Copyrights @ Journal 2014 - Designed By Templateism - SEO Plugin by MyBloggerLab

Kamis, 14 Januari 2016

Jodoh Tidak Akan Kemana versi “CDKS”

Share


Foto: Irzen Hawer penulis novel 'Cinta di Kota Serambi.'
Tiga tahun berlalu.
Sorek-sorai teriakkan siswa-siswa SMA Negeri terdengar seakan meruntuhkan bangunan sekolah itu. Didepan mading sekolah kerumunan siswa-siswi saling bergantian melihat pengumuman kelulusan UN SMA Negeri yang telah berlalu beberapa minggu yang lewat. Terlihat beberapa anak-anak saling berpelukkan satu sama lain, ada yang menangis bahagia, ada yang menangis terharu, dan ada juga yang menangis takut akan kehilangan sahabat-sahabat mereka selama tiga tahun yang lalu dan berpencar-pencar nantinya. Bahkan ada siswa-siswa yang mencari guru-guru mereka sampai ke dalam kantor untuk memeluknya dan mengucapkan terima kasih. Deraian air mata tidak bisa ditahan lagi, satu per satu siswa-siswi saling memeluk guru-guru mereka. Mereka merasa sangat bahagia dengan apa yang telah mereka lakukan selama ini, apa yang mereka usahakan untuk mencapai UN yang sukses.
Tiba-tiba saja, terdengar teriakkan dari sudut ruangan begitu keras sampai-sampai semua mata tertuju padanya.
“Horeeeeeeeeee.....aku lulus...aku lulus...!”
“Horeeeeeeeeee.....aku lulus...aku lulus...!”
“Horeeeeeeeeee.....aku lulus...aku lulus...!”
“Ibu, Ayah, Minah, akhirnya aku lulus...!”
Suara itu memecahkan keributan yang terdengar dari tadi, ternyata anak lalki-laki itu sangat senang,dia adalah Syamsu dinyatakan lulus dalam ujian akhir sekolah. Tidak terbayangkan betapa senang dan bahagianya selama tiga tahun tahun yang lalu dia berjuang demi mencapai tekat dan cita-citanya. Dari awal dia mendaftar di sekolah ini sampai mengikuti proses belajar setiap hari kecuali hari libur.
Aku masih teringat kata-kata Buk Annisa Sorga tiga tahun yang lalu saat dia memeluk diriku, “Bangkitlah Syam, lihat di depanmu. Dunia luas menantimu. Melangkahlah mencapai cita-citamu. Kalau kalian jodoh, tuhan akan mempertemukan kalian dalam ikatan yang lebih agung nantinya. Sekarang tuntutlah ilmu yang tinggi dulu sebagai bekal hidupmu kelak. Jangan hanyut dengan cinta. Jangan terombang-ambing dengan perasaaan. Hidup bukan sekedar cinta, hidup juga pengorbanan.”
Dan juga janjiku dulu di malam purnama, “Bahwa mulai besok aku aku tidak akan cengeng lagi, aku harus bangkit.” Kata-kata terakhir itu yang aku pengang selalu, walaupun aku tidak bertemu Minah lagi, aku tidak bertemu Mila lagi. Akan tetapi aku yakin bahwa cinta abadi akan mempertemukan kami kembali. Bahkan setiap malam aku bersujud dan berdoa kepadaNya agar aku bisa dipertemukan lagi dan melihat wajah indah dulu. Entah kenapa tiba-tiba air mataku melele tidak bisa dibendung lagi.
“Kenapa kau Syam ?” tanya Ira teman SMP-ku dulu yang juga sekarang ini satu SMA Negeri denganku, tiba-tiba saja dia sudah ada di dekatku.
“Aku...aku..ku, hanya terharu dengan semua ini, semakin senangnya aku tidak bisa menahan diriku sampai seperti ini,” jawabku mengeles sambil terbata-bata, padahal aku teringat dan rindu akan kekasihku dulu, Minah.
“Aku tahu, walaupun kau tidak memberitahuku. Kau pasti teringat dia kan ? Minah yang kau sebutkan tadi dan juga kau pernah cerita kepada tentang Minah waktu itu.” Tambah Ira.
