Gambar : Minangkabau tempo dulu. |
Disebuah desa yang belum begitu terkenal, namun memiliki wilayah
yang begitu cukup potensial dengan sumber daya alam dan beberapa tempat wisata
yang potensial. Daerah kecil itu bernama Nagari Tanjung, Jorong Balai Bungo,
masih Kecamatan Sungayang. Ada sebuah keluarga yang berasal dari keturunan
Piliang yang belum beberapa orang berdomisi disana. Walaupun ada beberapa orang yang juga
berdomisili disana bukan saja dari orang-orang Suku Piliang, namun ada suku
lain seperti Suku Kutiayiae. Walaupun demikian sesama umat muslim semua menjaga
jiwa kebersamaan dan sayang menghargai. Itulah kelebihan dari orang
Minangkabau. Walaupun dari suku mana saja, asalkan menetap di daerah
Minangkabau maka wajib saling bertegur sapa dan berbaur dengan mayarakat dan
adat disana. Bagaimana pepatah Minang mengatakan, “Dima bumi dipijak disitu
langik dijunjuang.” Artinya dimanapun kita berada, baik itu negeri orang
lain sekalipun maka kita wajib untuk menjunjung tinggi adat istiadat daerah
tersebut.
Begitulah orang Minangkabau dari dulu hingga sekarang, selalu
menjunjung tinggi adat istiadat, “adat basandi sara’ syarak basandi
kitabullah.” Nenek moyang kita yang turun dari gunung merapi, sajak
gunung sagadang talua itiak. Baa kecek urang tuotuo dulu. Coba kita lihat
dimanapun orang Minang berada maka disana akan akan ada perkumpulan orang-orang
Minang berada, bahkan tersebar di seluruh Indonesia khususnya. Dimana ada
tempat disana ada orang Minang, begitulah orang Minang tersebut. Misalnya, di
tanah Jawa ada orang Minang maka ada orang Minang yaitu di Tanah Abang, semua
orang disana mendominasi orang Minang disana umumnya. Orang Minang dari dulu
hingga sekarang lebih suka merantau yaitu berdagang, bahkan orang Minang
terkenal dengan kecerdikannya. Pepatah Minangkabau yang selalu dipegang teguh
dari dulu hingga Gunung Merapi masih berdiri kokoh sampai sekarang yaitu, “Takuruang
nya’ di lua, taimpik nya’ di ateh.” Orang Minang sekarang salah mengartikan
pepatah petiti Minang tersebut, mereka mengartikan bahwa itu ada orang Minang caliah
atau licik. Bukan, itu artinya bahwa orang-orang Minang dimana pun dia berada
akan bisa menempatkan dirinya atau berpandai-pandai dengan orang-orang
disana.
Pada sebuah rumah gadang yang menculang tinggi, bahkan untuk
naik ke atas ada genjang yang lumayan tinggi. Rumah gadang itu masih
berdiri kokoh dengan beberapa orang yang menempati rumah tersebut. Sebuat nama
namanya Leha seorang anak dari ketunan Datuak di rumah tersebut. Bahkan
Ia sangat disayangi oleh keluarga, dan sanak keluarganya yang ada di
sekitarnya. Dia tumbuh dari keluarga yang biasa-biasa saja namun terpandang
dalam daerahnya. Itu disebabkan oleh Datuaknya yang baik budi, alim, dan
tampek batanyo dalam setiap permasalahan. Setiap orang sangat menghargai
Datuak tersebut, bahkan Leha tumbuh menjadi gadis yang baik budi, cantik, serta
berbakti kepada kedua orang tua. Bahkan dia adalah bunga desa dalam keseharian
orang-orang, walaupun demikian dia tidak sombong dengan anugrah Tuhan yang diberikan
kepadanya. Bahkan dia sangat ringan tangan terhadap siapa saja yang membutuhkan
pertolongannya, selain cantik dia juga pintar. Bahkan dia sering membantu
teman-temannya dalam mengaji di surau, karena orang Minang pada zaman dulu
menjadi kebiasaan bahwa bukan hanya di sekolah saja yang menjadi tempat menuntut
ilmu. Bahkan surau menjadi multi fungsi pada zaman dulu, selain untuk sholat
juga menjadi tempat belajar mengaji, tempat menimba ilmu seperti halnya belajar
bersilat bagi kaum laki-laki. Karena pada zaman dulu laki-laki tidak dibenarkan
untuk tidur di rumah, karena malu jika dikatakan teman-temannya dia masih tidur
dengan orang tuanya.
