Gambar : Rumah Puisi Taufik Ismail-Padangpanjang. |
Dalam sebuah buku motivasi, “Impian
adalah setengah dari keberhasilan, sedangkan setengahnya lagi adalah usaha.”
Sebuah buku best seller dengan penulis Solikhin Abu Izzuddin. Buku yang
memberikan banyak kata-kata motivasi untuk terus meningkatkan semangat kita
untuk terus mencapai apa yang kita impi-impikan. Sebuah mimpi atau impian tidak
terlepas dari usaha seseorang dalam mencapai semua mimpi-mimpi tersebut. Memang
benar impian adalah setengah dari keberhasilan, hanya orang-orang yang memiliki
impianlah yang akan mencapai keberhasilan. Selagi bermimpi itu gratis, mengapa
tidak bermimpi dari sekarang ? Jika seseorang tidak pernah ada impian maka
jangan harap sebuah keberhasilan itu akan didapatkan. Seorang yang memiliki
pangkat dan jabatan yang tinggipun juga berawal dari mimpi yang dibangun dari
nol hingga mencapai keberhasilan yang benar-benar nyata dalam hidupnya.
Semua itu tidak terlepas dari usaha
dan perjuangan hebat yang mereka lalui. Jika hanya bermimpi sama saja bohong, akan
tetapi mimpi yang tinggi diikuti dengan usaha dan kerja keras yang begitu
sulit. Maka insyaallah akan mencapai mimpi-mimpinya. Ahmad Fuady dalam
novelnya menyebutkan bahwa, “Manjadda wajada (siapa yang sungguh
mendapat), man saara ‘ala darbi wasyala (siapa yang berjalan di jalannya
akan sampai pada tujuan, dan terakhir man sabara zafira (siapa yang
sabar akan mendapat). Begitulah cara orang-orang sukses dalam mencapai dan
mengejar impiannya sampai detik dara penghabisan sekalipun.
Sepasang kekasih yang sudah lama
menjalin ikatan tali kasih sayang antara keduanya. namun mereka berbeda kampus
atau tempat kuliah, walaupun demikian mereka terasa dekat dengan ikatan hati
yang mengatukan mereka. Rasa yang kuat tidak akan pernah menghalangi rasa yang
sudah terjalin begitu erat dan sudah menyatu sama lain. Tempat yang jauh tidak
mendaja kendala dalam hubungan mereka bahkan mereka terkadang sering berjumpa
pada Kota Wisata tempat Vinda nama kekasihnya kuliah di salah satu perguruan
tinggi terkemuka disana.
Walaupun Irvan yang menjalani
perkulihan di Kota Budaya, juga disalah satu perguruan tinggi terkemuka di
Batusangkar. Pada suatu ketika, pada saat mereka saling merasakan rindu yang
begitu mendalam dan ingin sekali bertemu.
“Assalamu ‘alaikum, Vinda,”
degan nada datar.
“Wassalamu ‘alaukum, Van. Bagaimana
kabarnya Van,” suara Vinda dari ujung telpon.
“Alhamdulillah sehat, akan tidak
lengkap dengan kehadiran Vinda disini. Walaupun hanya mendengar suara Vinda,
sudah dapat mengobati perasaan ini, bagaimana kabarnya Vinda ?”
“Syukurlah Van, Vinda juga merasakan
hal yang sama dengan apa yang Van rasakan disini. Namun, suatu saat kita akan
bisa bersama kembali. Jarak yang jauh tidak akan pernah dapat memisahkan kita.
Alhamdulillah Vinda juga sehat Van, hari-hari Vinda terasa begitu sepi tanpa
suara Van dan tanpa bertemu dengan Van tapi...” berhenti seketika.
