Copyrights @ Journal 2014 - Designed By Templateism - SEO Plugin by MyBloggerLab

Senin, 19 Desember 2016

ASAL MUASAL KETURUNAN SUKU PILIANG

Share


Gambar : Minangkabau tempo dulu.
Disebuah desa yang belum begitu terkenal, namun memiliki wilayah yang begitu cukup potensial dengan sumber daya alam dan beberapa tempat wisata yang potensial. Daerah kecil itu bernama Nagari Tanjung, Jorong Balai Bungo, masih Kecamatan Sungayang. Ada sebuah keluarga yang berasal dari keturunan Piliang yang belum beberapa orang berdomisi disana.  Walaupun ada beberapa orang yang juga berdomisili disana bukan saja dari orang-orang Suku Piliang, namun ada suku lain seperti Suku Kutiayiae. Walaupun demikian sesama umat muslim semua menjaga jiwa kebersamaan dan sayang menghargai. Itulah kelebihan dari orang Minangkabau. Walaupun dari suku mana saja, asalkan menetap di daerah Minangkabau maka wajib saling bertegur sapa dan berbaur dengan mayarakat dan adat disana. Bagaimana pepatah Minang mengatakan, “Dima bumi dipijak disitu langik dijunjuang.” Artinya dimanapun kita berada, baik itu negeri orang lain sekalipun maka kita wajib untuk menjunjung tinggi adat istiadat daerah tersebut.

Begitulah orang Minangkabau dari dulu hingga sekarang, selalu menjunjung tinggi adat istiadat, “adat basandi sara’ syarak basandi kitabullah.” Nenek moyang kita yang turun dari gunung merapi, sajak gunung sagadang talua itiak. Baa kecek urang tuotuo dulu. Coba kita lihat dimanapun orang Minang berada maka disana akan akan ada perkumpulan orang-orang Minang berada, bahkan tersebar di seluruh Indonesia khususnya. Dimana ada tempat disana ada orang Minang, begitulah orang Minang tersebut. Misalnya, di tanah Jawa ada orang Minang maka ada orang Minang yaitu di Tanah Abang, semua orang disana mendominasi orang Minang disana umumnya. Orang Minang dari dulu hingga sekarang lebih suka merantau yaitu berdagang, bahkan orang Minang terkenal dengan kecerdikannya. Pepatah Minangkabau yang selalu dipegang teguh dari dulu hingga Gunung Merapi masih berdiri kokoh sampai sekarang yaitu, “Takuruang nya’ di lua, taimpik nya’ di ateh.” Orang Minang sekarang salah mengartikan pepatah petiti Minang tersebut, mereka mengartikan bahwa itu ada orang Minang caliah atau licik. Bukan, itu artinya bahwa orang-orang Minang dimana pun dia berada akan bisa menempatkan dirinya atau berpandai-pandai dengan orang-orang disana.

