Copyrights @ Journal 2014 - Designed By Templateism - SEO Plugin by MyBloggerLab

Jumat, 08 Januari 2016

MBAH GOOGLE

Share

Gambar: Ilustrasi 'Mbah Google.


Zaman modern saat ini segala macam dan segala sesuatu bisa saja terjadi. Bahkan sesuatu yang rumit dan tidak termakan oleh akal sehatpun menjadi fenomena yang sangat membanggakan bagi seorang penemu. Berbagai macam penemuan dari yang terkecil sampai yang terbesar, bahkan dari yang biasa-biasa saja sampai kepada yang luar biasa sekalipun. Semua bermunculan sesuai perkembangan zaman dan perkembangan pola pemikiran umat manusia saat ini. Bahkan orang-orang yang sudah lama meninggal dunia masih kita dengar namanya disebut-sebut oleh banyak orang, bahkan seolah-olah mereka masih hidup walaupun mereka sudah berabad-abad meninggalkan dunia ini. Orang yang sudah meninggal dunia dengan karya-karya dan penemuannya yang sangat bernilai dan menjadi berjasa bagi seluruh umat manusia itu menjadi hidup kembali bahkan namanya menjadi harum dan dikenang di seluruh belahan dunia.

Beberapa nama-nama tersebut diantaranya: Ibnu Rush sebagai Bapak kedokteran dan karyanya menjadi dasar bidang kesehatan di belahan dunia manapun. Al-Khawarisme penemu ilmu matematika atau logaritma, Thomas Alfa Edison penemu bola lampu yang digunakan jasanya oleh seluruh dunia, dan masih masih lagi yang tidak dapat dipaparkan satu persatu. Bahkan penemuan mereka menjadi salah satu penemuan yang memberikan jalan pembuka kepada penemuan-penemuan baru di setiap belahan dunia.
Namun ada suatu nama-nama yang disamakan dengan para normal atau sejenis tempat bertanya segala sesuatu yang dibutuhkan oleh setiap pasiennya. Ini bukan soal dukun-dukun yang mampu menafsirkan dan meramalkan masa depan seseorang. Akan tetapi segala sesuatu bermula dari sini, seorang mahasiswa awal yang biasa yang selalu terkendala dengan permasalahan belajarnya dan mencari bahan-bahan perkuliahannya.
“Sedang apa kau, Bas ?” tanya seorang anak yang datang tiba-tiba sambil menyejutkan temannya.
“Aaakkk,??” tidak tahu apa yang dijawabnya.
“Kenapa wajahmu berantakan seperti itu ? apa kau sedang galau ?” tanya Riki temannya.
Lamunan Abas nama lengkapnya sangat dalam dan dia baru sadar kalau Riki sudah lama berdiri di dekatnya. Bahkan jika tidak dikejutkan bahunya oleh Riki maka Abas mungkin tidak akan sadar dalam lamunannya tersebut.
“Tidak Ki, aku hanya sedikit sakit kepala,” mencoba mencari alasan.
“Memangnya banyak tugas kamu hingga membuatku pusing tingkat dewa ?”
“Aah...tidak juga, karena....Mnnnnn,” mencoba menyembunyikan masalahnya.
“Eeh,,,jangan bohong kamu, biasanya kamu dulu tidak seperti ini. Tapi mengapa baru-baru ini kamu kelihatan begitu stres ?”
“Begini Ki, aku pusing dengan berbagai tugas-tugas yang selalu membuatku pusing hingga tingkat dewa. Apalagi aku setiap hari selalu ada tugas dari dosen dan berbagai resume-resume yang harus dikumpul setiap hari, bahkan untuk mencari bahan presentasi saja sudah setengah mati aku cari bahannya ke perpustakaan kampus, namun itu tidak semua bahan yang aku dapatkan,” mencoba menjelaskan karena temannya sudah mengerti dengan dirinya dan tidak mungkin menyembunyikan semua itu.
