“Libur sekarang
Nak ?” sapa seorang ibu.
“O...Iya, Buk,”
jawabnya sambil berlalu.
Sudah beberapa
bulan anak ini sebenarnya sudah tidak lagi bekerja, namun dia dipandang sebelah
mata sebagai pengangguran di kampung. Bukan hanya dia tapi setiap orang yang
tidak memiliki pekerjaan, tidak ada dihargai dan diremehkan oleh orang lain.
Begitulah kehidupan di kampung, walaupun sudah sarjana namun percuma rasanya
gelar sarjana yang sudah susah payah didapatkan selama bertahun-tahun. Meski
ujung-ujungnya harus bekerja di kebun dan sawah, percuma kuliah berbagai macam
ilmu akuntansi, manajemen, perbankan, jika harus bekerja di sawah dan ladang.
Walaupun masih bekerja di kampung harus memiliki derjat yang lebih daripada
orang biasa, namun itulah kenyataan pahit yang harus ditelan. Untuk mencari
pekerjaan di kampung memang sulit dan jika dapat peluang pun akan memiliki
saingan dengan ribuan orang.
Dalam
peribahasapun sudah dijelaskan, “dimana ada semut, disitu ada gula. Dimana
ada lowongan pekerjaan, maka akan dicari orang.” Zaman sekarang mencari
kerja sangatlah sulit apalagi humor banyak membicarakan tentang ratusan
perusahaan luar negeri mengundurkan diri atau tutup di beberapa daerah.
Walaupun terlahir dari keluarga sederhana namun Irvan memiliki cita-cita yang
tinggi dan sangat ingin bekerja diluar daerah sendiri. Meskipun awal
merantaunya ke tanah sebelah ‘Kota Bertuah’ begitulah julukan
mendapatkan tantangan dari keluarganya. Namun semua itu dia jalani di Kota
Pekanbaru sebagai kota yang memiliki peluang bisnis.
Itupun tidak lama
dan juga berakhir beberapa bulan kemudian, sekarang menjadi pengangguran di
kampung. Mau kemanapun serba pusing, belum dapat pekerjaan, menambah pikiran
keluarga di rumah dan sebagainya. Dia teringat sebuah kata-kata yang sangat
menyentuh hatinya, “dek cinto ka kampuang batinggaan.”[1]
Sejak dulu sifat orang minangkabau seperti itu, biarlah pergi ke rantau orang
mengadu nasip dahulu. Walaupun cinta kepada tanah sendiri namun suatu saat
nanti pasti akan kembali juga ke tanah kelahiran sendiri. Pergi ke tanah orang
lain untuk mencari pengalaman, teman baru, suasana baru di negeri tersebut dan
mengambil pelajaran disana. Jika sukses nantinya maka pelajaran yang baik itu
akan dikembangkan di tanah sendiri dan berguna bagi orang-orang di daerahnya.
Meninggalkan
kampung sudah bulat tekat Irvan untuk pergi dan mengadu nasipnya di negeri
orang lain. Keputusan ini sudah bulat dan tidak bisa diganggu gugat lagi oleh
siapapun serta keinginannya yang pernah tertuliskan dalam ‘visi dan misi’
hidupnya salah satunya adalah mengelilingi dunia.
“Van, saya sudah
dijalan 15 menit lagi sampai di rumah,” suara teman Irvan dari ujung telpon.
“Ok Randi,” jawab
Irvan singkat.
Pagi itu Irvan
sudah siap dengan travel bag dan satu tas kecilnya. Walaupun check in-nya
jam 11.15 di Bandara Internasioanl Minangkabau (BIM), Padang. Namun Irvan tidak
ingin ketinggalan pesawat dan memilih berangkat lebih pagi dengan dua orang
temannya. Sebenarnya berat langkah kaki Irvan untuk meninggalkan rumahnya,
kampung, keluarga, teman, namun apa boleh buat. Tidak selamanya kita harus
berada di kampung sendiri dan mencari ilmu di negeri orang lain untuk
dikembangkan nantinya kembali di kampung halaman.
Teman Irvan pun
sudah berada di depan rumahnya dan berpamitan dengan orang tua dan kakaknya
ketika mau berangkat. Namun masih dalam kendaraan Irvan masih merasakan sesak
dadanya melihat orangtuanya dan kakaknya masih berdiri di depan rumah, meskipun
dia tidak melihat anaknya dan hanya terlihat mobil yang membawa darah
dangingnya mencari keberuntungannya di negeri orang lain.
“Jangan memandang
ke belakang Van, itu malah membuatmu semakin sedih,” ucap temannya.
“Iya Randi,”
sambil menahan air mata yang mau menetes.
Ini adalah kali
pertamanya Irvan naik pesawat dan belum begitu mengerti dengan alurnya. Namun
Irvan mencoba banyak bertanya kepada petugas porter yang berjalan
kesana-kemari. Berangkat dengan temannya Rita dan Ibrah menuju Kota Batam
dengan niat mencari kerja disana. Memang sulit untuk mencari kerja saat ini,
tidak semudah membalikkan telapak tangan. Setelah semua pemeriksaan dan check
in selesai dan menunggu pesawat di ruang tunggu bersama-sama, namun masih
sempat jempret-jempret berkali-kali disana.
Pesawat yang akan
kami tumpangi nantinya adalah Lion Air dan waktunya molor satu jam
hingga pukul dua, Irvan serta temannya masuk ke ruang pesawat. Setelah, take
off pun Irvan merasakan gugup karena mungkin awal naik pesawat. Irvan
berada diantara tempat duduk Rita didekat jendela dan Ibrah disebelahnya.
Memang pemandangan diatas awan sangatlah indah, bagaikan kapas-kapas putih
berterbangan dan terasa begitu pelan. Apalagi rumah dan benda-benda lainnya
terasa begitu kecil dan bagaikan sebuah mainan saja. “Subhanallah, Maha
Suci Allah yang menciptakan bumi ini sungguh begitu indah,” ucapnya dalam hati.
Selama satu jam
berada diatas awan dan Bandara Hang Nadim, Batam mulai terlihat. Inilah yang
paling mendebarkan jantung Irvan, saat Landing semuanya terasa bergetar
dan rasanya perutnya turun. Namun hanya sebentar dan mulai normal kembali saat
pesawat mulai berjalan di lintasannya.
Sudah beberapa
hari Irvan menjalani hidup di negeri orang lain mencoba mencari keberuntungan
untuk bisa bekerja disalah satu perusahaan disana. Awalnya Irvan dan teman-temannya
mencoba untuk tinggal beberapa hari sebelum dapat kos disana. Namun hari demi
hari Irvan lalui kesana kemari untuk mengantarkan lamaran pekerjaan dan mencari
info lowongan pekerjaan (loker) di Kepulauan Batam. Namun sayang nasip baik
tidak kunjung mendatanginya, Irvan tidak menyerah begitu saja dengan
keinginannya jauh sebelum berangkat. Pantang pulang baginya sebelum sukses dan
mendapatkan pekerjaan yang baik untuk masa depannya. Hidup pas-pasan di negeri
orang dan harus menyesuaiakan diri dengan daerah disana, sangatlah sulit.
Sudah beberapa
surat lamaran dia masukan dan mengikuti beberapa tes dan check
kesehatan, namun mungkin belum rezekinya juga untuk bisa mengembangkan bakatnya
disana. Tiga minggu merasakan penggangguran di rantau orang dan mengetahui
banyak sedikitnya Kota Batam sudah dia rasakan. Bahkan bagaimana pergaulan dan
budaya di pusat kotanya juga sudah dia saksikan sendiri dengan matanya sendiri.
Walaupun sangat jauh berbeda dengan kehidupannya di kampung, namun dia masih
terus teringat dengan kata-kata ayah angkatnya sebelum ke sana, “Hiduplah
seperti ikan di laut, walaupun airnya asin. Namun dagingnya tidak pernah asin.”
Pesan itu selalu terngiang-ngiang di telinganya setiap kali ingin merasakan
bagaimana indahnya menjalani kehidupan seperti orang kota sebenarnya. Namun
semua itu bertentangan dengan batinnya dan tidak disetujui oleh hatinya.
Walaupun kehidupan di kota sangat beragam mulai dari gaya kehidupan barat dan
budaya lainnya, namun jangan sampai kita terbaru arus dengan semua hal itu.
Tetaplah menjadi dirimu sendiri dan ambillah nilai positif dari setiap hal yang
kita temui.
Sore itu Irvan
mendapatkan tawaran untuk bekerja di Kantor Akuntan Publik (KAP) di Jakarta.