“Jangan bersedih Vinda, Van yakin dan
percaya sama Vinda disana. Makanya, Van tidak pernah ragu akan ketulusan yang
Vinda berikan pada Van. Jangan sedih Vinda sesuatu kebahagian itu akan terasa
indah pada saat kita sudah ada ikatan suci yang menyatukan kita. Hanya tinggal
beberapa langkah lagi Vinda, Van yakin dan percara kita pasti bisa melewati
semua itu. Asalkan kita sama-sama percaya dan yakin pada diri sendiri.”
“Terima kasih Van, Vinda tidak tahu
harus bagaimana jika tidak ada Van. Selama ini kita menjalan kita ini dengan
penuh perjuangan dan jangan sampai patah dengan hal-hal yang tidak inginkan.
O..ya Van, jika kita nanti sudah memakai toga kebesaran kampus masing-masing,
jangan lupa datang ke kampus Vinda ya Van ?”
“Insyaallah Van akan datang, tapi
jangan sampai tidak dikasih tahu sama Van ya Vinda ?”
“So pasti Van.”
“Janji nih Vinda ?”
“Iyaa janji Van, Van juga undang dan
kasih informasi sama Vinda jika Wisuda ya ?”
“Insyaallah akan Van kasih kabar
nantinya, yang penting sekarang kita sama-sama berjuang dalam menyelesaikan
jenjang pendidikan. Hanya satu pesan Van sama Vinda, walaupun Vinda di kota
besar tapi jangan sampai terbawa dengan arus yang tidak baik, tetaplah menjaga
sholat, mengaji dan jaga iman yang ada dalam diri Vinda kemanapun pergi.”
“Iya Van, Van juga ya ? Insyaallah
akan Vinda lakukan.”
“Besok ada jadwal kosong tidak Vinda
?”
“MNnnn...ada Van, ada apa Van ?
lagipula besok Vinda tidak ada kuliah.”
“Rencana Van mau mengajak Vinda ke
tempat yang pernah Vinda ingin pergi ke sana ?”
“O..yang itu, Rumah Puisi Taufik
Ismail yang di Padangpanjang itu maksud Van ?”
“Betul sekali jawabannya, 100 untuk
Vinda,” sambil tertawa kecil.
“Oups...ini serius loh Van, tidak
bercanda.”
“Iya...iya Vinda, jangan nyambek dong
Vinda ?” mencoba membujuk.
“Iya deh Vinda tidak jadi nyambek.”
“Kalau nyambek Vinda juga makin manis
deh,” mencoba merayu.
“Iya..Vinda juga maniskan Van,” sambil
tertawa.
“Memang Vinda manis, ya sudah Vinda
istirahat dulu. Besok Van kasih kabar saja sama Vinda.”
“Iya Van, Van juga istirahat lagi ya.
Jangan sering bergadang.”
“Ok Vinda, semoga mimpi indah dan
sampai ketemu saja besok Vinda. Assalamu ‘alikum”
“Sama-sama saja Van, wassalamu
‘alikum,” sambil mematikan telpon.
Pagi-pagi sekali Irvan sudah bangun
dan melaksanakan shalat subuh. Tiba-tiba saja semangatnya pagi ini terasa
diatas angin, mengapa tidak orang yang dicintainya selama ini memberikan
kekuatan tersendiri terhadapnya. Bahkan bukan hanya itu pagi ini, Irvan sudah
sibuk dengan membersihkan motor kesayangannya. Seolah-olah dia tahu betul apa
yang dipikirkan oleh motor kesayangannya itu. Hingga semua sisi motornya sudah
terlihat bersih dan memancarkan cahaya merah yang menyala-nyala, bagaimana
dirinya yang sedang semangat.
Sekitar pukul sepuluh Irvan sudah
selesai dengan segala persiapan untuk menemui kekasih hati yang disana. Dengan
mngucapkan bismillah dia melangkah dengan pasti dan meninggalkan rumah dengan Simerah. Jalur yang dilalui Irvan hari ini adalah jalur dengan
istilah,”Batu-Panjang-Tinggi.” Itu adalah sebuah simbol kota yang dia lalui
kali ini, namun perjalanan itu sedikit memakan waktu sekitar satu setengah jam
sampai dua jam. Walaupun demikian tidak membuat langkahnya menjadi berhenti
sampai dia berada di tempat Vinda.
