujan. Padahal hujan deras yang menimpanya sepanjang perjalanan tidak dirasakannya lagi.
“Baru saja dikasih kabar sudah sampai Van disini,” belum langsung menjawab pertanyaan Irvan.
“Pesan Vinda yang aneh dan pertanda Vinda sedang sakitlah, Van langsung menuju kesini. Sakit apa Vinda ?” tanya Irvan lagi.
“Vinda terkena DBD (Demam Berdarah Dengue) Van.”
“Sejak kapan Vinda di rumah sakit ?”
“Sejak jam 13.00 WIB siang tadi Van. Tadi rencana pagi mau kesini namun karena hujan di Bukittinggi turun deras dan lama berhentinya. Akhirnya kami menempuh hujan dengan bus,” jawabnya.
“Sudah berapa lama Vinda terkena penyakit ini ?”
“Sebenarnya sudah satu bulan yang lalu, namun tahunya baru dua mingggu yang lewat Van. Ketika cek darah yang kedua dokter mengasih tahu Vinda dan harus di rawat di rumah sakit. Daripada Mama jauh-jauh setiap hari melihat ke Bukittinggi mendingan di Batusangkar lebih dekat,” ungkapnya.
“Lalu skripsi Vinda sudah sampai dimana ?”
Itulah Van, padahal sedang bimbingan dan bagaimana lagi ?” dengan nada pasrah.
“Obatnya sudah dimakan Vinda ?”
“Sudah tadi Van nanti sekitar dua jam lagi.”
“Semoga cepat sembuh Vinda, Van yakin dan percaya Vinda pasti bisa. Terus semangat Vinda, jangan sampai Van duluan daripada Vinda nantinya,” sambil tersenyum kecil.
“Iya Van itu pasti. By the way skripsi Van sudah sampai mana ?”
“Masih perbaikan juga Vinda insyaallah Van akan mengejar langkah Vinda yang sudah jauh.”
“Semoga lancar-lencar saja Van dan terus semangat juga,” sambil tersenyum kecil.
Tiba-tiba saja ada suara orang masuk dari luar dan ternyata itu adalah suster yang akan memeriksa suhu panas badan Vinda.
“Tolong diletakan di lengan dan tunggu beberapa menit,” sambil menyerahkan alat itu kepada Vinda.
“Iya Buk.”
“Nanti Buk ambil lagi ya Dek,” sambil keluar ruangan.
Berbincangan maka berlanjut dan hal-hal tentang skripsi sampai kepada begallah, dan yang lucu-lucu. Irvan merasa senang sudah bisa sedikit membuat Vinda tertawa dan melupakan sakitnya. Namun suster tadi kembali dan mencek ternyata suhu badan Vinda sangat tinggi karena itulah dia merasa kepanasan dari tadi dan membuka jilbabnya. Bunyi detik air infus yang terus terdengar dan tanpa terasa sudah lebih satu jam Irvan disana. Suara azan magrib ditengah-tengah hujan deras berkumandang sangat merdu.
“Obatnya di minum ya Vinda dan semoga cepat sembuh. Jika Vinda sudah pulang kasih kabar sama Van ya ?” sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam tas.
“Iya Van, terima kasih sudah menemani Vinda disini dan sebentar lagi orang tua Vinda juga akan sampai disini.”
“Tidak apa-apa Vinda. Van juga senang bisa menemani Vinda disini. Ini adalah sedikit makanan yang Van bawa,” sambil memberikannya kepada Vinda.
Dijalan tadi Irvan menyempatkan diri untuk membeli sebuah roti yang akan diberikan kepada Vinda.
“Sekali lagi terima kasih Van, ini sudah lebih daripada cukup. Hati-hati pulang Van dan jangan lupa shalat dulu di mushalla di depan.”
Hanya anggukan kecil yang dapat menjawab jawaban Vinda dan setelah berpamitan dengan Vinda dan adiknya Irvan berjalan keluar ruangan. Seperti yang disarankan Vinda Irvan melaksanakan shalat magrib dulu di mushalla rumah sakit itu. Setelah shalat dan berdoa agar Allah memberikan kesehatannya kembali. Irvan berjalan dengan Simerah ke rumah dan hujan masih turun namun tidak deras lagi. Dengan mantel sederhana itu dia kembali berjalan dengan Simerah menelurusi setiap inci demi inci jalanan basah itu.
Siang selasa itu Irvan berniat akan menegok Vinda kembali di rumah sakit. Karena Irvan tahu kalau Vinda merasa kepanasan di rumah sakit. Dia mencoba membelikan minuman kelapa muda kepada Vinda agar dengan minuman tersebut dia sedikit lega dengan suhu tubuhnya yang panas. Mampir sebentar di warung yang menjual minuman kelapa muda dan Irvan kembali menuju rumah sakit. Pukul 12.46 WIB Irvan sudah berada di depan ruangan Vinda dan dengan hati-hati dia masuk ke dalam. Namun yang dia dapati hanyalah sebuah kasur yang kosong dan seorang suster yang sedang membersihkan kasur sebelahnya.
“Maaf Buk, pasien disini dimana Buk ?” tanya Irvan.
“Siapa namanya Dek ?”
“Namanya Vinda Buk.”
“O...dia sudah pulang dari tadi sekitar pukul sebelas.”
“Terima kasih Buk,” sambil keluar ruangan itu.
Rasa senang bercampur dengan rasa sedih. Senang karena Vinda sudah pulang, itu berarti Vinda sudah baikan dan karena itu sudah dibolehkan pulang. Disisi lain Irvan merasa sedih karena Vinda tidak memberikan kabar kalau dirinya sudah pulang ke rumahnya. Niat hati Irvan ingin memberikan minuman kelapa kepada Vinda tidak jadi terjadi dan dibawa pulang kembali. Itu berarti belum lama setelah Irvan sampai Vinda sudah satu jam empat puluh enam menit yang lalu pulang ke rumah. Irvan sengaja tidak memberitahukan kepada Vinda kalau dia tadi ke rumah sakit dan dia masih menunggu pesan dari Vinda sampai pukul dua belas malam. Lewat pukul dua belas malam pesan yang ditunggu-tunggu Irvan belum juga datang dan dia mengirimkan pesan singkat kepada Vinda.
“Syukurlah Vinda sudah boleh pulang dan semoga cepat sembuh Vinda.”
Sehari setelah kejadian itu Irvan merasa kurang enak badan dan terkena deman tinggi selama tiga hari. Namun dia tidak ingin memperlihatkan rasa lemahnya kepada orang dan berusaha terus melakukan aktivitasnya setiap hari walaupun dengan kondisi tubuhnya yang kurang sehat. Irvan yang tidak ingin membuat Vinda terbebani tidak pernah memberitahukan kondisi dirinya sebenarnya kepada Vinda hingga seminggu setelah itu badannya mulai terasa sehat kembali.



0 komentar:

Posting Komentar