Dia mendapatkan informasi itu dari seniornya yang sudah duluan bekerja disana
dan mengajaknya untuk bekerja serta temannya lagi. Irvan tidak ingin membuang
kesempatan emas itu dan langsung menyetujuinya. Akhirnya setelah di interview
via telpon oleh kepala cabang di pusat oleh Buk Nurul dan Irvan ditempatkan
di Jakarta sedangkan temannya ditempatkan di Batam. Mengikuti training
di Jakarta selama tiga minggu dan mencoba menjalani pekerjaan sebagai auditor
di perusahaan swasta. Selama menjalani training Irvan mendapatkan
pelajaran yang banyak dari teman-teman satu timnya.
Selain mendapatkan
teman-teman baru, suasana baru dan pengalaman baru pastinya. Selain itu disana
semuanya orang perantau dari berbagai daerah seperti: Makassar, Bogor dan
Padang. Namun kantor KAP ini tersebar disetiap daerah di Indonesia seperti:
Jakarta, Semarang, Makasar, Bandung, Medan, Batam, dan lain-lain. Disana Irvan
menemukan kakak angkat dan selain satu daerah juga satu perjuangan tentunya.
Kak Rini sudah tiga bulan duluan bekerja disana daripadanya namun kedekatan
Irvan dan Kak Rini sangat dekat. Bahkan Irvan menganggapnya sebagai kakak
angkat dan tempatnya untuk curhatan atau curhat tentang berbagai hal. Selain
itu kak Rini juga memiliki teman dekat yaitu Dini dan juga menjadi kakak angkat
Irvan disini.
Jika jam kerja
selesai dan untuk meng-fresh-kan pikiran kembali, biasanya Irvan
menyempatkan duduk-duduk bersama Kak Rini di dekat rumah sambil menikmati udara
sore di ayunan pinggir jalan. Disana Kak Rini juga bercerita tentang kisah asmaranya
dulu dan pekerjaannya dulu, bahkan mereka saling berbagi cerita satu sama lain.
Tidak ada yang mereka tutupi dan saling terbuka satu sama lain mengutarakan isi
hati masing-masing. Bahkan Kak Rini sudah tahu tentang kisah cinta Irvan yang
tidak seindah yang dia ciptakan dalam imajinasinya dalam berbagai karya yang
dia ciptakan. Namun semua itu hanya ada dalam imajinasinya saja dan tidak
dengan dunia nyata. Sebaliknya ternyata Kak Rini juga mengalami nasip yang sama
dengan Irvan walaupun berbeda ceritanya, namun Kak Rini selalu memberikan
masukan dan saran untuk Irvan.
Bukan hanya itu,
Bahkan Kak Rini, Kak Dini dan Irvan sering menghabiskan waktu weekend-nya
dengan berkunjung ke berbagai tempat wisata seperti: Monumen Nasional (Monas),
Kota Tua dan menemani mereka shoping ke berbagai mall di Jakarta.
Kota Jakarta sangatlah terasa panas dan membuat jenuh jika sudah siang dengan
ketidak nyamanan dengan rasa panas, namun seperti itulah menjalani pekerjaan di
ibukota. Selain sibuk dengan pekerjaan dan membuat kepala pusing dengan tingkat
kesibukkan sebagai seorang auditor atau memeriksa laporan keuangan berbagai
klain. Maka waktu senggang atau weekend itulah waktu yang sangat pas
untuk me-rileks-kan kembali pikiran yang sudah pusing dengan pekerjaan.
Malam minggu Irvan
menghabiskan waktu jalan-jalan bersama dengan Kak Rini ke Kota Tua. Ramainya
bukan main dan lapangan didepan gedung tua itu dipenuhi dengan lautan orang,
mulai dari muda-mudi, orang dewasa dan anak-anak. Selain itu juga ada
penampilan silat tradisional betawi yang sedang dimainkan oleh banyak sekali
anak-anak dengan memakai pakaian hitam sebagai lambang perguruannya mereka.
Diiringi dengan musik khas mereka dan bergerak sesuai dengan musik yang sedang
berbunyi dan gerakan yang serentak.
***
Sudah beberapa
lama Vinda menjalani kehidupan di ibukota, mencoba mencari pekerjaan dan ingin
sekali melanjutkan studinya di UIN Syarif Hidayatullah. Namun kehidupan di kota
jangan jauh berbeda dengan kehidupan di kampung. Walaupun jauh dari orang tua,
namun Vinda tetap menjalani kesehariannya dengan senang hati dan mencoba
memasukan surat lamarannya ke berbagai sekolah dan perusahaan. Hari demi hari
dilaluinya dengan senang hati dan semangat yang tinggi serta tidak pernah
menyerah dengan keadaannya yang selalu datang dengan tidak menguntungkan.
