Tiga tahun berlalu.
Sorek-sorai teriakkan siswa-siswa SMA Negeri terdengar seakan
meruntuhkan bangunan sekolah itu. Didepan mading sekolah kerumunan siswa-siswi
saling bergantian melihat pengumuman kelulusan UN SMA Negeri yang telah berlalu
beberapa minggu yang lewat. Terlihat beberapa anak-anak saling berpelukkan satu
sama lain, ada yang menangis bahagia, ada yang menangis terharu, dan ada juga
yang menangis takut akan kehilangan sahabat-sahabat mereka selama tiga tahun
yang lalu dan berpencar-pencar nantinya. Bahkan ada siswa-siswa yang mencari
guru-guru mereka sampai ke dalam kantor untuk memeluknya dan mengucapkan terima
kasih. Deraian air mata tidak bisa ditahan lagi, satu per satu siswa-siswi
saling memeluk guru-guru mereka. Mereka merasa sangat bahagia dengan apa yang
telah mereka lakukan selama ini, apa yang mereka usahakan untuk mencapai UN
yang sukses.
Tiba-tiba saja, terdengar teriakkan dari sudut ruangan begitu keras
sampai-sampai semua mata tertuju padanya.
“Horeeeeeeeeee.....aku lulus...aku lulus...!”
“Horeeeeeeeeee.....aku lulus...aku lulus...!”
“Horeeeeeeeeee.....aku lulus...aku lulus...!”
“Ibu, Ayah, Minah, akhirnya aku lulus...!”
Suara itu memecahkan keributan yang terdengar dari tadi, ternyata anak
lalki-laki itu sangat senang,dia adalah Syamsu dinyatakan lulus dalam ujian
akhir sekolah. Tidak terbayangkan betapa senang dan bahagianya selama tiga
tahun tahun yang lalu dia berjuang demi mencapai tekat dan cita-citanya. Dari
awal dia mendaftar di sekolah ini sampai mengikuti proses belajar setiap hari
kecuali hari libur.
Aku masih teringat kata-kata Buk Annisa Sorga tiga tahun yang lalu
saat dia memeluk diriku, “Bangkitlah Syam, lihat di depanmu. Dunia luas
menantimu. Melangkahlah mencapai cita-citamu. Kalau kalian jodoh, tuhan akan
mempertemukan kalian dalam ikatan yang lebih agung nantinya. Sekarang tuntutlah
ilmu yang tinggi dulu sebagai bekal hidupmu kelak. Jangan hanyut dengan cinta.
Jangan terombang-ambing dengan perasaaan. Hidup bukan sekedar cinta, hidup juga
pengorbanan.”
Dan juga janjiku dulu di malam purnama, “Bahwa mulai besok aku
aku tidak akan cengeng lagi, aku harus bangkit.” Kata-kata terakhir itu
yang aku pengang selalu, walaupun aku tidak bertemu Minah lagi, aku tidak
bertemu Mila lagi. Akan tetapi aku yakin bahwa cinta abadi akan mempertemukan
kami kembali. Bahkan setiap malam aku bersujud dan berdoa kepadaNya agar aku
bisa dipertemukan lagi dan melihat wajah indah dulu. Entah kenapa tiba-tiba air
mataku melele tidak bisa dibendung lagi.
“Kenapa kau Syam ?” tanya Ira teman SMP-ku dulu yang juga sekarang
ini satu SMA Negeri denganku, tiba-tiba saja dia sudah ada di dekatku.
“Aku...aku..ku, hanya terharu dengan semua ini, semakin senangnya
aku tidak bisa menahan diriku sampai seperti ini,” jawabku mengeles sambil
terbata-bata, padahal aku teringat dan rindu akan kekasihku dulu, Minah.
“Aku tahu, walaupun kau tidak memberitahuku. Kau pasti teringat dia
kan ? Minah yang kau sebutkan tadi dan juga kau pernah cerita kepada tentang
Minah waktu itu.” Tambah Ira.
Aku hampir lupa kalau aku pernah cerita kepada Ira, cewek centil
ini. Waktu itu kami sedang berjalan pulung ke rumah. Tiba-tiba saja hujan turun
dengan lebatnya, aku terpaksa berteduh di sebuah warung dekat sekolah. Ternyata
ada cewek centil Ira juga disana, dia juga satu kelas denganku di SMA Negeri.
Kami saling cerita satu sama lain untuk menunggu hujan redah, akan tetapi
semakin ditunggu semakin lebat. Akhirnya kami tetap melanjutkan cerita kami,
sampai-sampai Ira menanyakan tentang masa laluku. Karena dia merasa heran melihat
tingkah lakuku yang beda dengan laki-laki lain di kelas, bahkan aku sering
mengendiri dengan teman-temanku. Kebiasaanku masih seperti dulu yaitu membaca
buku-buku di kamar Pele atau Lukman. Walaupun sekarang Pele konsentrasi
dibidang oleh raga yaitu bermain di kesebelasan PSPP, dia melejit bagaikan
roket terus maju. Dia salah satu striker yang disegani musuh dimana saja
bermain. Bahkan dia bisa memenuhi kebutuhannya dan keluarganya dari bidang
tersebut.
Tiba-tiba saja dia mengulangi pertanyaannya tadi, “Bagaimna masa
lalumu, Syam ?” desaknya terus.
“Ceritanya panjang Ira, akan tetapi aku akan cerita secara ringkas
saja. Bagini, aku dulu memiliki kekasih namanya Minah, waktu kami masih di SMP
1 kami mengikat janji untuk tidak memilih yang lain. Bahkan untuk menjaga janji
itu kami kami sering pulang bersama walaupun beda lokal. Akan tetapi peristiwa
itu terjadi, Etek Janah Ibunya meninggal dunia. Entah kenapa semua itu cepat
berlalu dan karena Minah hanya tinggal sendirian saja di rumah, Bapaknya
memaksanya untuk pindah ke Medan dan melanjutkan sekolah disana. Air mataku
meleleh tanpa aku sadari. Ira disampingku merasakan kesedihan tersebut walaupun
dia tidak menjalaninya.
“Jangan sedih Syam, cinta kalian tidak akan pernah hilang walaupun
kalian tinggal di tempat yang berjauhan, akan tetapi hati kalian dan cinta
kalian akan tetap abadi,” dia mencoba menghiburnya.
“Aku tahu bahwa cinta yang abadi akan mempertemukan kami kembali,
aku yakin dan percaya bahwa Tuhan akan mempertemukan kami nantinya.” Balasku.
“Iya Syam, aku juga berpikir seperti itu.” Ira mencoba menambahkan.
Aku mencoba menyambung cerita yang terputus tadi, “setelah Bapaknya
membawa paksa Minah, aku mencoba mengejarnya sebelum dia berangkat akan tetapi
semua itu hanya sia-sia belaka. Aku merasakan hancur dan merasa sangat sedih
tidak bisa bertemu dengan Minah di hari-hari terakhirnya di kampungnya di Kebun
Sikolas. Tidak berapa lama setelah kepergiannya Minah, aku sakit beberapa hari
dan juga aku tidak bisa pergi sekolah. Bahkan semangatku langsung hilang sampai
hidupku berubah tidak tentu arah. Aku kehilangan separuh hatiku, separuh jiwaku
saat itu.
Akan tetapi beberpa bulan setelah aku tamat SMP 1 dan akan
melanjutkan ke sekolah ini, SMA Negeri. Dalam jarak tersebut aku bertemu dengan
seorang gadis yang mirip sekali dengan kekasihku Minah, namanya Mila. Namanya tidak
jauh beda dan aku melihatnya seperti melihat Minah. Guru SD-ku, Buk Annisa
Sorga mengetahui semua itu dan bagaimana perasaaanku yang ditinggal Minah. Dia
memperkenalkan aku dengan Mila, gadis yang mirip dengan Minah tersebut. Akan
tetapi bayangan Minah tidak bisa aku lupakan walaupun aku dan Mila mulai dekat,
akan tetapi aku sering menyebut nama Minah kepadanya. Dia pun merasa cemburu
dengan Minah yang tidak pernah bisa aku lupakan. Hingga suatu hari dia
dipindahkan ke asrama dan mengirim surat untukku, disana berisikan bahwa Mila
menyuruhku untuk mencari perempuan yang bernama Minah tersebut. Karena dia juga
tahu kalau aku tidak bisa melupakan bayangan Minah dari hidupku. Bahkan dia juga
mengatakan bahwa aku jangan mencari Minah pada perempuan lain, karena Minah
saat ini juga merindukanku disana.