“O...jadi begitu masalahmu ? Mengapa tidak dijelaskan dari awal, dan mengapa juga harus diawali dengan kebohongan ?” mencoba menginggung temannya.
“Maafkan aku Ki, aku tidak tahu harus bercerita kepada siapa selain sahabatku dari dulu. Hanya kau yang mengerti aku dan tempat bertanyaku,” mencoba menjelaskan.
“Iya aku maafkan, namun aku tidak selalu bisa menjawab pertanyaanmu. Karena masih ada suatu tempat yang sangat tahu berbagai macam hal yang kamu tanyakan temasuk permasalahanmu tadi.”
“Aku serius nih ? Memangnya benar-benar ada ya tempat kita bisa menemukan semua itu ? Apakah tempatnya jauh ? Atau bayarnya pasti mahal ya ?” mencoba mencari tahu.
“Eeh, kenapa kamu bawel banget Bas, itu tidak sama dengan apa yang kau pikirkan. Memang kamu pikir itu mbah-mbah yang selalu dikunjungi oleh orang-orang untuk meminta nomor undian judi atau para normal yang selalu membuat berita-berita palsu apa ?”
“Memang apa Ki ?Aku kira seperti itu tadi.”
“Serius kamu benar-benar ingin kesana dan mendapatkan setiap jawaban yang kau pertanyakan ?”
“Iya aku serius bahkan puluhanrius Ki,” dengan wajah gembira.
Beberapa saat Riki mengajak Abas untuk mengunjungi tempat yang dimaksudnya, mereka berjalan menelusuri jalanan yang sedikit basah karena sebelumnya hujan sempat membasahi jalanan yang kering. Bahkan di dalam perjalanan Abas terus mendesak Riki apa yang dia maksud itu, namun Riki tetap saja menyembunyikannya hingga mereka benar-benar sampai di tempat tujuan. Perjalanan mereka sekitar tiga kilo dari jarak rumah mereka yang kebetulan berada di dekat persawahan yang begitu indah ditambah dengan perbukitan yang menjulang tinggi. Seolah-olah memberikan keindahan yang tiada tara bagi mereka yang tidak pernah berkunjung ke pedesaan dan hanya menikmati tingginya gedung-gedung pencakar langin yang tinggi di kota-kota.
Akhirnya kedua sahabat sejoli itu sampai di depan sebuah rumah dan disana ada beberapa orang yang sedang asyik mengunakan alat tersebut.
“Ini tempatnya Bas,” sambil menunjuk tempat itu.
“Tempat apa ini Ki ?” masih bingung dengan semua itu.
“Hey Bas, memangnya kamu kira kita masih zaman batu atau zaman nenek moyang kita dulu kala apa ?”
“Ya elah kamu seperti tidak tahu aku saja, aku kan jarang keluar rumah dan tidak pernah mengunakan apalagi mempelajarinya. Maksudnya, aku belum pernah mengunakan alat ini sebelumnya. Lagipula sekarang memang zamannya batu kan ?”
“Hey itu beda lagi dengan batunya pada zaman nenek moyang kita dulu, sekarang batunya sudah modern sama seperti orangnya. Bahkan sangat cantik dan bagus daripada batu-batu dulu,” mencoba menyanggah perkataan sahabatnya.
“Ya deh, maaf. Aku akan hanya just kidding Ki,” mencoba membujuk hati sahabatnya lagi.
“Ya deh, tapi kita masuk dulu yuk,” sambil berjalan ke depan alat tersebut.
Terlihat wajah bingung atau wajah bodoh Abas yang tidak pernah mengunakan alat itu sebelumnya. Namun dengan bantuan temannya dia mencoba belajar dan mengaplikasikannya.
“Mula-mula kita baca basmala dulu Bas,” mencoba menerangkannya.
“Memang itu syarat-syaratnya ya Ki ?”
“Ya iyalah, masa ya iya dong, perhatikan Bas. Setelah itu buka aplikasi ini, namanya “Mbah G-O-O-G-L-E” dan tulis dikolamnya apa yang kamu inginkan,” mencoba menerangkan dengan rinci.