Aku hampir lupa kalau aku pernah cerita kepada Ira, cewek centil ini. Waktu itu kami sedang berjalan pulung ke rumah. Tiba-tiba saja hujan turun dengan lebatnya, aku terpaksa berteduh di sebuah warung dekat sekolah. Ternyata ada cewek centil Ira juga disana, dia juga satu kelas denganku di SMA Negeri. Kami saling cerita satu sama lain untuk menunggu hujan redah, akan tetapi semakin ditunggu semakin lebat. Akhirnya kami tetap melanjutkan cerita kami, sampai-sampai Ira menanyakan tentang masa laluku. Karena dia merasa heran melihat tingkah lakuku yang beda dengan laki-laki lain di kelas, bahkan aku sering mengendiri dengan teman-temanku. Kebiasaanku masih seperti dulu yaitu membaca buku-buku di kamar Pele atau Lukman. Walaupun sekarang Pele konsentrasi dibidang oleh raga yaitu bermain di kesebelasan PSPP, dia melejit bagaikan roket terus maju. Dia salah satu striker yang disegani musuh dimana saja bermain. Bahkan dia bisa memenuhi kebutuhannya dan keluarganya dari bidang tersebut.
Tiba-tiba saja dia mengulangi pertanyaannya tadi, “Bagaimna masa lalumu, Syam ?” desaknya terus.
“Ceritanya panjang Ira, akan tetapi aku akan cerita secara ringkas saja. Bagini, aku dulu memiliki kekasih namanya Minah, waktu kami masih di SMP 1 kami mengikat janji untuk tidak memilih yang lain. Bahkan untuk menjaga janji itu kami kami sering pulang bersama walaupun beda lokal. Akan tetapi peristiwa itu terjadi, Etek Janah Ibunya meninggal dunia. Entah kenapa semua itu cepat berlalu dan karena Minah hanya tinggal sendirian saja di rumah, Bapaknya memaksanya untuk pindah ke Medan dan melanjutkan sekolah disana. Air mataku meleleh tanpa aku sadari. Ira disampingku merasakan kesedihan tersebut walaupun dia tidak menjalaninya.
“Jangan sedih Syam, cinta kalian tidak akan pernah hilang walaupun kalian tinggal di tempat yang berjauhan, akan tetapi hati kalian dan cinta kalian akan tetap abadi,” dia mencoba menghiburnya.
“Aku tahu bahwa cinta yang abadi akan mempertemukan kami kembali, aku yakin dan percaya bahwa Tuhan akan mempertemukan kami nantinya.” Balasku.
“Iya Syam, aku juga berpikir seperti itu.” Ira mencoba menambahkan.
Aku mencoba menyambung cerita yang terputus tadi, “setelah Bapaknya membawa paksa Minah, aku mencoba mengejarnya sebelum dia berangkat akan tetapi semua itu hanya sia-sia belaka. Aku merasakan hancur dan merasa sangat sedih tidak bisa bertemu dengan Minah di hari-hari terakhirnya di kampungnya di Kebun Sikolas. Tidak berapa lama setelah kepergiannya Minah, aku sakit beberapa hari dan juga aku tidak bisa pergi sekolah. Bahkan semangatku langsung hilang sampai hidupku berubah tidak tentu arah. Aku kehilangan separuh hatiku, separuh jiwaku saat itu.
Akan tetapi beberpa bulan setelah aku tamat SMP 1 dan akan melanjutkan ke sekolah ini, SMA Negeri. Dalam jarak tersebut aku bertemu dengan seorang gadis yang mirip sekali dengan kekasihku Minah, namanya Mila. Namanya tidak jauh beda dan aku melihatnya seperti melihat Minah. Guru SD-ku, Buk Annisa Sorga mengetahui semua itu dan bagaimana perasaaanku yang ditinggal Minah. Dia memperkenalkan aku dengan Mila, gadis yang mirip dengan Minah tersebut. Akan tetapi bayangan Minah tidak bisa aku lupakan walaupun aku dan Mila mulai dekat, akan tetapi aku sering menyebut nama Minah kepadanya. Dia pun merasa cemburu dengan Minah yang tidak pernah bisa aku lupakan. Hingga suatu hari dia dipindahkan ke asrama dan mengirim surat untukku, disana berisikan bahwa Mila menyuruhku untuk mencari perempuan yang bernama Minah tersebut. Karena dia juga tahu kalau aku tidak bisa melupakan bayangan Minah dari hidupku. Bahkan dia juga mengatakan bahwa aku jangan mencari Minah pada perempuan lain, karena Minah saat ini juga merindukanku disana.