Sampai hari ini aku menjalani semua itu, aku tidak ingin lemah
dengan semua luka yang dulu pernah aku rasakan. Aku tetap yakin dengan getaran hati
ini akan menunggu Minah dan aku percaya bahwa Minah akan kembali lagi.”
“Aku sangat terharu dengan semua ceritamu, Syam. Aku berdoa semoga
kelak Tuhan akan mempertemukan cinta abadi kalian.”
“Terima kasih Ira, aku berharap Tuhan juga mendengar doaku,” sambil
menghapus air mataku.
Sore itu sudah menunjukkan pukul 3, akan tetapi tanda-tanda hujan
berhenti belum juga terlihat, kamipun melanjutkan pembicaraan di tempat itu.
“O..ya Ira, bagaimana bisa kau pindah dan sekolah disini, sedangkan
kau dulu tinggal di Batusangkar ?” aku mencoba mengetahuinya.
“Memang aku tinggal di Batusangkar akan tetapi Ayahku orang Kampung
Manggis ini, sedangkan Ibuku orang Batusangkar. setelah menikah mereka masih
tinggal di Batusangkar, karena Ayahku bekerja sebagai seorang kuli bangunan.
Dia mendapatkan proyek untuk membangun sebuah perumahan disana. Beberapa tahun
mereka tinggal disana, entah kenapa orang tua Ayahku meninggal mendadak,
padahal dia tidak pernah sakit-sakitan sebelum meninggal. Singkat cerita Ayah
dan Ibuku, pindah ke Padangpanjang, Kampung Manggis ini.
“Aku pindah ke sini dan Ayahku mendaftarkan aku sekolah di SMA
Negeri ini, ya akhirnya bertemu denganmu Syam,” sambil melihatku.
“O...begitu, aku kira kamu memang bukan orang asli ini awalnya.”
Sambil tesenyum kecil.
Lalu tanpa kami sadari hujan sudah mulai redah dan langitpun
kembali tersenyum, akhirnya kami berpisa, karena rumah kami berbeda jalan.
Waktu itu sudah pukul 4 sore, aku mencoba menapaki jalan yang becek itu. Aku
tidak tahan lagi untuk cepat sampai dirumah karena sudah dari tadi perutku
terasa lapar ditambah dinginnya hujan.
***
“Ayo Syam, kita rayakan kelulusan kita dengan teman-teman lainnya,
dari pada sendirian disini,” pintak Ira padaku.
“Ok Ira,” kami berjalan menghampiri teman-teman lainnya.
Ternyata pada tahun ini SMA Negeri lulus 100% dan mendapatkan nilai
rata-rata paling tinggi dari SMA lainnya. Semua guru-guru bangga dengan
prestasi ini dan juga mereka merasa sukses mengajarkan siswa-siswa kelas 3
sekarang, karena pada tahun-tahun sebelumnya belum ada sejarahnya sekolah ini
lulus 100% hanya pada tahun inilah. Lagi-lagi aku mendapatkan nilai tertinggi
di sekolahku, bahkan semua guru-guru sayang dan dekat denganku. Di hari terakhir
ini mereka bergantian memelukku dengan tetesan air mata, bahkan wali kelasku
Buk Nen, mencium pipihku dan memeluk erat tubuhku.
“Kau memang anak yang baik dan pintar Syam, Ibuk salut padamu,” sambil
berbisik ditelingaku dengan menangis terisak-isak.
“Aku juga berterima kasih kepada Ibu, selama ini mengajarkan kami
tanpa letih. Walaupun kami sering membuat Ibuk marah dan kesal dengan tingkah
laku kami yang bermacam-macam,” balasku.
Setelah semua itu berlalu aku dan teman-teman lainnya merayakan
kelulusan kami dengan makan bersama di warung bakso, tempat aku makan bakso
dengan uang pembangunan dari Ayahku dulu. Aku masih teringat saat Ayah memukul
kaki dan tanganku hingga membiru akibat ulahku.