Tiba-tiba saja Irvan mengeluarkan
sebuah handphone dari kantongnya dan sibuk dengan tarian jari tangannya
di keypet handphone-nya. Dengan cepat dia sudah selesai melakukannya
tanpa memberhentikan Simerah terlebih dahulu. Suasana yang pikiran jalan yang dia lalui
terasa begitu indah apalagi daerah yang dilaluinya hawanya sangatlah dingin
daripada tempatnya di Sungayang. Itu menjadi suatu tantangan baru dan melihat
indah serta permainya daerah orang lain. Melakukan suatu perjalanan adalah
keasyikan tersendiri baginya, selain bisa melihat keindahan daerah orang lain
juga dapat menambah daya semangat tersendiri. Rasa dingin yang dia lalui tidak
membuatnya menyerah, bahkan hujan gerimis dijalan tidak membuatnya berhenti.
Sekitar pukul dua belas kurang, dia
sudah berada di depan pintu gerbang Kota Wisata disana tertuliskan, “Selamat
datang di Kota Bukittinggi.” Akhirnya perjalanan Irvan tidak jauh lagi karena
hanya tinggal beberapa menit lagi untuk terus sampai di tempat Vinda. Ternyata
kesibukannya tadi untuk memberikan tahukan keberadaannya pada Vinda, agar Vinda
juga bersiap-siap menunnggunya.
Di depan SD Belakang Balok di
parkirlah motornya, beberapa saat menunggu terlihatlah Vinda keluar dari tempat
kosnya sambil berjala indah bagaikan bidadari yang mempesona. Baju merah dengan
warna hitam sebagai kombinasi yang begitu maching dengan bentuk
tubuhnya. Apalagi senyumannya begitu indah dan menyahit hati, siapa tidak
terpesona dengan tampilannya hari ini. Selain pintar juga manis, begitulah
orang yang bernama Vinda tersebut. Beberapa saat berjalan tidak
disangka-sangka sudah berada di depan Irvan.
“Hey...malah bengong, langsung
berangkat Van,” sapanya sambil menepuk bahu Irvan.
“Eeehh..maaf, Van kira Vinda belum
sampai. Menarik sekali penampilan Vinda hari ini,” sambil mengodanya.
“Aaah...biasa saja Van,” sambil
memukul bahu Irvan.
“Langsung jalan atau bagaimana Vinda
?”
“Jalan saja langsung Van, yuk.”
“Ayuk Vinda,” sambil meng-gas
motornya.
Perjalanan mereka baru saja dimulai,
Irvan sebagai pengemudi perjalanan mereka, sedangka Vinda sebagai peta Kota
Wisata kali ini. Namun keduanya sangatlah kompak dan saling bekerja sama satu
sama lain. Perjalanan sepasang kekasih untuk jarak yang dekat sangatlah tidak
terasa, akan terasa dekat jika saling bersama. Begitulah perjalanan mereka ke
Rumah Puisi Taufik Ismail dan sudah terlihat tanjakan rumah puisi tersebut. Di
pinggiran jalan ke atas tertuliskan,”Aie Angek Collage dan plang bertuliskan
Rumah Puisi Taufik Ismail.
Tidak berapa lama mereka sudah berada
di depan Rumah Puisi Taufik Ismail, suasana disini sangatlah sejuk dan nyaman
untuk semua perpustakaan pribadi.
“Pemilihan tempat yang sangat cocok
dan astri untuk bangunan perpustkaan,” pikir Irvan dalam hati.
Bukan hanya itu bangunan mushalla juga
dan gedung pertemuan juga berdiri sendiri dari bangunan perpustakaan. Apalagi
keindahan alam yang begitu indah terasa lengkap sudah perjalanan mereka. Irvan
yang dari tadi terus memandangi sekeliling bangunan demi bangunan hingga tidak
ada yang tertinggal dari penglihatannya.
Tiba-tiba saja Vinda sudah berada di
depannya.
“Van, ayo kita masuk,” sambil menarik
tangan Irvan.
“O...iya Vinda,” mengikuti langkah
Vinda.
Belum lagi di dalam banyak sekali
koleksi buku Pak Taufik Ismail dan ruangan tamu yang dikelilingi oleh deretan
kata-kata indah. Kami mengisi daftar hadir pengunjung dulu disana, setelah itu
Vinda mengajak Irvan untuk melihat-lihat lebih banyak lagi koleksi buku-buku
Taufik Ismail. Ada banyak buku dalam lemari dan juga di rak buku. Kami mencari
buku-buku yang kami suka dan kami baca di meja yang disediakan. Ternyata di
dalam juga ada ruangan pribadi Pak Taufik Ismail dan lengkap dengan meja serta
kursinya. Permadani karpet untuk membaca sangat nyaman dan rilex disana.
Tanpa terasa kami sudah berada disana sekitar dua jam, terlihat jam di dinding
sudah pukul dua siang.
“Shalat dulu kita yuk Vinda,” sambil
menepuk-nepuk tangannya yang sedang asyik dengan bacaannya.
“Sudah jam berada Van.”
“Sudah jam dua Vinda, yuk.”
Akhirnya kami berdua berjalan ke
mushalla dekat perpustakaan tersebut. Beberapa menit kami sibuk dengan aktivitas
shalat kami sendiri-sendiri dan akhirnya Irvan menunggu Vinda sambil melihat
daerah sekitar mushalla. Beberapa menit menunggu Vinda muncul dengan senyuman
yang menbuat hati Irvan krepek-klepek tidak berdaya. Namun, dia masih bisa
mengusai dirinya yang sedikit terbaru arus pesona Vinda. Irvan hanya
membalasnya dengan senyuman kecil dan berjalan meninggalkan mushalla.
“Ada sesuatu yang ingin Van
perlihatkan kepada Vinda,” sambil melihat kepadanya.
“Apalagi itu Van,” sambil membalas
tatapan mata Irvan.
“HMnnnnn...masih tentang keinginan
Vinda beberapa waktu yang lalu dengan Van, tapi belum saatnya Van kasih tahu.
Kalau sudah sampai Van kasih tahu nantinya.
“Iya deh,” dengan wajah sedikit
nyambek.
“Senyum dong Vinda, nanti tidak jadi
sampai dengan wajah cemberutnya Vinda,” dengan godaan kecil.
“Iya deh Van,” sambil tersenyum kecil
dan pukulan kecil kepada Irvan,
“Ayo bidadariku, kita berangakat,”
sambil melirik Vinda yang masih berdiri.
“Ayo pengeranku,” sambil tertawa
kecil.
Hari ini hari yang sangat
membahagiakan bagi kedua anak manusia tersebut. Bagaimana tidak dari awal
pertemuaan dan sampai dalam perjalanan mereka sangat bahagia dengan senyuman
dan tawa kecil mereka. Saling memberikan semangat satu sama lain, saling
mengingatkan jika Irvan tersesat dalam mengaruhi perjalanan tersebut. Namun
Irvan tidak pernah takut akan tersasar kerena sebuah peta hidup dari Kota Tri
Arga selalu ada bersamanya.
Perjalanan mereka dilanjutkan dengan
menuju sebuah kota kecil di Tanah Datar, walaupun demikian ada keunikan kota
kecil itu yang tidak banyak ketahui sebagian orang-orang dari luar kota
tersebut. Itulah yang akan diperlihatkan Irvan kepada Vinda kesana. Pemandangan
yang sangat indah dan unik, walaupun pernah diceritakan Irvan kepada Vinda
tentang kejadian itu dalam sebuah cerpennya yaitu “Keindahan Kota Batusangkar.”