Sampai hari ini aku menjalani semua itu, aku tidak ingin lemah dengan semua luka yang dulu pernah aku rasakan. Aku tetap yakin dengan getaran hati ini akan menunggu Minah dan aku percaya bahwa Minah akan kembali lagi.”
“Aku sangat terharu dengan semua ceritamu, Syam. Aku berdoa semoga kelak Tuhan akan mempertemukan cinta abadi kalian.”
“Terima kasih Ira, aku berharap Tuhan juga mendengar doaku,” sambil menghapus air mataku.
Sore itu sudah menunjukkan pukul 3, akan tetapi tanda-tanda hujan berhenti belum juga terlihat, kamipun melanjutkan pembicaraan di tempat itu.
“O..ya Ira, bagaimana bisa kau pindah dan sekolah disini, sedangkan kau dulu tinggal di Batusangkar ?” aku mencoba mengetahuinya.
“Memang aku tinggal di Batusangkar akan tetapi Ayahku orang Kampung Manggis ini, sedangkan Ibuku orang Batusangkar. setelah menikah mereka masih tinggal di Batusangkar, karena Ayahku bekerja sebagai seorang kuli bangunan. Dia mendapatkan proyek untuk membangun sebuah perumahan disana. Beberapa tahun mereka tinggal disana, entah kenapa orang tua Ayahku meninggal mendadak, padahal dia tidak pernah sakit-sakitan sebelum meninggal. Singkat cerita Ayah dan Ibuku, pindah ke Padangpanjang, Kampung Manggis ini.
“Aku pindah ke sini dan Ayahku mendaftarkan aku sekolah di SMA Negeri ini, ya akhirnya bertemu denganmu Syam,” sambil melihatku.
“O...begitu, aku kira kamu memang bukan orang asli ini awalnya.” Sambil tesenyum kecil.
Lalu tanpa kami sadari hujan sudah mulai redah dan langitpun kembali tersenyum, akhirnya kami berpisa, karena rumah kami berbeda jalan. Waktu itu sudah pukul 4 sore, aku mencoba menapaki jalan yang becek itu. Aku tidak tahan lagi untuk cepat sampai dirumah karena sudah dari tadi perutku terasa lapar ditambah dinginnya hujan.
***
“Ayo Syam, kita rayakan kelulusan kita dengan teman-teman lainnya, dari pada sendirian disini,” pintak Ira padaku.
“Ok Ira,” kami berjalan menghampiri teman-teman lainnya.
Ternyata pada tahun ini SMA Negeri lulus 100% dan mendapatkan nilai rata-rata paling tinggi dari SMA lainnya. Semua guru-guru bangga dengan prestasi ini dan juga mereka merasa sukses mengajarkan siswa-siswa kelas 3 sekarang, karena pada tahun-tahun sebelumnya belum ada sejarahnya sekolah ini lulus 100% hanya pada tahun inilah. Lagi-lagi aku mendapatkan nilai tertinggi di sekolahku, bahkan semua guru-guru sayang dan dekat denganku. Di hari terakhir ini mereka bergantian memelukku dengan tetesan air mata, bahkan wali kelasku Buk Nen, mencium pipihku dan memeluk erat tubuhku.
“Kau memang anak yang baik dan pintar Syam, Ibuk salut padamu,” sambil berbisik ditelingaku dengan menangis terisak-isak.
“Aku juga berterima kasih kepada Ibu, selama ini mengajarkan kami tanpa letih. Walaupun kami sering membuat Ibuk marah dan kesal dengan tingkah laku kami yang bermacam-macam,” balasku.
Setelah semua itu berlalu aku dan teman-teman lainnya merayakan kelulusan kami dengan makan bersama di warung bakso, tempat aku makan bakso dengan uang pembangunan dari Ayahku dulu. Aku masih teringat saat Ayah memukul kaki dan tanganku hingga membiru akibat ulahku.
Pada kelulusan SMA Negeri ini, kami tidak seperti pada masa SMP dulu yang bernazar jika lulus UN untuk yang macam-macam. Akan tetapi kami hanya melakukan yang baik dan bercita-cita bisa menjadi salah satu orang yang berhasil nantinya. Walaupun itu berbeda-beda profesi nantinya, akan tetapi niat kami untuk terus mencapai keberhasilan yang masih panjang telah terbentang lebar setelah lulus ini.
Aku masih teringat dengan teman-temanku dulu saat berjualan pinukuit, Tek Janah dulu, serta teman-teman SD-ku yang dulu kami sering mandi setiap pulang sekolah. Tiba-tiba saja lamunanku tentang masa laluku semua hadir dalam bayanganku, bahkan aku teringat saat-saat bertemu permata kali dengan Minah. Hingga akhirnya kami dekat dan mengikat janji satu sama lain, bahkan saat-saat kejadian itu membuat luka yang lama itu seperti mengangah kembali. Kesedihanku semakin dalam ketika Minah benar-benar pergi dalam kehidupanku hingga aku terombang-ambing tidak menentu. Pada akhirnya aku menemukan banyangan wajah Minah pada diri Mila, namun akhirnya bayangan itu semakin menyakitkan dan membuat luka baru diatas luka lama.
Namun sekarang aku mencoba membenahi itu semua dan berharap jika suatu hari nanti, Minah benar-benar kembali ke Kampung Manggis ini. Akan tetapi entah kapan itu terjadi dan aku tidak tahu dia ada dimana ? Apakah dia masih ingat denganku atau tidak ? Bahkan dia sudah menemukan yang baru disana. Semua pikiran burukku tentang Minah berdatangan, akan tetapi keyakinan dan cinta abadi kami tidak akan pernah bisa hilang.
                                                            ***
Waktu berlalu tidak terasa, aku masih memilih Kampung Manggis untuk mengisi waktu sebelum dapat bekerja sesuai dengan apa yang aku inginkan. Untuk mengisi waktu itu aku mencoba belajar membuat relief pada seorang Bapak Hasan, yang sekrang sudah dekat denganku. Aku mencoba membantu Ibu, Ayah, dan adik-adikku yang telah tumbuh besar dari usaha tersebut.
Suatu ketika entah angin apa yang membawaku pada sebuah jalan di Kebun Sikolas, aku berjalan hendak mengantarkan adikku Os dan Evy untuk mengambil lapor mereka. Karena Ibu dan Ayahku tidak bisa datang dan mereka menyuruhku untuk mewakilinya. Entah kenapa saat aku menapaki jalanan itu, di depan sebuah rumah mewah detak jantungku semakin cepat tidak beraturan. Aku bingung tidak seperti biasanya, kanapa aku merasakan hal ini.
Tepat di depan sebuah rumah mewah aku terhenti, entah kenapa kakiku terasa berat untuk melangkah. Aku melihat ada seorang perempuan muda sedang berdiri di depan sebuah relief di dekat rumah mewah tersebut. Akan tetapi aku heran, dalam pikiranku aku membayangkan Ibu Annisa Sorga, akan tetapi mungkinkah Bunda Annisa Sorga menjadi muda kembali, atau barangkali itu adalah anaknya ? Aku tidak yakin itu adalah anaknya karena aku tidak pernah mendengar kalau Bunda Annisa Sorga memiliki anak. Atau itu siswa SPG yang biasa kos di rumah Bunda Annisa Sorga. Tatapan mataku tidak bisa lepas dari perempuan yang sedang berdiri tersebut, dia memakai baju merah, rok hitam, serta rambut panjang yang membelai di punggungnya.
Aku teringat dengan janjiku saat-saat bersama Minah dahulu, aku berdiri tepat disamping perempuan muda itu berdiri sekarang. Aku tidak kuasa menahan air mataku, akan tetapi seorang perempuan yang sudah angkat keluar dari rumahnya, memanggil perempuan muda itu.
“......, ayo masuk dulu ? Bunda sudah siapkan air minum di atas meja,” kata perempuan yang sudah angkat itu.