Pada sebuah rumah gadang yang menculang tinggi, bahkan untuk naik ke atas ada genjang yang lumayan tinggi. Rumah gadang itu masih berdiri kokoh dengan beberapa orang yang menempati rumah tersebut. Sebuat nama namanya Leha seorang anak dari ketunan Datuak di rumah tersebut. Bahkan Ia sangat disayangi oleh keluarga, dan sanak keluarganya yang ada di sekitarnya. Dia tumbuh dari keluarga yang biasa-biasa saja namun terpandang dalam daerahnya. Itu disebabkan oleh Datuaknya yang baik budi, alim, dan tampek batanyo dalam setiap permasalahan. Setiap orang sangat menghargai Datuak tersebut, bahkan Leha tumbuh menjadi gadis yang baik budi, cantik, serta berbakti kepada kedua orang tua. Bahkan dia adalah bunga desa dalam keseharian orang-orang, walaupun demikian dia tidak sombong dengan anugrah Tuhan yang diberikan kepadanya. Bahkan dia sangat ringan tangan terhadap siapa saja yang membutuhkan pertolongannya, selain cantik dia juga pintar. Bahkan dia sering membantu teman-temannya dalam mengaji di surau, karena orang Minang pada zaman dulu menjadi kebiasaan bahwa bukan hanya di sekolah saja yang menjadi tempat menuntut ilmu. Bahkan surau menjadi multi fungsi pada zaman dulu, selain untuk sholat juga menjadi tempat belajar mengaji, tempat menimba ilmu seperti halnya belajar bersilat bagi kaum laki-laki. Karena pada zaman dulu laki-laki tidak dibenarkan untuk tidur di rumah, karena malu jika dikatakan teman-temannya dia masih tidur dengan orang tuanya.
Pada masa dulu sekolah belum begitu banyak seperti sekarang ini, karena pada zaman dulu adalah zaman penjajahan Hindia Belanda, masa penajajahan Jepang. Maka hanya keturunan darah biru atau orang yang yang memiliki kekayaaan dan terpandang masa dulu. Orang-orang yang yang dekat dengan pemerintahan penjajahanlah yang akan mendapatkan kehidupan yang baik dan senang. Namun tidak dengan orang-orang miskin dan tidak mampu untuk sekolah, karena penjajah tidak ingin anak bangsa yang mereka jajah menjadi pintar dan dapat mengusirnya dari tanah mereka.
Hari-hari dijalani oleh Leha dengan senang hati dan riang, sampai dia tumbuh dewasa tingkah laku dan budi pekertinya yang luhur tidak berubah. Bahkan di daerah seberang atau sabarang, karena wilayah itu ada sebuah sungai yang mengalir dan memisahkan kedua wilayah tersebut. Namun ada jembatan yang menghubungkan antara dua walayah tersebut, namun jembatan itu tidak terlalu besar. Di bawahnya ada sebuah pemandian tempat anak-anak mandi sepulang sekolah, di sebut dengan sebutan Lubuak Kincie. Dimana itu karena dulunya kata orang-orang tua, bahwa tempat itu dulunya adalah sebuah tempat pengilingan padi atau kincir padi. Orang sering menyebutkan dengan tempat menumbuk padi pada masa dulu yang mengunakan energi air sebagai penggerak utama.
Di daerah Subarang itu ada sebuah pemuda yang tampan dan terkenal dengan ketampanannya. Orang itu sering dipanggil orang dengan sebutan “Si Utiah,” memang kulitnya itu putih. Leha yang setiap pagi berjalan ke Sekolah Desa pada masa itu, antara Siutiah dan Leha sering berpasasan setiap pagi dan sering saling tegur. Ada rasa yang yang tersimpan antara mereka berdua hingga pada usia remaja yang mereka sudah bisa menjalin hubungan lebih dekat lagi, melalui genjang pernikahan.
Konon kabarnya bahwa pemuda yang bernama Siutiah itu dulunya berasal dari keluarga yang sederhana. Akan tetapi sayang suatu hal menimpa Ibunya yang sedang mengandung delapan bulan dan hampir menjelang sembilan bulan. Namun Ibunya meninggal dunia akan tetapi pada masa itu belum ada dokter maupun bidang. Maka pada masa itu orang-orang berpikir bahwa nyawanya sudah tidak bisa diselamatkan lagi maupun anaknya. Setelah dimandikan, dikafani, serta dishalatnya, maka waktu dikuburkan wanita itu tetap terlihat perut yang masih membesar.
Beberapa hari Ibunya itu kuburkan maka suatu hal yang mengagetkan serta menjadi hal yang menghebohkan pada daerah itu. Bahwa kuburan yang masih basah tersebut, tiba-tiba saja terdengar suara tagisan bayi dari kuburan tersebut. Maka warga datang beramai-ramai untuk mengali kuburan itu kembali, ternyata memang benar itu bukan suara gaib ataupun setan dan sejenisnya. Itu memang suara anak bayi dari Ibu yang mengandung tersebut, hingga akhirnya orang yang bernama Siutiah itulah yang berasal dari Ibu yang telah meninggal tersebut.
Hingga akhirnya antara Siutiah dan Leha menikah, dan dari sana maka semua keturunan Suku Piliang tersebut sampai hari ini keturunan kulit putih. Semua menurun kepada anak-anaknya yang juga berkulit putih, walaupun tidak semua keturunan tersebut memiliki kulit yang begitu putih seperti orang barat. Namun ada beberapa orang dari setiap ketunanan memiliki kulit yang cerah dan selalu mendapat sanjungan dari orang lain. Konon kabarnya bahwa Datuak Suku Piliang itu bernama Dt. Bagindo Bosaik, jika anda ingin melihatnya kuburan itu sangat berbeda dengan kuburan yang lain. Karena kuburan itu hanya seperti susunan batu yang biasa, namun agak tinggi dari kuburan biasa. Diatas kuburan tersebut terdapat sebuah batu yang unik yang mungkin peningglalan megalitikum dulu yaitu bulat lonjong lumayan besar. Itu adalah pertanda kuburan Datuak Suku Piliang. Dibelakang sebuah rumah Tek Ili, atau Ne Yeni, jalan ke sebuah surau Raudataul Jannah. Ada dua buah rumah dan dibelakang tempat itulah sebuah kuburan Datuak itu dikuburkan, atau disebut dengan pemakaman Suku Piliang, atau Pondam suku Piliang.

1 komentar: