Copyrights @ Journal 2014 - Designed By Templateism - SEO Plugin by MyBloggerLab

Selasa, 29 Desember 2015

MISTERI BATU EMAS

Share


                                           Gambar : Batu Angkek-Angkek, Tanjung-Sungayang (Batusangkar).
Siang itu terjadi perbincangan hangat antara sesama Suku Piliang[1] yang langsung dikepalai oleh seorang datuk dengan nama Datuk Bandaro Kayo. Seorang kepala Suku Piliang yang sangat dihargai, disegani, dan menjadi panutan serta tempat bertanya bagi masyarakat setempat tentang suatu keanehan yang terjadi di desa itu. Perbincangan yang memakan waktu yang cukup lama dan tempat musyawarah itu penuh sesak dari berbagai warga dari Suku Piliang.
Walaupun musyawarah itu berjalan begitu hangat dan penuh sesak, namun Datuk Bandaro Kayo sebagai orang yang sangat berpengalaman dan berilmu tinggi tetap tenang dan santai menghadapi setiap pembicaraan yang disampaikan peserta musyawarah itu.
“Kita harus secepatnya membangun rumah gadang[2] kita dan untuk anak cucu kita nantinya, apalagi kita semakin ramai saja. Lihat tempat anjungan sebagai tempat musyawarah kita sangat kecil untuk kita mengadakan pertemuan di tempat ini. Bukan begitu Mak, Pak, Datuk, dan para peserta musyawarah,” ucap Sutan Bana.
“Memang benar apa yang disampaikan Sutan Bana itu, ruang gerak kita sangat terbatas dengan kondisi kita yang ramai ini dengan ruangan pertemuan yang juga kecil. Alangkah baiknya di atas ruangan musyawarah ini kita bangun bersama-sama sebuah rumah gadang yang akan mampu menampung kita semua dan untuk menetap ‘kok hujan tampek bataduah, kok paneh tampek balinduang[3] bagi anak dan cucu-cucu kita kelak,” sambung Mamak Dulang.
Semua yang hadir pada hari itu juga ikut mengangguk tanda setuju dengan pendapat Sutan Bana dan Mamak Dulang itu. Musyawarah itu berjalan lancar dan tidak ada yang bersikeras mempertahankan pendapatnya sendiri dan bahkan mereka saling memberikan penguatan kepada pendapat yang mereka disampaikan para pemuka mereka.
“Ibarat pepatah ‘bulek aie dek pambuluah, bulek kato dek mufakat’[4] jadi tiga hari lagi di atas tempat ini kita akan membangun rumah gadang untuk anak-anak dan cucu-cucu kita nantinya sebagai penerus keturunan Datuak Bandaro Kayo sekaligus sebagai tempat bermusyawarah bersama. Setuju semuanya yang hadir di sini ?” ucap Datuak Bandaro Kayo.
“Setujuuuuuuu,” ucap semua yang hadir dalam musyawarah itu.
            Suara alunan lembut azan shalat asyar membahana melalui udara dan sampai kepada gendang-gendang telinga yang hadir dalam musyawarah itu. Musyawarah itu pun selesai dan setiap yang hadir sudah beralih menuju surau yang tidak jauh dari tempat musyawarah itu. Sebuah surau Sonsam di pinggiran sungai yang memisahkan nagari itu menjadi dua jorong yaitu Jorong Balai Bungo di sebelah arah Nagari Andaleh Baruhbukit. Sedangkan Jorong Balai Tabuh di sebelah ke arah Nagari Sungayang. Sedangkan nama nagari ini adalah Nagari Tanjung yang konon katanya diberi nama Nagari Tanjung karena bentuk nagari ini tidak jauh berbeda dengan tanjung yang ada di pinggiran lautan yang menjorok ke lautan.