Akhirnya mereka sampai juga di kota
kecil itu yang bernama Kota Batusangkar. Kota ini juga dijuluki dengan Kota Budaya
dan ada juga sebagian orang menyebutnya dengan Kota Ojek, karena dimana-mana
banyak orang yang berprofesi sebagai tukang ojek disini. Namun Irvan juga
bercita-cita akan menjadikan kota kecil ini dengan sebutan baru yaitu “Kota
Seribu Penulis.” Jika suatu saat nanti Irvan berhasil merilis dan mampu
melahirkan penulis-penulis baru dan setiap sudut kota ini akan dipenuhi dengan
penulis-penulis yang handal. Bukan tidak mungkin semua itu akan terjadi
nantinya. Bahkan dia juga beringinan untuk membuat perpustakaan yang lengkap di
Kota Batusangkar ini dan juga bertaraf internasional nantinya.
Akhirnya Irvan dan Vinda mengambil
sebuah tempat di sudut Lapangan Cinduo Mato. Sebuah tempat duduk dari besi dan
juga digunakan sebagai tempat pengobatan rematik di pekarangannya itu. Namun
kami hanya duduk santai dan menikmati makanan kecil dan minuman sore itu.
Sekitar pukul enam sore disaat
matahari sudah hampir tergelincir dan bersiap kembali ke peraduannya kembali.
Maka pada saat itulah sebuah tarian indah ribuan Burung-Burung Bangau melakukan
ritual mereka di atas sebuah beringin yang berada di pusat Kota Batusangkar
tersebut. Keduanya asyik dengan keindahan yang memberikan kesejukan hati yang
tiada tara sore itu.
“Inilah yang Van maksud dengan,
“Keindahan Kota Batusangkat,” Vinda. Indah bukan ? Ini hanya ada di Kota
Batusangkar dan itupun setiap sore. Jika setiap hari Vinda kesini maka Vinda
akan menyaksikan pemandangan indah dari tarian Burung-Burung bagau Putih ini.
Mereka mengitari beringin yang disana, entah berapa kali putaran yang pasti
mereka juga tahu waktu shalat Magrib masuk. Ketika suara azan sudah
dikumandangkan maka tarian Bagau-Bagau Putih itu akan berhenti dan kembali
istirahat di atas Pohon Beringin tua itu,” sambil menjelaskan kepada Vinda.
“Indah sekali Van, ini adalah kali
pertama Vinda bisa langsung menyaksikan dan mengetahui keindahan kota kecil
ini,”sambil terus melihat keindahan tarian burung-burung Bagau tersebut.
Tidak sedikitpun mata Vinda terkedip
menyaksikan aktraksi demi aktraksi dari tarian Burung-Burung Bagau Putih
tersebut. Terlihat senyuman indah Vinda dari setiap penampilan-penampilan yang
membuat Vinda merasa kagum dengan keindahan kota kecil ini. Namun, Irvan hanya
memperhatikan tingkah laku Vinda dan sesekali memandang penampilan Burung
Bangau tersebut.
Suara azan Magrib mengakhiri aktraksi
tarian Burung-Burung Bagau Putih itu dan terlihat senyuman manis Vinda yang
menyambang di bibirnya. Rasa bahagia mereka lengkap sudah dengan penampilan
burung-burung tersebut. Akhirnya sentuhan tangan Irvan membawa mereka kembali
ke tempat Vinda.