Pada kelulusan SMA Negeri ini, kami tidak seperti pada masa SMP
dulu yang bernazar jika lulus UN untuk yang macam-macam. Akan tetapi kami hanya
melakukan yang baik dan bercita-cita bisa menjadi salah satu orang yang
berhasil nantinya. Walaupun itu berbeda-beda profesi nantinya, akan tetapi niat
kami untuk terus mencapai keberhasilan yang masih panjang telah terbentang
lebar setelah lulus ini.
Aku masih teringat dengan teman-temanku dulu saat berjualan pinukuit,
Tek Janah dulu, serta teman-teman SD-ku yang dulu kami sering mandi setiap
pulang sekolah. Tiba-tiba saja lamunanku tentang masa laluku semua hadir dalam
bayanganku, bahkan aku teringat saat-saat bertemu permata kali dengan Minah.
Hingga akhirnya kami dekat dan mengikat janji satu sama lain, bahkan saat-saat
kejadian itu membuat luka yang lama itu seperti mengangah kembali. Kesedihanku
semakin dalam ketika Minah benar-benar pergi dalam kehidupanku hingga aku terombang-ambing
tidak menentu. Pada akhirnya aku menemukan banyangan wajah Minah pada diri
Mila, namun akhirnya bayangan itu semakin menyakitkan dan membuat luka baru
diatas luka lama.
Namun sekarang aku mencoba membenahi itu semua dan berharap jika
suatu hari nanti, Minah benar-benar kembali ke Kampung Manggis ini. Akan tetapi
entah kapan itu terjadi dan aku tidak tahu dia ada dimana ? Apakah dia masih
ingat denganku atau tidak ? Bahkan dia sudah menemukan yang baru disana. Semua
pikiran burukku tentang Minah berdatangan, akan tetapi keyakinan dan cinta
abadi kami tidak akan pernah bisa hilang.
***
Waktu berlalu tidak terasa, aku masih memilih Kampung Manggis untuk
mengisi waktu sebelum dapat bekerja sesuai dengan apa yang aku inginkan. Untuk
mengisi waktu itu aku mencoba belajar membuat relief pada seorang Bapak Hasan,
yang sekrang sudah dekat denganku. Aku mencoba membantu Ibu, Ayah, dan adik-adikku
yang telah tumbuh besar dari usaha tersebut.
Suatu ketika entah angin apa yang membawaku pada sebuah jalan di
Kebun Sikolas, aku berjalan hendak mengantarkan adikku Os dan Evy untuk
mengambil lapor mereka. Karena Ibu dan Ayahku tidak bisa datang dan mereka
menyuruhku untuk mewakilinya. Entah kenapa saat aku menapaki jalanan itu, di
depan sebuah rumah mewah detak jantungku semakin cepat tidak beraturan. Aku
bingung tidak seperti biasanya, kanapa aku merasakan hal ini.
Tepat di depan sebuah rumah mewah aku terhenti, entah kenapa kakiku
terasa berat untuk melangkah. Aku melihat ada seorang perempuan muda sedang
berdiri di depan sebuah relief di dekat rumah mewah tersebut. Akan tetapi aku
heran, dalam pikiranku aku membayangkan Ibu Annisa Sorga, akan tetapi
mungkinkah Bunda Annisa Sorga menjadi muda kembali, atau barangkali itu adalah
anaknya ? Aku tidak yakin itu adalah anaknya karena aku tidak pernah mendengar
kalau Bunda Annisa Sorga memiliki anak. Atau itu siswa SPG yang biasa kos di
rumah Bunda Annisa Sorga. Tatapan mataku tidak bisa lepas dari perempuan yang
sedang berdiri tersebut, dia memakai baju merah, rok hitam, serta rambut
panjang yang membelai di punggungnya.
Aku teringat dengan janjiku saat-saat bersama Minah dahulu, aku
berdiri tepat disamping perempuan muda itu berdiri sekarang. Aku tidak kuasa
menahan air mataku, akan tetapi seorang perempuan yang sudah angkat keluar dari
rumahnya, memanggil perempuan muda itu.
“......, ayo masuk dulu ? Bunda sudah siapkan air minum di atas
meja,” kata perempuan yang sudah angkat itu.
Tiba-tiba saja darahku berdesir cepat mendengar nama perempuan muda
itu, walaupun kurang jelas aku dengar. Jantung berdetak cepat tidak beraturan,
dalam hariku berkata, “Apakah itu Minah ? Orang yang aku tunggu-tunggu beberapa
tahun ini.”
Entah kenapa rasa ingin tahuku terasa memuncak akan tetapi
perempuan itu menoleh ke arah perempuan yang sudah angkat itu, ternyata dia
adalah Bunda Annisa Sorga. Tanpa aku sadari perempuan itu menoleh ke arahku,
jantung terhenti berdetak saat wajah itu mirip sekali dengan wajah Minah dulu. Akan
tetapi aku masih ragu apakah itu banar-banar Minah ? Atau mungkin itu Mila ?
Atau mungkin itu siswa baru SPG yang kos di rumah Bunda Annisa Sorga.
Perempuan muda itu lama sekali menatapku, tiba-tiba saja terdengar
teriakkan.
“Syam, Syam, ini aku...” sambil berlari mendekatku.
“Apakah kau Minah ?” kataku kepada perempuan muda itu.
Tanpa ada kata-kata keluar dari mulut perempuan itu, dia memeluk
tubuhku sambil berkata.
“Ini aku Syam, Minah yang pergi dulu tanpa berpamitan denganmu.
Maafkan aku Syam,” sambil memelukku.
Aku hanya terdiam tidak tahu yang akan aku ucapkan, bahkan Bunda
Annisa Sorga yang sedang berdiri di depan pintu hanya tersenyum kecil melihat
kejadian itu. Entah mimpi apa aku semalam dan bahkan aku sangat bahagia bisa
bertemu dengan kekasihku lagi di tempat ini. Tempat yang meninggalkan banyak
kenangan diantara kami, bahkan tempat ini kembali menghadirkan cinta itu datang
kembali. Aku tidak pernah berpikir akan bisa seperti ini, akan tetapi keyakinan
serta doaku yang dikabulkan Allah kepadaku.
“Terima kasih ya Allah, engkau telah mempertemukan kami kembali, di
tempat yang penuh dengan kenangan ini,” bisikku dalam hati.
“Kemana saja kau Minah ? Kau semakin besar dan cantik ?” sambil
membalas pelukkan Minah.
“Kau juga Syam, semakin tinggi saja dan tampan,” sambil melepaskan
pelukkannya.
“Aku sekolah di tempat Ayahku, di Medan. Disana aku selalu memikirkan
tentang dirimu, bahkan Ayah berjanji akan mengikuti kemauanku selepas sekolah
SMA,” tambah Minah.
“Aku disini juga selalu memikirkanmu, Minah. Entah kenapa aku tidak
bisa melupakan bayanganmu, hingga sekarang ini semua begitu nyata di depan
mataku.”
“Ayo masuk dulu Syam, Minah ? Mari kita minum dulu di dalam,”
teriakkan Bunda Annisa Sorga.
Setelah masuk ke dalam kami melihat seorang lelaki yang tidak asing
lagi olehku. Dia sedang asyik duduk santai dengan korannya.
“Eehh.. Da Akmal,” sambil bersalaman dengannya.
“O...kamu Syam, ternyata kau sudah tumbuh besar sekarang. O...ini
perempuan yang sering diceritakan Bunda Annisa Sorga kepadaku. Kau sangat serasi
dengannya Syam,” sambil tersenyum kecil ke arahku.
Ternyata Da Akmal menikah dengan Bunda Annisa Sorga satu tahun yang
tahu. Mereka tidak bertemu denganku, karena itu mereka tidak mengundangku dalam
pesta pernikahan mereka. Akan tetapi aku sangat bahagia hari ini aku
dipertemukan dengan kekasihku dulu yang telah terpisah bertahun-tahun. Akan
tetapi janji kami di depan relief ini dan juga janji kami untuk tidak memiliki
pacar masing-masing. Menjadi keteguhan dan kekuatan cinta abadi yang tidak bisa
dipisahkan. Walaupun sudah ribuan jarak yang memisahlan kami, bahkan tanpa ada
komunikasi satu sama lain. Ternyata aku baru sadar bahwa kekuatan cinta abadi
tidak akan bisa dikalahkan oleh cinta-cinta biasa. Bahkan rencana Allah lebih
indah dari yang kita bayangkan.
0 komentar:
Posting Komentar