            Begitu juga dengan Nagari Tanjung ini, jika dilihat dari daerah perbukitan menuju Nagari Andaleh Baruhbukit dan akan terlihat nagari ini bagaikan daratan yang menjorok ke lautan lepas. Namun kata orang-orang tua kita dulu bahwa daratan ini dulunya terisi air persis seperti tanjung. Begitulah asal muasal nagari ini diberikan nama Nagari Tanjung. Pernah dengar kata nenek monyang kita dulu dengan istilah’sajak Gunung Marapi sagadang taluih Itiek’.[5]
Di pinggiran surau Sonsam ini adanya pertemuan dua buah air sungai yang satu dari Pegunungan Merapi sendiri dan yang satu dari Ngalau Soda yang juga menjadi tempat wisata yang sangat indah. Alunan lembut suara azan membuat setiap aktivitas manusia dihentikan dan menuju rumah Allah Swt. Tidak jarang surau yang sudah berusia seumuran para pendahulu atau kakek-nenek itu sekarang sepi. Malahan setiap waktu shalat lima waktu selalu penuh, baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan.
Selesai shalat mereka melanjutkan aktivitas kembali ada yang membersihkan rumah, ada yang mencuci, ada juga yang ke sawah dan ladang. Bahkan surau bukan hanya sebagai tempat mengaji dan shalat berjamaah saja, namun juga sebagai tempat menuntut ilmu. Apalagi kaum laki-laki diwajibkan sekali untuk tidur di surau dan belajar belah diri seperti pencak silat pada malam harinya.
Pagi itu sudah ramai masyarakat yang datang terutama sekali Suku Piliang yang akan membangun anjungan baru dan jauh berbeda dengan bentuk awalnya untuk tempat musyawarah. Anjungan yang lama yang sempit dan kecil tidak memungkinkan untuk terus mengadakan musyawarah dengan kondisi yang sempit dan bersesakkan terus menerus. Apalagi anak-anak dan cucu-cucu mereka terus bertambah dan juga akan menjadi dewasa juga. Bahwa anak-anak, cucu-cucu itu lah yang kelak akan mengantikan yang sudah berumur dan di penghujung usianya itu.
“Kemana juga lah Sutan mudar-mutar juga dari tadi, jalan ke sana, jalan ke sini. Tidakkah Sutan pusing begitu terus ?” sapa Bujang kepada Sutan Bana.
“Begini Jang, saya dari tadi sedang mencari Mak Dulang ke rumahnya untuk membahas tentang bahan-bahan yang akan digunakan untuk membuat rumah gadang nanti. Namun saya tidak melihatnya di rumah begitu juga di sini, kemana kira-kira Mak Dulang itu Jang ?” ucap Sutan Bana.
“Jadi itu gerangan Sutan mutar-balik dari tadi, sebelum ke sini saya melihat Mak Dulang singgah ke rumah Datuk Bandaro Kayo mungkin beliau masih di sana,” jawab Bujang.
“Terima kasih atas informasinya Jang. saya berangkat dulu,” sambil meninggalan Bujang dengan yang lainnya.
“Sama-sama Sutan.”
***
“Untuk membangun rumah gadang yang memakan waktu yang cukup lama dalam pembangunannya tentu juga agar tidak dimakan ulat kayu nantinya. Jika sudah dimakan ulat kayu maka tentu rumah gadang itu tidak akan kokoh dan hanya bisa digunakan untuk jangka waktu setahun sampai dua tahun saja, akan tetapi jika tidak ada ulat kayu maka rumah gadang itu akan kokoh walaupun telah puluhan tahun,” menjelaskan Datuk Bandaro Kayo.
“Banar Datuk, justru itu maksud dari kedatangan saya menemui Datuk pagi ini karena segala sesuatu harus ada rencana yang jauh ke depan untuk membangun rumah Suku Piliang ini dan menjadi simbol untuk keturunan kita nantinya. Saya sudah menduga kecerdasan Datuk bahwa ‘alun takilek la takalam, ikan di aie maleok-leok ala tahu jantan jo tinonya’[6] kapan akan Datuk sampaikan kepada masyarakat rencana tersebut ?” ucap Mamak Dulang.
“Ayo kita susul yang lain di depan anjungan yang sudah lama menunggu kita, disanalah tempat yang cocok untuk menyampaikannya,” jawab Datuk Bandaro Kayo sambil berdiri.
Mereka pun berangkat bersama menuju anjungan lama yang tidak jauh dari rumah Datuk Bandaro Kayo. Sebelum meninggalkan rumah mereka bertemu dengan Sutan Bana di depan pagar dan dengan tersenyum Datuk Bandaro Kayo sudah menebak apa yang akan ingin disampaikan olehnya. Belum dapat berkata apa-apa Sutan Bana sudah tahu jawaban dari pertanyaan yang akan disampaikan kepada Datuk Bandaro Kayo dengan senyumannya serta mengikuti Datuak Bandaro Kayo dan Mamak Dulang dari belakang.
Hanya berjalan beberapa menit saja mereka sudah sampai di depan anjungan dan terlihat masyarakat yang lain sudah berdatangan dengan peralatan masing-masing. Ada yang membawa parang ada yang membawa kapak ada yang membawa sabit dan membawa tali yang akan digunakan nantinya. Pemuka kaum Suku Piliang pun berdiri di depan anjungan dan tanpa aba-aba masyarakat yang lain pun berkumpul di depan Datuk Bandaro Kayo untuk mendengarkan informasi yang akan disampaikan.
Assalamu ‘alaikum warah matullahi wabarokatu, sebelum kita mengerjakan pekerjaan pembangunan rumah gadang akan lebih baiknya kita mengusun rencana ke depannya. Nanti kita kaum laki-laki akan pergi ke Bukit Kayu Sabatang untuk mengambil tiang rumah gadang beberapa buah ke sana dan yang lain persiapkan serta bersihkan lokasi ini untuk membangun rumah gadang di atas tanah yang kita injak ini. Serta sebagian yang ikut nantinya beberapa orang akan ditugaskan untuk mengambil bambu dan ijuk sebagai atap rumah gadang,” ucap Datuk Bandaro Kayo.
Semua mengangguk setuju dengan penjelasan pimpinan mereka ‘didahulukan selangkah dan ditinggikan serantiang’[7] begitulah mereka menghargai pemimpin mereka. Walaupun ada yang berumur jauh lebih tua daripada Datuk Bandaro Kayo namun karena mereka sudah mempercayakan tampuk kepemimpinan kepada Datuk Bandaro Kayo maka secara otomatis mereka harus menghargai setiap keputusan pemimpin mereka.
Kegiatan persiapan pembangunan rumah gadang pun berjalan lancar dan tanpa kendala sedikit pun. Anjungan yang lama pun sudah dibuka dan dibersihkan sisa-sisanya untuk bangunan rumah gadang dengan ukuran 15 X 7 pun sudah terlihat bersih. Namun kaum laki-laki dengan gotong royong sudah membawa kayu raksasa sebagai tiang yang akan dijadikan rumah gadang pun sudah mulai diletakan di dalam air serta papan-papan sebagai lantainya di rendam di dalam air untuk waktu seminggu sampai dua minggu. Hingga nantinya kayu yang di rendam itu akan kokoh untuk waktu yang panjang dan tahan terhadap ulat kayu. Jarak lokasi pembangunan rumah gadang dengan pengambilan tiang sangat jauh sekitar 7 km berjalan. Namun karena diangkat dengan gotong royong kayu yang ukuran raksasa itu tidak terasa beratnya.
Proses pembangunan rumah gadang itu sudah mulai terlihat, beberapa kaum laki-laki sudah mulai mengali lobang pertama untuk tiang rumah gadang. Bahkan mereka pun semuanya bekerja secara gotong royong dan tidak ada yang tidak bekerja. Akan tetapi baru beberapa meter lobang pertama itu digali ada getaran yang hebat menguncang bagaikan gempa lokal di tempat pembangunan rumah gadang itu. Semua orang merasa khawatir dengan kejadian itu dan akhirnya kegiatan pembangunan rumah gadang pun ditunda untuk sementara waktu.
Namun sudah beberapa menit menunggu sampai beberapa jam gempa lokal itu terus ada. Walaupun sebentar gempa dan berhenti, namun seperti itu terus terjadi dan hanya di lokasi pembangunan rumah gadang itu serta ditambah dengan hujan panas hingga berlanjut sampai 14 hari 14 malam. Datuk Bandaro Kayo pun berpikir keras apa yang sebenarnya yang salah dan apa yang sebenarnya yang sudah terjadi. Hingga akhirnya Datuk Bandaro Kayo memutuskan untuk mengadakan musyawarah kembali tentang kelanjutan proses pembangunan rumah gadang tersebut.
