Gambar: Ilustrasi 'Mbah Google. |
Zaman modern saat ini segala macam dan
segala sesuatu bisa saja terjadi. Bahkan sesuatu yang rumit dan tidak termakan
oleh akal sehatpun menjadi fenomena yang sangat membanggakan bagi seorang
penemu. Berbagai macam penemuan dari yang terkecil sampai yang terbesar, bahkan
dari yang biasa-biasa saja sampai kepada yang luar biasa sekalipun. Semua
bermunculan sesuai perkembangan zaman dan perkembangan pola pemikiran umat
manusia saat ini. Bahkan orang-orang yang sudah lama meninggal dunia masih kita
dengar namanya disebut-sebut oleh banyak orang, bahkan seolah-olah mereka masih
hidup walaupun mereka sudah berabad-abad meninggalkan dunia ini. Orang yang
sudah meninggal dunia dengan karya-karya dan penemuannya yang sangat bernilai
dan menjadi berjasa bagi seluruh umat manusia itu menjadi hidup kembali bahkan
namanya menjadi harum dan dikenang di seluruh belahan dunia.
Beberapa nama-nama tersebut
diantaranya: Ibnu Rush sebagai Bapak kedokteran dan karyanya menjadi dasar
bidang kesehatan di belahan dunia manapun. Al-Khawarisme penemu ilmu matematika
atau logaritma, Thomas Alfa Edison penemu bola lampu yang digunakan jasanya
oleh seluruh dunia, dan masih masih lagi yang tidak dapat dipaparkan satu
persatu. Bahkan penemuan mereka menjadi salah satu penemuan yang memberikan
jalan pembuka kepada penemuan-penemuan baru di setiap belahan dunia.
Namun ada suatu nama-nama yang
disamakan dengan para normal atau sejenis tempat bertanya segala sesuatu yang
dibutuhkan oleh setiap pasiennya. Ini bukan soal dukun-dukun yang mampu menafsirkan
dan meramalkan masa depan seseorang. Akan tetapi segala sesuatu bermula dari
sini, seorang mahasiswa awal yang biasa yang selalu terkendala dengan
permasalahan belajarnya dan mencari bahan-bahan perkuliahannya.
“Sedang apa kau, Bas ?” tanya seorang
anak yang datang tiba-tiba sambil menyejutkan temannya.
“Aaakkk,??” tidak tahu apa yang
dijawabnya.
“Kenapa wajahmu berantakan seperti itu
? apa kau sedang galau ?” tanya Riki temannya.
Lamunan Abas nama lengkapnya sangat
dalam dan dia baru sadar kalau Riki sudah lama berdiri di dekatnya. Bahkan jika
tidak dikejutkan bahunya oleh Riki maka Abas mungkin tidak akan sadar dalam
lamunannya tersebut.
“Tidak Ki, aku hanya sedikit sakit
kepala,” mencoba mencari alasan.
“Memangnya banyak tugas kamu hingga
membuatku pusing tingkat dewa ?”
“Aah...tidak juga, karena....Mnnnnn,”
mencoba menyembunyikan masalahnya.
“Eeh,,,jangan bohong kamu, biasanya
kamu dulu tidak seperti ini. Tapi mengapa baru-baru ini kamu kelihatan begitu
stres ?”
“Begini Ki, aku pusing dengan berbagai
tugas-tugas yang selalu membuatku pusing hingga tingkat dewa. Apalagi aku
setiap hari selalu ada tugas dari dosen dan berbagai resume-resume yang harus
dikumpul setiap hari, bahkan untuk mencari bahan presentasi saja sudah setengah
mati aku cari bahannya ke perpustakaan kampus, namun itu tidak semua bahan yang
aku dapatkan,” mencoba menjelaskan karena temannya sudah mengerti dengan
dirinya dan tidak mungkin menyembunyikan semua itu.
“O...jadi begitu masalahmu ? Mengapa
tidak dijelaskan dari awal, dan mengapa juga harus diawali dengan kebohongan ?”
mencoba menginggung temannya.
“Maafkan aku Ki, aku tidak tahu harus
bercerita kepada siapa selain sahabatku dari dulu. Hanya kau yang mengerti aku
dan tempat bertanyaku,” mencoba menjelaskan.