Pada masa dulu sekolah belum begitu banyak seperti sekarang ini,
karena pada zaman dulu adalah zaman penjajahan Hindia Belanda, masa penajajahan
Jepang. Maka hanya keturunan darah biru atau orang yang yang memiliki
kekayaaan dan terpandang masa dulu. Orang-orang yang yang dekat dengan
pemerintahan penjajahanlah yang akan mendapatkan kehidupan yang baik dan
senang. Namun tidak dengan orang-orang miskin dan tidak mampu untuk sekolah,
karena penjajah tidak ingin anak bangsa yang mereka jajah menjadi pintar dan
dapat mengusirnya dari tanah mereka.
Hari-hari dijalani oleh Leha dengan senang hati dan riang, sampai
dia tumbuh dewasa tingkah laku dan budi pekertinya yang luhur tidak berubah.
Bahkan di daerah seberang atau sabarang, karena wilayah itu ada sebuah
sungai yang mengalir dan memisahkan kedua wilayah tersebut. Namun ada jembatan
yang menghubungkan antara dua walayah tersebut, namun jembatan itu tidak
terlalu besar. Di bawahnya ada sebuah pemandian tempat anak-anak mandi sepulang
sekolah, di sebut dengan sebutan Lubuak Kincie. Dimana itu karena
dulunya kata orang-orang tua, bahwa tempat itu dulunya adalah sebuah tempat
pengilingan padi atau kincir padi. Orang sering menyebutkan dengan tempat menumbuk
padi pada masa dulu yang mengunakan energi air sebagai penggerak utama.
Di daerah Subarang itu ada sebuah pemuda yang tampan dan terkenal
dengan ketampanannya. Orang itu sering dipanggil orang dengan sebutan “Si
Utiah,” memang kulitnya itu putih. Leha yang setiap pagi berjalan ke
Sekolah Desa pada masa itu, antara Siutiah dan Leha sering berpasasan setiap
pagi dan sering saling tegur. Ada rasa yang yang tersimpan antara mereka berdua
hingga pada usia remaja yang mereka sudah bisa menjalin hubungan lebih dekat
lagi, melalui genjang pernikahan.
Konon kabarnya bahwa pemuda yang bernama Siutiah itu dulunya
berasal dari keluarga yang sederhana. Akan tetapi sayang suatu hal menimpa
Ibunya yang sedang mengandung delapan bulan dan hampir menjelang sembilan
bulan. Namun Ibunya meninggal dunia akan tetapi pada masa itu belum ada dokter
maupun bidang. Maka pada masa itu orang-orang berpikir bahwa nyawanya sudah
tidak bisa diselamatkan lagi maupun anaknya. Setelah dimandikan, dikafani,
serta dishalatnya, maka waktu dikuburkan wanita itu tetap terlihat perut yang
masih membesar.
Beberapa hari Ibunya itu kuburkan maka suatu hal yang mengagetkan
serta menjadi hal yang menghebohkan pada daerah itu. Bahwa kuburan yang masih
basah tersebut, tiba-tiba saja terdengar suara tagisan bayi dari kuburan
tersebut. Maka warga datang beramai-ramai untuk mengali kuburan itu kembali,
ternyata memang benar itu bukan suara gaib ataupun setan dan sejenisnya. Itu
memang suara anak bayi dari Ibu yang mengandung tersebut, hingga akhirnya orang
yang bernama Siutiah itulah yang berasal dari Ibu yang telah meninggal
tersebut.
Hingga akhirnya antara Siutiah dan Leha menikah, dan dari sana maka
semua keturunan Suku Piliang tersebut sampai hari ini keturunan kulit putih. Semua
menurun kepada anak-anaknya yang juga berkulit putih, walaupun tidak semua
keturunan tersebut memiliki kulit yang begitu putih seperti orang barat. Namun
ada beberapa orang dari setiap ketunanan memiliki kulit yang cerah dan selalu
mendapat sanjungan dari orang lain. Konon kabarnya bahwa Datuak Suku Piliang
itu bernama Dt. Bagindo Bosaik, jika anda ingin melihatnya kuburan itu sangat
berbeda dengan kuburan yang lain. Karena kuburan itu hanya seperti susunan batu
yang biasa, namun agak tinggi dari kuburan biasa. Diatas kuburan tersebut
terdapat sebuah batu yang unik yang mungkin peningglalan megalitikum dulu yaitu
bulat lonjong lumayan besar. Itu adalah pertanda kuburan Datuak Suku Piliang.
Dibelakang sebuah rumah Tek Ili, atau Ne Yeni, jalan ke sebuah surau Raudataul
Jannah. Ada dua buah rumah dan dibelakang tempat itulah sebuah kuburan Datuak
itu dikuburkan, atau disebut dengan pemakaman Suku Piliang, atau Pondam suku
Piliang.
Dima alamatnyo ko Pak...
BalasHapus