Tiba-tiba saja dia teringat dengan sahabatnya yang dulu pernah mengisi hatinya,
ingin rasanya kembali menjalin sekedar ikatan sahabat. Namun entah kenapa, rasa
bimbang selalu menyertai pikirannya untuk mencoba menghunginya kembali.
Semua berlalu
dengan dihantui dengan pikirannya yang terbang entah kemana. Namun dia
mendapatkan kabar terakhir dengan sahabatnya itu sudah berada di Jakarta. Ingin
rasanya dia bercerita dan menanyakan tentang berbagai hal kepada sahabatnya
itu. Deretan pertanyaan selalu bermunculan dipikirannya tentang sahabatnya itu,
namun rasa khawatir dan rasa bimbang kembali membuatnya bingung.
Hingga suatu malam
Vinda mengirimkan pesan kepada Irvan. Beberapa menit berlalu ada suara telpon
masuk ke nomor Vinda, tidak lain nama yang tertulis disana. Tidak asing lagi
dan memang sahabat lamanya yang sedang menelponnya.
“Assalamu ‘alaikum
Vinda, bagaimana kabarnya ?” ucap suara dari ujung telpon.
“Wassalamu ‘alaikum,
alhamdulillah sehat Van, Van sendiri gimana kabarnya ?” balas Vinda.
“Syukurlah Vinda,
alhamdulillah Van juga sehat kok.”
“Ya Van. Apa benar
Van sudah di Jakarta sekarang ?”
“Iya Vinda, sudah
dua minggu Van disini. Maaf ya Van baru ngasih kabar sama Vinda.”
“Nggak
apa-apa kok Van, tinggal dimana Van ?”
“Ya Vinda, Van
tinggal di Cakung, Jakarta Timur. Kalau Vinda dimananya ?”
“Vinda di
Tanggerang Selatan, main-mainlah kesini Van ?”
“Insyaallah nanti
Vinda, tinggal sama siapa Vinda ?”
“Tinggal sama kakak Van. O...ya kerja apa disini Van ?”
“Tinggal sama kakak Van. O...ya kerja apa disini Van ?”
“Van kerja biasa
saja kok Vinda, maklumlah baru-baru tamat juga Vinda.”
“Iya, tapi
kerjanya dimana Van ?” mencoba bertanya lagi.
“Van kerja di
Kantor Akuntan Publik (KAP) disini Vinda, Vinda udah kerja ya ?”
“Syukurlah Van,
alhamdulillah juga.”
“Kerja dimana
Vinda ?”
“Vinda ngajar di
sekolah dan konsultasi juga di rumah sakitnya Van,” jawab Vinda.
“Baguslah Vinda,
semoga berjalan lancar dan terus semangat ya ?”
“Ya Van,
terimakasih. Disini kos atau gimana Van ?”
“Alhamdulillah
disini ada mess-nya.”
Malam itu Vinda
begitu senang bisa mendengarkan suara sahabatnya yang sudah lama tidak pernah
lagi dia dengar. Namun disatu sisi dia sangat ingin sekali bertemu dengan
sabahatnya itu dan disatu sisi dia merasa malu dengan perbuatan yang pernah dia
lakukan kepada sahabatnya itu. Namun Vinda hanya berniat untuk mencoba
memperbaiki hubungannya dengan sahabatnya itu dan tidak ingin berakhir begitu
saja.
Dengan kesibukkan
yang dilakukan Vinda setiap harinya dan hari weekend sangat efektif
untuk menghabiskan waktu bersantai. Merenggangkan kembali otot-otot yang sudah
penuh dengan berbagai kegiatan. Kebetulan siang itu teman-temannya mengajaknya
untuk menghabiskan waktu jalan-jalan ke Monumen Nasional (Monas). Siang itu
Vinda pergi dengan dua motor dan mencoba menghindari jalanan macet serta
berdebu di ibukota. Namanya ibukota memang sudah menjadi makanannya kemacetan
di jalan, namun akhirnya Vinda sampai juga didepan pekarangan Monas bersama
teman-temannya.
Menikmati suasana
sore yang indah di atas puncak monas dan melihat daerah ibukota dari atas sana,
sangatlah indah. Sambil beristirahat didepan Monas dengan rumput hijau yang
menjadi tempat yang sangat enak untuk bersantai.
”Boleh minta
tolong Mas, ambilkan foto kami berempat,” sambil menyerahkan kameranya.
“Boleh Mbak.”
Beberapa kali
jempretan demi jempretan diambilnya.
“Terimakasih Mas,”
ucap Vinda.
“Iya Mbak. O...iya
boleh ambilkan foto saya juga Mbak ?”
“Boleh Mas.”
Hadir sebagai
orang yang membantu dan akhirnya berkanalan satu sama lain, hingga akhirnya
menjalannya liburan sore itu bersama-sama. Sampai malam Vinda bersama dengan
teman-temannya menghabiskan waktu disana dan sekitar jam delapan malam baru
kembali ke rumahnya. Rasa lelah dan puas dengan liburan akhir pekan yang
menyenangkan baginya. Selain bisa me-reflesh-kan kembali pikiran juga
mendapatkan kenalan baru.
Sebelum tidur
Vinda menyempatkan dirinya untuk meng-upload beberapa foto dengan
teman-temannya di Monas ke dalam facebook-nya. Hingga beberapa menit
kemudian dia tidak sadarkan diri sudah terbaring diatas kasurnya.
***
Selesai bermain game
dengan Bang Muis malam itu, Irvan masih belum bisa menutup matanya. Namun
dia menyempatkan dirinya untuk membuka halaman facebook-nya sampai
matanya mengantuk. Namun entah kenapa dihalaman fb-nya muncul beberapa tautan
Vinda yang baru kirimkan beberapa menit lalu. Dengan rasa penasaran yang tinggi
dia mencoba membuka satu demi satu foto-foto itu, hingga akhirnya ada satu foto
yang membuatnya merasa cemburu dengan sahabatnya itu. Walaupun hanya sebatas
sehabat semata, namun tidak bisa Irvan ingkari bahwa perasaan yang dulu pernah
ada, masih ada dalam hatinya. Entah kenapa sudah beberapa tahun ini dia mencoba
untuk melupakannya, namun tetap saja tidak bisa. Mungkin salahnya juga yang
terlalu mencintai orang yang dia sayangi dengan sepenuh hatinya dulunya. Hingga
sampai hari ini rasa itu masih selalu ada dalam hatinya, ingin rasanya dia
menghapus semua itu. Namun sayang, bayangan itu masih selalu ada dalam
pikirannya. Irvan sadar mungkin benar juga kata Vinda bahwa ‘jika memang jodoh
pasti akan bertemu lagi.” Namun kita memang bukan jodoh dan memang harusnya
kita sudah memiliki jalan kita masing-masing. Namun baru ini Irvan mencoba
untuk berpikir dan menimbang-nimbang satu demi satu perkataan yang selalu
menghantui pikirannya.
Seminggu kemudian
Irvan dipindahkan ke Bandung dan sebelum pindah ke Bandung Irvan mendapatkan
dua tawaran untuk ditempatkan. Semarang atau Bandung, namun Irvan lebih memilih
untuk ditempatkan di Bandung ketimbang di Semarang karena iklim di Bandung
lebih cocok dengannya daripada di Semarang. Lain halnya Kak Rini yang juga
dipindahkan ke Pekanbaru sebagai kepala cabang disana. Hanya Kak Dini yang
masih ditempatkan di Jakarta dengan teman-teman lainnya.
Awalnya Irvan
berdua dengan temannya Bang Juna di Bandung, namun seminggu kemudian dia
dipindahkan ke Bali. Sendiri di Bandung bukan berarti Irvan tidak memiliki
teman, tidak. Namun Irvan memiliki banyak teman-teman karena sering shalat
jamaah di Mesjid Baitul Jannah dekat rumahnya. Bukan hanya itu Irvan juga
sering diajak untuk berbagai kegiatan mereka dan juga bermain futsal dengan
mereka. Hari-hari Irvan terasa begitu ramai dan senang dengan orang-orang
selalu ada bersamanya. Meskipun di kantor dia bekerja masih sendirian, namun
tidak mengurangi kinerjanya disana.
Hingga suatu
ketika pagi-pagi Pak Peter datang membawa seorang karyawan baru yang akan
ditempatkan di kantor Bandung. Namanya Anita dan memang asli orang Bandung.
Selain itu orangnya juga baik serta sangat cepat menyesuaikan diri dengan orang
lain. Akhirnya Irvan ada teman kerja di Bandung dan karena sering bercerita
satu sama lain hingga sesekali Irvan menghabiskan waktu untuk mengenal Kota
Bandung. Anita yang sudah tahu jalanan dan tempat rekreasi di Bandung
mengenalkan indahnya Kota Bandung kepada Irvan. Sore itu setelah selesai kerja,
Anita mengajak Irvan untuk jalan-jalan keluar.