“Iya aku maafkan, namun aku tidak
selalu bisa menjawab pertanyaanmu. Karena masih ada suatu tempat yang sangat
tahu berbagai macam hal yang kamu tanyakan temasuk permasalahanmu tadi.”
“Aku serius nih ? Memangnya
benar-benar ada ya tempat kita bisa menemukan semua itu ? Apakah tempatnya jauh
? Atau bayarnya pasti mahal ya ?” mencoba mencari tahu.
“Eeh, kenapa kamu bawel banget Bas,
itu tidak sama dengan apa yang kau pikirkan. Memang kamu pikir itu mbah-mbah
yang selalu dikunjungi oleh orang-orang untuk meminta nomor undian judi atau
para normal yang selalu membuat berita-berita palsu apa ?”
“Memang apa Ki ?Aku kira seperti itu
tadi.”
“Serius kamu benar-benar ingin kesana
dan mendapatkan setiap jawaban yang kau pertanyakan ?”
“Iya aku serius bahkan puluhanrius Ki,”
dengan wajah gembira.
Beberapa saat Riki mengajak Abas untuk
mengunjungi tempat yang dimaksudnya, mereka berjalan menelusuri jalanan yang
sedikit basah karena sebelumnya hujan sempat membasahi jalanan yang kering.
Bahkan di dalam perjalanan Abas terus mendesak Riki apa yang dia maksud itu,
namun Riki tetap saja menyembunyikannya hingga mereka benar-benar sampai di
tempat tujuan. Perjalanan mereka sekitar tiga kilo dari jarak rumah mereka yang
kebetulan berada di dekat persawahan yang begitu indah ditambah dengan
perbukitan yang menjulang tinggi. Seolah-olah memberikan keindahan yang tiada
tara bagi mereka yang tidak pernah berkunjung ke pedesaan dan hanya menikmati
tingginya gedung-gedung pencakar langin yang tinggi di kota-kota.
Akhirnya kedua sahabat sejoli itu
sampai di depan sebuah rumah dan disana ada beberapa orang yang sedang asyik
mengunakan alat tersebut.
“Ini tempatnya Bas,” sambil menunjuk
tempat itu.
“Tempat apa ini Ki ?” masih bingung
dengan semua itu.
“Hey Bas, memangnya kamu kira kita
masih zaman batu atau zaman nenek moyang kita dulu kala apa ?”
“Ya elah kamu seperti tidak tahu aku
saja, aku kan jarang keluar rumah dan tidak pernah mengunakan apalagi
mempelajarinya. Maksudnya, aku belum pernah mengunakan alat ini sebelumnya. Lagipula
sekarang memang zamannya batu kan ?”
“Hey itu beda lagi dengan batunya pada
zaman nenek moyang kita dulu, sekarang batunya sudah modern sama seperti
orangnya. Bahkan sangat cantik dan bagus daripada batu-batu dulu,” mencoba
menyanggah perkataan sahabatnya.
“Ya deh, maaf. Aku akan hanya just
kidding Ki,” mencoba membujuk hati sahabatnya lagi.
“Ya deh, tapi kita masuk dulu yuk,”
sambil berjalan ke depan alat tersebut.
Terlihat wajah bingung atau wajah
bodoh Abas yang tidak pernah mengunakan alat itu sebelumnya. Namun dengan
bantuan temannya dia mencoba belajar dan mengaplikasikannya.
“Mula-mula kita baca basmala
dulu Bas,” mencoba menerangkannya.
“Memang itu syarat-syaratnya ya Ki ?”
“Ya iyalah, masa ya iya dong,
perhatikan Bas. Setelah itu buka aplikasi ini, namanya “Mbah G-O-O-G-L-E”
dan tulis dikolamnya apa yang kamu inginkan,” mencoba menerangkan dengan rinci.
“Kalau kita mintak air bisa ngak Ki ?”
mencoba bertanya.
“Bisa, namun tidak dapat diminum. Akan
tetapi disebelah bisa,” sedikit iseng.
“Maksud kamu air sungai, ya iyalah
Ki.”
“Makanya bertanya itu yang sewajarnya
bukan yang tidak wajar.”
“Iya deh BOS.”
“O...ya Ki, Goog..apa tadi namanya tadi
Ki ?”
“Maksud kamu Google ?”
“Ya itu maksudku, itu nama siapa dan
dimana tinggalnya Ki ?”
“Itu nama leluhur kita namun dia sudah
berada di tempat yang sangat jauh,” mencoba menyela.
“Aku serius nih Ki ?”
“Ya ela kamu nanyanya yang aneh-aneh
saja dari tadi. Ya tentu Google bukan nama orang namun pragramnya. Akan tetapi
seperti yang telah aku jelaskan kepadamu tadi, dia mampu menjawab semua pertanyaanmu.
Coba kau bertanya tentang salah satu masalahmu tadi ?”
“Baiklah, aku kesulitan mencari bahan
kuliahku tentang tokoh-tokoh pembaru Islam, yang tidak aku temukan bukunya di
perpustakaan kampus.”
“Oke, kamu ketik namanya disini,
tokoh-tokoh pembaru Islam, lalu enter.”
Beberapa saat Abas memperhatikan
temannya Riki mengetik dan melihat tampilan yang ada di layar komputer itu.
Beberapa saat terlihat beberapa nama-nama yang di tulis Riki di layar komputer
itu. Namun dengan gesit Riki kembali mencoba menerangkan bagaimana cara
menemukan apa yang dicari tersebut.
“Jadi setelah semua itu keluar maka
kamu pilih satu demi satu yang kamu inginkan dan yang mengarah apa yang kamu
inginkan. Karena segala macam bisa keluar disini tergantung apa yang kamu
inginkan,” mencoba menjelaskan.
“Hebat juga ya Ki, aku tidak
repot-repot untuk mencari buku-buku pada satu tempat lagi dan aku sangat
berterima kasih padamu sahabatku. Solusi yang kau berikan sangat manjur dan aku
menemukan Mbah baru untuk penawar segala permasalahanku dan apa yang terbesit
dalam pikiranku.”
Entah berapa lama lama mereka berada
di rungan rental komputer itu, hingga mereka terlihat berjalan berlahan-lahan
meninggalkan tempat Mbah yang aji manjur itu. Sinar mentari yang sudah hampir
ditelan kegelapan mulai beransur-ansur kembali pada peraduannya. Maka dua
sahabat itu berjalan dengan rasa happy dan wajah cerah serta yang satu
sangat senang melihat tingkah sahabatnya yang sudah tidak terlihat berantakan
lagi. Beberapa lama berjalan maka mereka sampai depan rumah Riki dan mereka
berpisah serta pulang ke tempat masing-masing.
***
Beberapa hari kemudian, terlihat
seseorang tergesa-gesa berjalan cepat menuju kampus dengan baju merah
kebanggaannya.
“Hay Bas, mengapa buru-buru ?” tanya Riki
temannya.
“O...kamu Ki, apakah dosen sudah masuk
lokal ?” sambil mendekati Riki.
“Aku baru saja akan ke lokal, gimana
tugasmu ? Apakah sudah selesai ?”
“Tentunya dong, kan ada Mbah
G-O-O-G-L-E ......” sambil tertawa terbahak-bahak.
“Oups...iya juga ya, kenapa kamu
kembalikan kata-kataku tempo hari kepadaku lagi ?”
“Ya iyalah, berkat bantuanmu aku bisa
berobat kapan saja dan konseling deh,” sambil tersenyum.
“Hey bukan berobat ataupun konseling
Bas, tapi brosing, searching, download dan masih banyak
lagi,” mencoba menjelaskan.
“Iya itu maksudku Ki, kita tadi kan
bicara Mbah makanya jawabannya juga harus lebih dekat kepada itu dong.”
“Iya juga ya, boleh juga. Ucapkan
terima kasih juga sama jajarannya dong, yaitu Mbah Google dan jajarannya ?”
“Iya deh, nanti aku kirim lewat email,”
sambil tertawa kecil.
Sejak pertemuan mereka tempo hari itu,
kapanpun dan bagaimanapun kedua sahabat itu sering bertemu di warnet terkadang
mencari tugas-tugas dan bahan-bahan perkuliahan. Walaupun perpustakaan tetap
mereka kunjungi dan mencari referensi lain di internet sebagai bahan tambahan
yang akan mereka diskusikan nantinya. Bahkan apapun yang dicari mereka selalu
meminta bantuan Mbah Google dan selanjutnya baru shering dengan
teman-teman serta dosen di dalam kelas.
0 komentar:
Posting Komentar