“Jika Vinda berkunjung siang, maka
Vinda tidak akan melihat mereka di atas sana. Palingan ada satu-satu di atas
saja, karena mareka pagi-pagi sekali sudah menyebar ke berbagai tempat untuk
mencari makan. Ya sekitar pukul setengah enam mereka sudah pergi dengan
berkelompok-kelompok mencari makan dan pulang pada petangnya lagi. Sejakr kita
sampai tadi mereka sudah mulai berdatangan dan menarik peminat dari kalangan
manusia untuk menyaksikan penampilan mereka. Bahkan mereka disana hidup tidak
pernah diganggu dan dibiarkan menetap serta menjadi sarang bagi mereka. Jika
menunggu sebentar lagi mereka terlihat seperti bola lampu yang sangat terang
yang memancarkan keindahan di sela-sela daun Pohon Beringin besar tersebut.
Seolah-olah Pohon Beringin itu memiliki
banyak lampu yang terpasang disana. Padahal itu hanyalah ribuan Burung-Burung
Bagau Putih itu yang memberikan cahaya tersendiri, bagaikan ribuan bola lampu.
Coba Vinda perhatikan Pohon Beringin besar itu sekali lagi,” sambil menunjuk ke
sana.
“Woooawwww, indah sekali Van,” sambil
memukul kecil punggung Irvan.
“Indah, indah Vinda, tapi jika ribuan
kali pukulannya jadi tinggal tulang deh Van nanti,” sambil menggodanya.
“Iya maaf Van, habis geregetan dengan
keindahan Burung Bagau tersebut.”
Tiba-tiba saja Irvan bangun dari
lamunan panjangnya, tenyata semua perjalanan indah dengan sang sahabat itu.
Hanyalah sebuah impian yang mereka bangun, namun tidak pernah terwujud. Entah
kapan semua itu akan bisa terwujudkan, namun saat ini semua itu tidak mungkin
akan terjadi, karena Vinda sudah sibuk dengan pasangan barunya dan sahabat
lamanya ditinggalkan begitu saja. Bahkan dia tidak seperti dulu lagi yang
merasa senang jika setiap kali Irvan datang ke sana. Akan tetapi sejak dia
menemukan belahan jiwanya itu, dia sangat berubah drastik dan tidak pernah
menghiraukan persahabatan yang sudah lama mereka bangun.
“Dasar wanita yang selalu mengecewakan
hatiku, apakah mereka tidak ada rasa persahabatan lagi dalam hati mereka hingga
dia tidak tahu siapa dan bagaimana perasaanku tidak dihiraukan pada saat aku
berkunjung ke tempatnya,” pikir Irvan di dalam hati.
Sebenarnya maksud kedatangan Irvan
dikala itu, ingin mengobrol dengan sahabatnya dan berkunkung ke tempat lama
mereka pernah makan dan minum bersama yaitu “Maha Puding,” yang tidak jauh dari
tempat kos Vinda dekat pasar bawah. Serta keinginannya yang tidak pernah
terwujut sampai saat ini yaitu ingin sekali dia foto bersama dengan Vinda
sebagai sahabatnya yang sangat berjasa kepadanya. Namun sikap dan tingkah laku
sahabatnya itu sudah betul-betul tidak sama dengan biasanya dan tidak mengerti
dengan apa yang dia rasakan.
“Biarlah dia pergi dengan meninggalkan
semua kenangan dan mimpi-mimpi yang pernah kita ucapkan berdua, semoga dia
menemukan pasangan yang setia dan bahagia hingga akhir hidupnya kelak. Amien,”
ucap Irvan dalam hatinya.
Semua kisah persahabatan yang mereka
lalui hanyalah mimpi-mimpi yang tidak pernah akan tercapai. Mimpi yang jauh
dari kenyataannya dan mustahil akan terwujud. Mungkin Irvan harus mencari jalan
lain yang akan mampu membuatnya bahagia dan mampu melupakan sahabatnya. Hanya
jalan baru dan impian baru yang akan mampu menghilangkan semua kisah dan
perjalanan perhabatan mereka tersebut. semua mimpinya hanya ada dalam imajinasinya saja, namun tidak di dunia nyata.
0 komentar:
Posting Komentar