Maka siang itu diadakan kembali musyawarah membahas kejadian aneh yang menimpah proses pembangunan rumah gadang itu. Semua toko dan pemuka adat pun berdatangan membahas kendala yang mereka hadapi serta kejadian aneh tersebut. Musyawarah itu tidak terlalu jauh dari lokasi pembangunan namun di sekitar lokasi pembangunan getaran gempa lokal dan hujan panas terus berlangsung dan sebentar berhenti serta beberapa menit akan ada kembali begitu selama 14 hari 14 malam.
“Bagaimana proses selanjutnya Datuk ? Apa yang sebenarnya yang terjadi ? Kami merasa khawatir apakah proses pembangunan rumah gadang ini merupakan ujian dari yang Maha Kuasa kepada kaum kita dan apakah kita melanggar larangan-Nya ?” ucap salah seorang toko masyarakat.
“Iya Datuk, hujan panas serta gempa itu sangat aneh dan hanya terjadi di sekitar pembangunan rumah tersebut sedangkan tidak dengan daerah lain,” tambah toko masyarakat lainnya.
Belum sempat Datuk Bandaro Kayo menjawab pertanyaan itu, semua yang hadir itu terdiam sesaat dan akan mendengarkan jawaban dari Datuk Bandaro Kayo menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Namun tiba-tiba suara aneh atau suara gaib terdengar keluar dari pemancangan tiang pertama itu. Semua yang mendengarkan suara itu menjadi terkejut dan merinding ketakutan jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan nantinya.
“Sebenarnya di dalam tiang pemancangan pertama ini ada sepasang batu jagalah dan rawatlah batu itu dengan baik.”
Beberapa saat suara gaib itu hilang dan semua yang mendengar merinding bulu kuduknya dengan kejadian yang barusan mereka dengar. Suara siapa itu sebenarnya dan batu apa yang dia maksud itu ? Semua yang hadir merasa khawatir dan cemas dengan suara gaib itu. Namun dengan bijaksana Datuk Bandaro Kayo menepis semua rasa kekhawatiran dan rasa cemas masyarakat dengan berdiri dan berbicara di depan mereka.
“Suara yang barusan kita dengar berkaitan dengan mimpi saya belakangan ini. Sudah tiga kali saya bermimpi yang sama dan awalnya saya mengira itu hanya biasa-biasa saja. Namun sudah tiga kali mimpi itu datang, tidak mungkin mimpi itu sebagai bunga tidur lagi. Mimpi itu jusru petunjuk yang diberikan Allah Swt kepada kita dalam menyelesaikan proses pembagunan rumah gadang. Sebenarnya saya bermimpi didatangi oleh seorang yang mengaku bernama Syech Ahmad dan saya tidak tahu asal muasalnya namun sepertinya dialah pemilik batu yang dia maksud itu dan suara gaib tadi saya yakin itu adalah suara Syech Ahmad itu. Beliau memerintahkan saya untuk membuat perkampungan di atas pembangunan rumah gadang itu. Namun perkampungan itu hanya terdiri dari empat rumah yaitu satu rumah gadang yang akan kita bangun itu dan samping kiri dan kanan rumah gadang yang sudah ada serta satu lagi rumah dibelakang rumah gadang itu sendiri. Kampung itu disuruh beliau memberi nama dengan nama Kampung Palangan,” menjelaskan Datuk Bandaro Kayo.
“Jadi apa yang akan kita lakukan selanjutnya Datuk ?” ucap Sutan Bana.
“Kalau menurut saya, hal yang harus kita lakukan adalah kembali mengali lobang pemancangan pertama dan menemukan batu yang dimaksud Syech Ahmad itu, bagaimana menurut Datuk Bandaro Kayo selaku kepala kaum Suku Piliang ?” ucap Mamak Dulang.
“Saya setuju dengan apa yang disampaikan Mamak Dulang tersebut. Kita harus menemukan batu yang dimaksud itu dan sesuai pesannya kita harus menjaga batu itu dengan baik,” ucap Datuk Bandaro Kayo.
Musyawarah itu selesai dan semua yang hadir menyaksikan proses pengalian lobang pemancang itu. Dua pemuda sudah turun ke bawah dan memengang peralatan ditangannya untuk mengali tanah. Datuk Bandaro Kayo dan Mamak Dulang menyaksikan kedua orang itu mengali tanah dari atas. Hanya beberapa meter mengali tanah itu seorang pengali itu melihat batu aneh berwarna emas di dalam tanah. Hanya sedikit bagian batu itu yang terlihat karena bagian atasnya saja yang baru terlihat.