Tiba-tiba saja darahku berdesir cepat mendengar nama perempuan muda itu, walaupun kurang jelas aku dengar. Jantung berdetak cepat tidak beraturan, dalam hariku berkata, “Apakah itu Minah ? Orang yang aku tunggu-tunggu beberapa tahun ini.”
Entah kenapa rasa ingin tahuku terasa memuncak akan tetapi perempuan itu menoleh ke arah perempuan yang sudah angkat itu, ternyata dia adalah Bunda Annisa Sorga. Tanpa aku sadari perempuan itu menoleh ke arahku, jantung terhenti berdetak saat wajah itu mirip sekali dengan wajah Minah dulu. Akan tetapi aku masih ragu apakah itu banar-banar Minah ? Atau mungkin itu Mila ? Atau mungkin itu siswa baru SPG yang kos di rumah Bunda Annisa Sorga.
Perempuan muda itu lama sekali menatapku, tiba-tiba saja terdengar teriakkan.
“Syam, Syam, ini aku...” sambil berlari mendekatku.
“Apakah kau Minah ?” kataku kepada perempuan muda itu.
Tanpa ada kata-kata keluar dari mulut perempuan itu, dia memeluk tubuhku sambil berkata.
“Ini aku Syam, Minah yang pergi dulu tanpa berpamitan denganmu. Maafkan aku Syam,” sambil memelukku.
Aku hanya terdiam tidak tahu yang akan aku ucapkan, bahkan Bunda Annisa Sorga yang sedang berdiri di depan pintu hanya tersenyum kecil melihat kejadian itu. Entah mimpi apa aku semalam dan bahkan aku sangat bahagia bisa bertemu dengan kekasihku lagi di tempat ini. Tempat yang meninggalkan banyak kenangan diantara kami, bahkan tempat ini kembali menghadirkan cinta itu datang kembali. Aku tidak pernah berpikir akan bisa seperti ini, akan tetapi keyakinan serta doaku yang dikabulkan Allah kepadaku.
“Terima kasih ya Allah, engkau telah mempertemukan kami kembali, di tempat yang penuh dengan kenangan ini,” bisikku dalam hati.
“Kemana saja kau Minah ? Kau semakin besar dan cantik ?” sambil membalas pelukkan Minah.
“Kau juga Syam, semakin tinggi saja dan tampan,” sambil melepaskan pelukkannya.
“Aku sekolah di tempat Ayahku, di Medan. Disana aku selalu memikirkan tentang dirimu, bahkan Ayah berjanji akan mengikuti kemauanku selepas sekolah SMA,” tambah Minah.
“Aku disini juga selalu memikirkanmu, Minah. Entah kenapa aku tidak bisa melupakan bayanganmu, hingga sekarang ini semua begitu nyata di depan mataku.”
“Ayo masuk dulu Syam, Minah ? Mari kita minum dulu di dalam,” teriakkan Bunda Annisa Sorga.
Setelah masuk ke dalam kami melihat seorang lelaki yang tidak asing lagi olehku. Dia sedang asyik duduk santai dengan korannya.
“Eehh.. Da Akmal,” sambil bersalaman dengannya.
“O...kamu Syam, ternyata kau sudah tumbuh besar sekarang. O...ini perempuan yang sering diceritakan Bunda Annisa Sorga kepadaku. Kau sangat serasi dengannya Syam,” sambil tersenyum kecil ke arahku.
Ternyata Da Akmal menikah dengan Bunda Annisa Sorga satu tahun yang tahu. Mereka tidak bertemu denganku, karena itu mereka tidak mengundangku dalam pesta pernikahan mereka. Akan tetapi aku sangat bahagia hari ini aku dipertemukan dengan kekasihku dulu yang telah terpisah bertahun-tahun. Akan tetapi janji kami di depan relief ini dan juga janji kami untuk tidak memiliki pacar masing-masing. Menjadi keteguhan dan kekuatan cinta abadi yang tidak bisa dipisahkan. Walaupun sudah ribuan jarak yang memisahlan kami, bahkan tanpa ada komunikasi satu sama lain. Ternyata aku baru sadar bahwa kekuatan cinta abadi tidak akan bisa dikalahkan oleh cinta-cinta biasa. Bahkan rencana Allah lebih indah dari yang kita bayangkan.


0 komentar:

Posting Komentar