Copyrights @ Journal 2014 - Designed By Templateism - SEO Plugin by MyBloggerLab

Kamis, 21 Juli 2016

HANYA UNTUK ORANG

Share


Gambar : Penceramah di Mesjid.


 Mengajarkan ilmu atau memberikannya kepada orang lain adalah hal yang sangat baik bagi kita. Apalagi memberikan ilmu itu dengan rasa ikhlas dan tanpa belas apapun dari orang yang menerima. Itulah yang sangat diridhoi oleh Allah Swt, bahkan dalam Al-Qur’an dalam surat Mujadillah ayat 11 Allah Swt memberikan keistimewaan dan ketinggian drajat kepada orang-orang yang memiliki ilmu di antara manusia. Jika kita memberikan ilmu kepada orang lain, maka ilmu yang kita berikan tidak akan hilang atau berkurang dari kita. Namun ilmu itu akan semakin bertambah dan semakin melekat pada pikiran kita.

Namun jika kita memberikan ilmu dengan mengharapkan imbalan dan jasa kepada orang lain. Maka itu saja yang akan kita dapatkan, tidaklah lebih, memang uang pada saat sekarang ini sangatlah perlu. Namun jangan utamakan hal tersebut, biarkanlah bahwa itu tambahan atau biaya transportasi dan makan, minum kita dalam perjalanan. Jangan mengambil patokan lebih dari hal tersebut, biarlah Allah sajalah yang memberikan lebih dari apa-apa yang telah kita lakukan terhadapa usaha yang sedang kita lakukan. Bahwa menjadi orang-orang yang ikhlas itu sangatlah sulit pada saat sekarang ini, namun menemukan orang-orang yang mengharapkan imbalan yang sangat besar dari apa yang diberikan kepada orang lain, sangatlah mudah.
Seorang mahasiswa disebuah universitas ternama di suatu kota, sedang menjalani jenjang pendidikan Pendidikan Agama Islam disana. Sebuah ilmu yang sangat langkah dan diminati oleh orang-orang pada saat sekarang ini. Namun semua mata kuliah dia tekuni dan berusaha untuk memahaminya di tempat kos. Namun dia adalah orang pendatang di kota itu, orang tua dan sajak family yang jauh dari tempat tinggal. Kebiasaan anak kos tidak lepas dari masalah keuangan yang minim pada akhir-akhir bulan.
“Sudah pulang kuliah Hakim ?” tanya teman satu kosnya.
“Sudah, baru saja sampai Lang,” jawabnya.
“Sudah masak belum Lang, lapar nih. Dari pagi belum sempat makan karena buru-buru ke kampus.”
“Sudah Hakim, itu nasi masih banyak dalam majig jar,” sambil menunjuknya.
“Mantap, makan dulu ahhh,” sambil berjalan mengambil piring.
Nasi yang sudah dimasukan ke dalam piring dan ternyata sambal yang akan dimakan tidak ada.
“waahh, mana sambalnya Lang ?” tanga Hakim.
“Sambal sudah habis Hakim, tadi aku makan tinggal sedikit. Coba saja cari ke depan ?”
“Uuuasssss, aku sedang kere sekarang Lang, kamu tahu kan sekarang minggu terakhir ?”
“Iya sih, aku juga sama dengan mu Hakim, namun harus bagaimana lagi makan saja apa yang ada dulu. Mana tahu nanti ada rezeki buat kita ? Hey, kamu yang pintar ceramah. Kenapa tidak mengisi peramah saja di mesjid dekat kos kita ?”
“Iya juga Lang, kamu hebat. Nanti aku tanya dulu sama Pak Ustadnya.”
Akhirnya Hakim makan dengan apa yang hanya tersedia untuk sementara waktu. Setelah selesai makan dan dia mencoba untuk mencari tahu apakah ada jadwal ceramah di mesjid yang kosong pada minggu ini. Dengan penampilah yang sederhana dia berjalan ke tempat Ustad Mansur yang tidak jauh dari kosnya. Bahwa ustad itu juga sebagai pengurus di mesjid itu. Namun belum sampai di tempat Pak Ustad, dia bertemu dengan Pak Haji Am. Dia termasuk daftar haji yang sudah pulang dari Mekah pada tahun lalu bersama rombongan jamaah haji Indosia yang lain.
Namun tingkah dan kebiasaannya tetap saja tidak bisa berubah, baik sebelum pergi haji ataupun sesudah menjadi seorang haji. Walaupun hanya penampilannya saja yang berubah, ya dari dulu yang tidak pernah memakai peci sekarang sudah memakai peci sudah. Seperti orang-orang yang kita lihat sepulang dari pergi haji itu, namun memang sifat dan kebiasaan buruknya tidak bisa dia robah. Walaupun sudah naik haji ke Mekah sekalipun, tentu saja hal itu tidak disukai banyak orang. Bahkan kata-katanya dari yang keluar sepuluh buah lima diantaranya adalah kata-kata kotor seperti “pacaruik.”
Bahkan orang-orang yang sering berdialog langsung dengannya memberikan julukan baru kepada Haji Am dengan istilah, “Haji Pacaruik,” memang aneh sih. Namun ituah yang sebenarnya terjadi pada haji yang satu ini, terkadang seorang yang pergi haji hanya ingin mendapatkan title atau gelar haji saja. Bahkan banyak orang yang sudah pergi haji merasa bangga dengan apa yang telah ia peroleh, bahwa itu menandakan kalau dia adalah termasuk kepada orang yang kaya. Pergi haji hanya ingin membanggakan kekayaan kepada masyarakat sekitar dengan kekayaan yang banyak dan mampu mengatarkannya kepada pergi haji.
Tidak banyak orang yang pergi haji yang memang ikhlas untuk meningkatkan rasa syukur dan terima kasihnya kepada Allah Swt dengan melakukan perjalan haji. Bahkan orang yang pergi haji lebih diidentik dengan sebutan orang kaya, namun tidak semua orang yang pergi haji adalah orang kaya. Bahkan orang yang hidup sederhana juga mampu untuk melakukan perjalanan haji tersebut. Akan tetapi banyak orang kaya dan sudah mampu untuk melakukan perjalanan haji, namun masih tidak mau menjalankan rukun Islam kelima tersebut.
Dalam perjalan ke rumah Ustad Mansur, hakim bertemu dengan Haji Am dan bahkan Pak Haji bertanya kepada Hakim tentang suatu hal.
“O..kamu Hakim, dari mana dan hendak kemana kamu ?” tanya Pak Haji.
“Mau ke tempat Pak Ustad, Pak Haji.”
“Ada acara apa kamu ke sana dan bukannya Pak Ustad sedang keluar Kota ?”
“Tidak ada Pak Haji, pengen silaturrahmi saja ke rumah Pak Ustad. Kemarin saya dengar sudah pulang Pak Haji, bukan keluar kota Pak Haji, namun keluar ke kampung sebelah Pak Haji,” sambil tertawa terkekeh-kekeh.
“Itu saja, lagian keluar kota juga keluar dari daerah sendiri kan ? Anjing kamu, berani-beraninya kamu memtertawakan seorang Pak Haji. Umur baru setampuk padi sudah melagu kamu ?” merasa kesal dengan tindakan Hakim.
“Jangan marah-marah Pak Haji, lagian saya hanya bercanda kok Pa Haji. Pak Haji ganteng kalau senyum, pasti banyak cewek-cewek yang suka sama Pak Haji kalau sedang senyum,” bujuk Hakim.
Namun apa yang dilakukan Hakim ternyata malah membuat Pak Haji Am semakin merasa tersudutkan dengan omongan anak kecil yang merasa menasehati dan memamerkan ilmunya kepadanya. Bahkan dengan kesombongan Pak Haji Am yang sudah pergi haji tidak mau kalah dengan perkataan anak ungusan itu.