“Hati-hati mengambil batu itu Hadi dan galilah sedikit demi sedikit disekeliling batu itu,” ucap Datuk Bandaro Kayo.
Hadi seorang pengali itu pun sangat hati-hati mengali batu yang dimaksud itu dengan sedikit demi sedikit batu itu mulai terlihat dan akhirnya Hadi dan seorang pengali lagi mengangkat batu itu dengan hati-hati keluar dari tanah itu dan diletakkan di atas sebuah kain yang sudah siapkan Datuk Bandaro Kayo. Namun ternyata batu yang sudah diangkat tadi mengisahkan satu bagian lagi yang tertinggal di dalam tanah itu. Namun batu yang tersisa itu belum terlihat ada kilatan emasnya karena batu itu juga sama dengan batu yang sudah diangkat sebalumnya yaitu bagian bawahnya berwarna emas dan bagian atasnya terlihat seperti batu-batu biasa.
“Coba gali lagi dengan hati-hati batu satunya lagi Hadi,” ucap Datuk Bandaro Kayo kembali.
Pengali itu melaksanakan apa yang diperintahkan Datuk Bandaro Kayo dan mengali tanah itu dengan hati-hati sekali. Namun semakin digali batu yang satu itu tidak kunjung bisa sepenuhnya terlihat dan seolah-olah batu itu terus masuk ke dalam tanah. Sudah lama mengali dan tidak bisa diambil juga.
“Ya sudah biarkan saja batu yang satu itu dan mungkin hanya satu batu itu yang bisa kita angkat keluar dari tanah dan tidak untuk batu yang satunya lagi. Ayo bantu Hadi dan yang lain untuk keluar dari dalam,” perintah Datuk Bandaro Kayo kepada yang lain.
Akhirnya setelah pengambilan batu yang diperintahkan Syech Ahmad itu maka hujan panas dan gempa lokal pun berhenti seketika. Tidak ada lagi gempa lokal dan tidak ada lagi hujan panas di sekitar pembangunan rumah gadang itu. Untuk sementara waktu batu yang berwarna emas itu disimpan di rumah Datuk Bandaro Kayo sampai rumah gadang itu selesai.
Beberapa minggu setelah itu rumah gadang yang direncanakan di awal sudah selesai dan terlihat sangat indah. Anjungan yang kecil dan sempit yang dulu berdiri sebelum rumah gadang itu ada telah berubah menjadi rumah gadang yang dapat memuat semua masyarakat Suku Piliang untuk musyawarah tentang berbagai hal. Musyawarah pada kali membahas tentang kelanjutan Batu Ujian yang mereka temukan di tiang pemancangan pertama itu. Musyawarah itu seperti biasa selalu ramai yang hadir termasuk para petinggi adat dan agama. Namun musyawarah kali ini tidak seperti sebelumnya yang berdesak-desakan. Lain halnya sekarang ini ruangan musyawarah yang luas dan semua yang hadir dapat duduk dengan tenang di sana ‘bagaikan ikan di dalam air’.[8] Batu yang dulu mereka temukan diberi nama Batu Ujian dengan alasan bahwa batu itu akan mendatangkan musibah dan bencana pada awal pembangunan rumah gadang, namun justru batu itu sebagai sesuatu yang baik.
“Musyawarah kita pada kesempatan kali ini akan membahas tentang Batu Ujian yang kita temukan, dimana tempat yang sesuai kita simpan dan siapa yang akan merawat batu tersebut. Serta rumah gadang yang kita bangun bersama sudah bisa kita nikmati pada saat sekarang ini,” ucap Datuk Bandaro Kayo.
“Kami sebagai Mamak bagi kemenakan-kemenakan yang hadir di rumah gadang ini tentu mengucapkan ribuan terima kasih kepada kita bersama untuk telah bekerja sama membangun rumah gadang ini sampai selesai, amalan yang baik yang kita lakukan di atas dunia ini akan dibalas oleh Allah Swt dengan berlipat ganda hendaknya. Amien ya robbal ‘alamin. Sebagaimana kata Datuk tadi, alangkah baiknya jika Batu Ujian itu disimpan dan dirawat sendiri oleh keturuan Datuk karena Datuk lah kepala Suku Piliang disini.  ‘kok pai tampek batanyo, kok pulang tampek babarito’[9] bagi kami semua, bagaimana dengan kita yang hadir disini semua ?” ucap Mamak Dulang kepada masyarakat yang hadir.
“Kami setuju dengan usulan Mamak Dulang tadi,” ucap semua orang serentak.
“Baiklah kalau sudah sepakat semuanya Batu Ujian itu akan disimpan dan dirawat di rumah ini maka saya sebagai keturunan pertama Datuk Bandaro Kayo dan untuk generasi keturunan selanjutnya Batu Ujian ini akan terus berada disini dan kita semua bebas melihat Batu Ujian itu kapan saja yang kita mau. Dua hari yang lewat saya bermimpi bertemu dengan suara gaib beberapa minggu yang lalu. Beliau menyampaikan kepada saya bahwa Batu Ujian yang kita dapatkan itu adalah yang laki-lakinya sedangkan batu ujian yang tidak bisa kita ambil waktu itu adalah yang perempuannya. Selain itu Batu Ujian yang kita temukan itu sangat aneh pada bagian atasnya sama dengan batu yang lain warnanya, namun dibagian tengahnya berlobang bagaikan pusar-pusarnya. Sedangkan pada bagian bawah batu berwarna emas dengan tulisan Allah dan Muhammad tertulis di samping kanan dan kirinya,” menjelaskan Datuk Bandaro Kayo.
Batu Ujian yang berbentuk bulat lonjong itu masih ada di Perkampungan Palangan dengan rumah gadang sebagai rumah utama dan rumah kiri dan kanan rumah gadang serta di depan rumah gadang itu bernama Desa Balai Tabuh sedangkan dua buah rumah belakangnya sudah menjadi Desa Tapi Selo.
Semua yang hadir terkejut dengan batu aneh itu dan ternyata batu yang aneh itu sudah dibawa dan dilihatkan oleh Datuk Bandaro Kayo kepada yang hadir pada hari itu. Bahkan Datuk Bandaro Kayo juga menjelaskan batu yang berukuran seperti batu untuk menumbuk cabe bagi kaum ibu-ibu itu memiliki berat yang berbeda-beda setiap mengangkat Batu Ujian itu. Datuk Bandaro Kayo juga menjelaskan bahwa Batu Ujian itu bagaikan mengetahui niat orang yang mengangkatnya seperti jika seseorang meniatkan akan naik haji pada tahun ini dan jika dia mengangkat batu itu. Jika dia berhasil mengangkat Batu Ujian itu ke atas kedua pahanya sambil duduk bersimpuh maka dia memang diberikan Allah Swt kesempatan untuk menunaikannya dan jika tidak bisa berarti orang tersebut tidak mampu menunaikan ibadah haji pada tahun itu. Begitulah seterusnya untuk niat dan cita-cita yang akan kita capai, tapi Datuk Bandaro Kayo menjelaskan juga bahwa batu ujian itu sama seperti kita yang ciptakan oleh Allah Swt dan bukan tempat memohon yang beratnya berubah-ubah sesuai dengan niat orang yang mengangkatnya.

***
Sampai beberapa tahun kemudianpun Batu Ujian itu masih berada di rumah gadang itu dan keturunan Datuk Bandaro Kayo juga masih merawat dan menjaga batu itu. Bahkan batu itu menjadi pusat perhatian dan dipercaya akan mampu melihat masa depan seseorang kabarnya. Bahkan orang-orang lokal pun sering berdatangan dan mencoba mengangkat batu itu. Secara tidak langsung memberikan rezeki dan setiap pengunjung memberikan sedekah untuk yang menjaga serta merawat Batu Ujian itu sebagai rasa terima kasih dan biaya perawatan bagi yang menjaga dan memelihara Batu Ujian itu.
Akhirnya Batu Ujian itu berubah nama menjadi Batu Pandapatan karena mendatangkan rezeki dan memberikan pendapatan secara tidak langsung kepada si penjaga dan sekaligus merawat batu itu. Namun Batu Padapatan itu belum begitu dikenal orang dan hanya orang-orang sekitar saja yang berdatangan dan melihat batu itu.
Bahkan sampai sekitar 500 tahun kemudian, Batu Pandapatan itu sudah berubah nama menjadi Batu Angkek-Angkek dan sudah diketahui publik. Baik dari daerah Tanah Datar sendiri maupun daerah lain seperti Payakumbuh, Bukittinggi, Jambi, Solok, Pekan Baru, Jawa, Madura, Surabaya, Jakarta dan masih banyak lagi. Bahkan negara manapun ikut berdatangan melihat dan mencoba mengangkat Batu Angkek-Angkek itu seperti : Singapura, Malaysia, Amerika Serikat, Jepang, Saudi Arabia dan masih banyak lagi. Karena batu itu sering dikunjungi orang-orang baik lokal maupun manca negara sekalipun dan sering diangkat-angkat orang untuk mengabulkan ataupun meramalkan masa depannya. Maka batu itu disebut dengan Batu Angkek-Angkek.
Batu angkek-angkek yang kita ketahui sekarang itu kira-kira ada pada tahun 1497 atau kira-kira pada abab ke-14. Bahkan sekarang ini adalah keturuan ke-7 Datuk Bandaro Kayo menempati rumah gadang itu sekaligus menjaga dan merawat Batu Angkek-Angkek itu sampai saat ini. Sekitar 11 KM dari Kota Batusangkar yang terletak di Nagari Tanjung, Kecamatan Sungayang, Kabupaten Tanah Datar-Sumatra Barat.
Pada tahun 1986 Batu Angkek-Angkek resmi dijadikan sebagai tempat wisata dan dikenal oleh berbagai belahan dunia. Sedangkan pada tahun 2000 Batu Angkek-Angkek itu dialihkan pengendalian dan pemiliknya kepada Pemda setempat. Akan tetapi keturunan Datuk Bandaro Kayo masih ikut menjaga batu itu sampai saat ini. Walaupun Datuk Bandaro Kayo keturunan ke-13 sudah meninggal pada tahun 2005 akan tetapi sampai saat ini belum ada penganti Datuk Bandaro Kayo untuk meneruskannya. Walaupun ada anak dan cucunya namun dikhawatirkan akan terjadi perselisihan dan perebutan Batu Angkek-Angkek itu untuk masa mendatang.
Sekarang batu itu berada dalam rumah gadang dengan ditutupi kelambu atau tirai kain. Sedangkan untuk orang yang ingin mencoba mengangkat batu itu diwajibkan untuk berwudhu’ dan harus mengikuti tata cara yang sudah diletakkan sebelum melangkah ke dalam kelambu atau tirai tempat Batu Angkek-Angkek itu barada.


NB:   Cerpen ini sedang mengikuti Lomba Penulisan Cerita Rakyat Tahun 2015
          alamat: Direktorat Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya, Kompleks Kemdikbud Gedung E Lantai 10. Jl. Jenderal Sudirman, Senayan, Jakarta PusatTelpon: (021) 5725047/5725564.







[1] Suku Piliang : Salah satu suku di Minangkabau.
[2] Rumah Gadang : Rumah tradisional daerah Minangkabau.
[3] Kok hujan tampek bataduah, kok paneh tampek balinduang : Kalau hujan tempat berteduh, kalau panas tempat berlindung, (Pepatah-petitih Minangkabau)
[4] Bulek aie dek pambuluah, bulek kato dek mufakat : Bulat air karena bambu, bulat pembicaraan karena musyawarah, (Pepatah-petitih Minangkabau).
[5] Sajak Gunung Marapi sagadang taluih Itiek : Sejak Gunung Merapi sebesar telur Itik, (Pepatah-petitih Minangkabau).
[6] Alun takilek la takalam, ikan di aie maleok-leok ala tahu jantan jo tinonya: belum jelas bendanya sudah tahu semuanya, (Pepatah-petitih Minangkabau).
[7] Didahulukan selangkah dan ditinggikan serantiang:Pemimpin yang di hormati dan dihargai, (Pepatah-petitih Minangkabau).
[8]Bagaikan ikan di dalam air : Nyaman, tenang dan damai, (Pepatah-petitih Minangkabau).
[9] Kok pai tampek batanyo, kok pulang tempek babarito: Kalau pergi tempat bertanya, kalau pulang tempat memberi berita, (Pepatah-petitih Minangkabau).

0 komentar:

Posting Komentar