“Kalau kita mintak air bisa ngak Ki ?” mencoba bertanya.
“Bisa, namun tidak dapat diminum. Akan tetapi disebelah bisa,” sedikit iseng.
“Maksud kamu air sungai, ya iyalah Ki.”
“Makanya bertanya itu yang sewajarnya bukan yang tidak wajar.”
“Iya deh BOS.”
“O...ya Ki, Goog..apa tadi namanya tadi Ki ?”
“Maksud kamu Google ?”
“Ya itu maksudku, itu nama siapa dan dimana tinggalnya Ki ?”
“Itu nama leluhur kita namun dia sudah berada di tempat yang sangat jauh,” mencoba menyela.
“Aku serius nih Ki ?”
“Ya ela kamu nanyanya yang aneh-aneh saja dari tadi. Ya tentu Google bukan nama orang namun pragramnya. Akan tetapi seperti yang telah aku jelaskan kepadamu tadi, dia mampu menjawab semua pertanyaanmu. Coba kau bertanya tentang salah satu masalahmu tadi ?”
“Baiklah, aku kesulitan mencari bahan kuliahku tentang tokoh-tokoh pembaru Islam, yang tidak aku temukan bukunya di perpustakaan kampus.”
“Oke, kamu ketik namanya disini, tokoh-tokoh pembaru Islam, lalu enter.”
Beberapa saat Abas memperhatikan temannya Riki mengetik dan melihat tampilan yang ada di layar komputer itu. Beberapa saat terlihat beberapa nama-nama yang di tulis Riki di layar komputer itu. Namun dengan gesit Riki kembali mencoba menerangkan bagaimana cara menemukan apa yang dicari tersebut.
“Jadi setelah semua itu keluar maka kamu pilih satu demi satu yang kamu inginkan dan yang mengarah apa yang kamu inginkan. Karena segala macam bisa keluar disini tergantung apa yang kamu inginkan,” mencoba menjelaskan.
“Hebat juga ya Ki, aku tidak repot-repot untuk mencari buku-buku pada satu tempat lagi dan aku sangat berterima kasih padamu sahabatku. Solusi yang kau berikan sangat manjur dan aku menemukan Mbah baru untuk penawar segala permasalahanku dan apa yang terbesit dalam pikiranku.”
Entah berapa lama lama mereka berada di rungan rental komputer itu, hingga mereka terlihat berjalan berlahan-lahan meninggalkan tempat Mbah yang aji manjur itu. Sinar mentari yang sudah hampir ditelan kegelapan mulai beransur-ansur kembali pada peraduannya. Maka dua sahabat itu berjalan dengan rasa happy dan wajah cerah serta yang satu sangat senang melihat tingkah sahabatnya yang sudah tidak terlihat berantakan lagi. Beberapa lama berjalan maka mereka sampai depan rumah Riki dan mereka berpisah serta pulang ke tempat masing-masing.
***
Beberapa hari kemudian, terlihat seseorang tergesa-gesa berjalan cepat menuju kampus dengan baju merah kebanggaannya.
“Hay Bas, mengapa buru-buru ?” tanya Riki temannya.
“O...kamu Ki, apakah dosen sudah masuk lokal ?” sambil mendekati Riki.
“Aku baru saja akan ke lokal, gimana tugasmu ? Apakah sudah selesai ?”
“Tentunya dong, kan ada Mbah G-O-O-G-L-E ......” sambil tertawa terbahak-bahak.
“Oups...iya juga ya, kenapa kamu kembalikan kata-kataku tempo hari kepadaku lagi ?”
“Ya iyalah, berkat bantuanmu aku bisa berobat kapan saja dan konseling deh,” sambil tersenyum.
“Hey bukan berobat ataupun konseling Bas, tapi brosing, searching, download dan masih banyak lagi,” mencoba menjelaskan.
“Iya itu maksudku Ki, kita tadi kan bicara Mbah makanya jawabannya juga harus lebih dekat kepada itu dong.”
“Iya juga ya, boleh juga. Ucapkan terima kasih juga sama jajarannya dong, yaitu Mbah Google dan jajarannya ?”
“Iya deh, nanti aku kirim lewat email,” sambil tertawa kecil.
Sejak pertemuan mereka tempo hari itu, kapanpun dan bagaimanapun kedua sahabat itu sering bertemu di warnet terkadang mencari tugas-tugas dan bahan-bahan perkuliahan. Walaupun perpustakaan tetap mereka kunjungi dan mencari referensi lain di internet sebagai bahan tambahan yang akan mereka diskusikan nantinya. Bahkan apapun yang dicari mereka selalu meminta bantuan Mbah Google dan selanjutnya baru shering dengan teman-teman serta dosen di dalam kelas.

0 komentar:

Posting Komentar