“Hey...anjing kamu tahu apa dengan hal itu, baru kuliah saja sudah belagu. Lihat nih orang kaya bahkan tinggi ilmunya dengan Pak Ustad Mansur kamu saja tidak sombong seperti kamu,” sambil memberikan ekspresi dari mulutnya.
“Ya elah, itu sih bukan sombong lagi kalau sudah diucapkan langsung seperti,” pikir Hakim dalam hati.
Namun karena semua orang tahu sifat dan tingkah laku Pak Haji Am itu yang tidak baik setiap kali berbincang dengan orang lain. Apalagi orang itu merasa tinggi ilmunya dan bahkan merasa tertandingi dengan ilmu akan merasa marah dan bahkan kata-kata kotor sudah menjadi lebih banyak keluar daripada yang lain. Namun Hakim mencoba untuk diam saja karena takut merasa Pak Haji akan terus mengeluarkan kata-kata kotor itu kepadanya, bahkan dia juga tahu kalau dia bukan orang asli sini juga. Silent is gold, adalah istilah yang sangat tepat digunakan pada saat dan situasi seperti itu. Namun ternyata diamnya justru menjadikan Pak Haji semakin bertingkah dan menyudutkan Hakim saat dia hanya mencoba diam.
“Hey sekali lagi anak anjing, kamu jangan sesekali sok mejadi anak baik atau orang teladan memberikan pengajian, mengisi ceramah disana sini. Kamu sudah merasa hebat, tidak itu hanyalah seujung jariku saja dari kehebatanku itu.”
Belum sempat Hakim menjawab, lagi-lagi Pak Haji terus mencoba memojokkannya Hakim ke sudut dengan perkataan dan perkataannya.
“Jangan anak anjing, jangan kamu kira diamlah akan membuatku merasa senang, namun diammu itu semakin membuatku merasa rendah dengan ekspresi wajahmu yang sudah sama dengan wajah anjing. Sudah jelek, sok belaku, dasar anjingggg....”
“Ma maaaf,,,,” sambil terbata-bata.
“Jangan kamu kira ucapan maafmu itu akan menyenangkan hatiku tidak, kuliah baru beberapa hari sudah belagunya mintak ampun kamu, memang kamu kira aku ini tamatan Sekolah Dasar atau tidak pernah sekolah. Anjing kamu,” terus memaki-maki Hakim yang sudah muak dengan ucapan Pak Haji itu.
Situasi yang semakin memanas itu membuat terlinga Hakim semakin memerah, padahal dia tidak berniat untuk membuat Pak Haji Am untuk marah kepadanya. Namun karena dia salah dalam memahami situasi dan ucapan Hakim saat itu.
“Maaf Pak saya harus pergi,” sambil meninggalkan Pak Haji.
“Sudah berkata belagu, pergi juga tidak tahu sopan santun kamu. Dasar anak anjing, pasti orang tuamu tidak pernah mengajarkan sopan santun kepadamu hingga seperti ini,” terus mengomel walaupun Hakim sudah jauh.
Walaupun ucapan Pak Haji Am tadi membuatnya merasa tersudut, namun keinginannya untuk menemui Ustad Mansur tidak hilang dengan hal tersebbut. Beberapa langkah lagi dia sudah berada tepat di depan rumah Ustad Mansur.
Assalumu ‘alaikum Pak Ustad,” sambil mengetok pintu.
Wassalumu ‘alaikum, siapa di luar,” tanya seseorang dari dalam rumah.
“Ini saya Hakim ustad.”
“O..kamu Hakim, silahkan masuk,’ sambil membukan pintu.
“Bagaimana kabarnya ustad ? Kapan pulang rapatnya ustad ?”
“Alhamdulillah sehat, babda Magrib sudah pulang. Ngomong-ngomong ada apa tujuan Nak Hakim kesini ?”
“Begini ustad, saya mau menanyakan tentang jadwal ceramah di mesjid kepada ustad. Mana tahu masih ada yang kosong minggu ini atau beberapa minggu ke depan,” mencoba menjelaskan.
“O...begitu, kemarin ustad akan ceramah menelpon dan mengatakan dia tiba-tiba kurang enak badan dan tidak bisa hadir untuk peramah badda Isya besok. Ya seperti biasa acara malam Kamis di mesjid kita, paling kurang untuk memberikan pemahaman atau agar jamaah kita terus bertambah juga. Kalau bisa Nak Hakim bisa juga memberikan tausiayah sedikit setelah shalat Subuh setiap hari. Ya lumayan buat tambahan jajan dan biaya kuliah.”
“Boleh ustad, insya Allah saya usahakan untuk hadir pada malam besok dan juga bisa mengisi tausiyah setelah shalat subuh setiap hari,” dengan tersenyum.
“Baik, besok ustad tunggu saja di mesjid.”
“Ya ustad, terima kasih sebelumn ya ustad. Saya mohon pamit dulu.
Akhirnya Hakim kembali ke kos dengan wajah yang sangat senang, walaupun pertemuannya dengan Pak Haji Am membuatnya merasa sakit hati. Namun peluang yang diberikan ustad membuatnya merasa terobati dengan perkataan-perkataan Pak Haji Am yang menyudutkannya.  
“Bagaimana usahamu ke tempat Pak Ustad Mansur ?” sambil menepuk pundaknya.
“MNnnn..alhamdulillah lancar Lang, namun aku juga dapat tawaran lebih untuk mengisi acara di mesjid, tapi. . ,“ perkataan Hakim terhenti sesaat.
“Gak usah tapi-tapian, mungpung ada rezeki jangan ditolak Hakim, kapan lagi ada peluang seperti ?” sambil mengedipkan matanya.
“Maksudnya bukan itu Lang, tapi itu loh Pak Haji Am yang terkenal sebagai Haji Pacaruik itu bertemu dengan anak sebelum ke tempat Ustad Mansur tadi. Kamu tahukan orangnya seperti apa ? Aku jadi malu dan merasa disudutkan dengan perkataannya tadi, bahkan aku langsung saja pergi agar tidak terlalu jauh menyakiti hatiku Lang,” mencoba menjelaskan.
“Ya jangan dimasukan ke dalam hati kata-kata Pak Haji itu Hakim, biasa saja. Orang-orang juga sudah tahu kalau dia seperti itu, bukan hanya kamu yang menjadi korbannya, orang-orang yang dekat dan bahkan tetangganya pun ikut menjadi korban perkataannya,” mencoba membahagiakan temannya.
“Iya juga sih Lang, terima kasih Lang. Aku persiapkan dulu peramah untuk malam nanti,” sambil mencari buku.
God Luch saja Hakim, semangat ya.”
Beberapa saat Hakim sudah sibuk memahami dan mempelajari naskah peramah nanti. Bahkan disaat akan tampilpun dia juga mengulang-ngulang melancarkan peramahnya, tidak tanggung-tanggung Gilang sahabat sekamar dan juga teman kuliahnya ikut membantunya.
By the way, apa judulnya peramahmu malam ini Hakim ?”
“Judulnya kewajiban shalat 5 waktu.”
“Pilihan yang tepat dengan kondisi umat saat ini, aku doakan agar lancar-lancar saja dalam penampilan nanti.”
“Ya thanks, aku harap juga seperti itu Lang.”
Akhirnya malam penampilan peramah Hakim di mesjid pun datang dan berjalan dengan lancar bahkan membuat para jamaah pada malam itu kagum dengan penampilan anak kuliah yang sudah lihai dan hebat dalam memberikan penjelasan dan mudah dipahami oleh jamaah.
“Baru itu kehebatan anak anjing itu, sudah kembang-kempes lubang hidung,” pikir Haji Am dalam hati.
Setiap mengisi tausiyah dan hari-hari selanjutnya terus mendapatkan respont yang baik dan sanjungan dari masyarakat sekitarnya kepada Hakim. Bahkan namanya semakin hari semakin dikenal oleh masyarakat hingga tidak sedikit dia mendapatkan tawaran untuk mengisi kegiatan dan peramah dari mesjid ke mesjid, bahkan dari surau ke surau. Namun suatu ketika saat suara azan sudah mengalun dengan indahnya untuk mengingatkan waktu shalat Asyar sudah masuk, namun Hakim tetap saja sibuk dengan tugasnya dan seolah-olah tidak mempedulikan hal tersebut. Bahkan jam di dinding sudah mulai mendekati angka enam pun tidak sedikitpun terniat untuk Hakim melaksanakan perintah shalat.
“Hay...sudah shalat Asyar belum Hakim,” sapa temannya yang dari tadi memperhatikannya.
“Ahh...lagi M nih Lang,” sambil terus melanjutkan tugasnya.
“Mana ada cowok yang M, shalatlah dulu nanti lanjutkan lagi tugasnya. Palingan lima menit juga sudah selesai,” mencoba menbujuk temannya.
“Lagi malas saja Lang, lagi pula tanggung nih tidak banyak lagi,” mencoba menyela.
“Ngisi kegiatan di mesjid-mesjid sering bahkan surau-surau sering, namun peramahnya hebat hingga mulut berbusa-busa semakin semangatnya di depan orang banyak. Bahkan judul peramah juga kewajiban shalat 5 waktu bagi kaum muslimin, namun hanya tinggal omongan saja kau Hakim,” mencoba menjelaskan.
“Iya sih, itu aku sampaikan hanya untuk orang lain Lang, namun uangnya yang aku inginkan dari semua itu,” sambil tersenyum kecil.
“Ya elah, ilmu yang kau berikan hanya untuk orang lain, uangnya saja yang kau inginkan. Harusnya kamu yang menyampaikan juga harus mengaplikasikannya terlebih dahulu dong sebelum disampaikan kepada orang lain, itu baru berkah uang yang kau dapatkan. Bukan hanya menjadi orang yang pandai berkoar-koar di depan orang banyak namun tidak pernah kau lakukan apa yang kau sampaikan kepada orang lain sama saja bohong itu Hakim,” menjelaskannya.
“Nanti-nantilah Lang, lagipula aku kan masih muda dan masih banyak waktu untuk beramal nantinya. Namun orang-orang tua atau jamaah itulah yang sudah diujung senja atau para bidadari senja itulah yang lebih harus banyak beramal dan terus menabung untuk akhiratnya. Kalau orang seperti kita-kita ini nikmati saja dulu masa muda ini, sebelum datang masa tua,” sambil tertawa kecil.
“Jangan seenak kamu saja bicara itu Hakim, jangan seperti Pak Haji itu juga kamu nantinya. Gelar yang didapat hanya untuk memamerkan saja kepada orang, namun sifat dan tingkah laku laku tidak sesuai dengan apa yang didapat. Anak-anak, remaja, tua pasti juga akan mati Hakim, bukan hanya orang tua saja yang menjadi camat atau calon mati, anak-anak dan remaja juga pasti akan mati, lihat saja yang sudah-sudah Hakim,” mencoba memperingati temannya.
“O...iya Lang, aku hampir lupa itu. Sebelum waktu Magrib masuk aku buru shalat Asyar dulu,” sambil buru-buru ke kamar mandi.
“Ya elah, harusnya kamu lebih tahu daripada aku yang hanya mendengarkan kamu ceramah di mesjid daripada orang yang menyampaikanya langsung,” pikir Gilang dalam hati.
Sejak saat itu Hakim tidak pernah lagi telat dan bahkan melalaikan shalat lima waktunya setiap hari. Bahkan teman menjadi pengingat atau alaran saat-saat sahabatnya tidak ingat dengan sesuatu, bahkan seorang teman membangunkan dikala tidur dan mengingatkan dikala lupa kepada temannya. Itulah teman atau perhabatan yang sejati yang selalu menasehati dan memberikan bantuan kepada sahabatnya dikala membutuhkan bantuan. Bukan menjadi teman yang malah menjatuhkan sahabatnya sendiri ke dasar neraka dan membawa ke jalan maksiat.

0 komentar:

Posting Komentar