“Bagusnya kita
kemana ya Teteh ?” tanya Irvan.
“Ke Alun-Alun aja
yuk Aa’ soalnya disana sangat ramai sore-sore begini,”
jawab Anita.
jawab Anita.
“Boleh Teh,”
sambil menarik tangan Anita.
Tanpa sadar Irvan
menarik tangan Anita dan Anita hanya mengikuti tarikan tangan Irvan tanpa
banyak bertanya. Bahkan Anita juga sedikit terkejut dengan kelakuan Irvan sore
itu, namun karena sudah lama kenal satu sama lain. Mungkin karena itu juga
Irvan baper atau terbawa perasaan dengan suasana sore itu. Memang benar suasana
sore menelusuri jalanan Kota Bandung bersama dengan seorang wanita sangatlah
menyenangkan, apalagi orang yang kita sayang dan kita cintai. Beberapa menit
berjalan ke Alun-Alun, akhirnya Irvan memarkirkan motornya di samping Mesjid
Raya Bandung.
Tidak salah lagi,
taman, lapangan yang hijau dan mesjid ini selalu dipenuhi dengan pengunjung
setiap hari dari berbagai tempat. Bukan hanya dari golongan orang dewasa, namun
juga mudi-mudi, anak-anak dan orang tua selalu ikut meramaikan tempat ini.
Mereka berdatangan bukan hanya untuk shalat berjamaah saja, namun juga ingin
merasakan indahnya bersantai di arena lapangan hijau yang bersih dan terjaga.
Selain itu juga banyak yang mengambil taman untuk bersantai-santai dengan
teman-teman, pasangannya dan juga keluarga.
Bukan hanya itu
yang menjadi magnet di Alun-Alun Bandung ini namun juga banyak yang melihat dan
mengabadikan momentum mereka disini di depan monumen yang sangat bersejarah
untuk negeri ini yaitu Konfensi Asia-Afrika dan juga bersebelahan dengan dengan
Alun-Alun Bandung ini. Disana juga ada tugu bola dunia dengan tulisan Konfensi
Asia-Afrika di pinggiran jalan Asia-Afrika dengan banyaknya deretan nama-nama
negara yang mengikutinya. Selain itu jika melihat gedung pertemuan itu juga
tidak jauh dari sana, hanya berjalan beberapa menit sudah sampai. Disepanjang
jalanan dibuatkan semen berbentuk bola lengkap dengan nama negara dan bendera
yang ada diatasnya.
Bahkan tulisan
Alun-Alun Bandung yang juga dibuat besar di halte Tras Bandung Raya menjadi
daya tarik tersendiri bagi semua orang. Selain bisa menikmati sore dengan
bersantai-santai juga bisa berfoto bareng dengan berbagai deretan pahlawan
keadilan dalam dunia maya dan banyak lagi seperti: Naruta, Kakashi, Iron-Man,
Boboboy, Batman, dan lainnya.
Tidak salah jika
setiap orang selalu berkunjung kesini untuk menghabiskan waktu mereka. Jika
sudah jam lima sore sampai jam delapan malam masih terlihat ramai disini serta
juga menjadi tempat dalam sinetran Preman Pensiun yang lagi ngetren
sekarang. Irvan dan Anita mengambil tempat duduk di depat taman sambil
menikmati cemilan yang dibelikan Irvan.
“Nyaman disini ya
Nit ?” Irvan membuka pembicaraan.
“Iya Van, makanya
sering-sering jalan-jalan ke sini Van,” sambil tersenyum kecil.
“Iya Nit.
Tunggu...jangan bergerak dulu ada bekas makanan dipipihmu.”
“Sebelah sini
Van,” sambil membersihkannya dengan tangannya.
“Bukan, kirinya.”
“Ini ya.”
“Biar aku yang
membersihkannya,” sambil mengambil tisu.
Namun beberapa
saat pandangan mata mereka beradu dan beberapa detik semua bagaikan berhenti
dan mereka kehilangan kesadaran serta apa yang ada dalam pikiran masing-masing.
“Eee..maaf, Nit,”
ucap Irvan.
“Nggak
apa-apa kok Van,” dengan sedikit malu-malu.
Kedekatan Irvan
dan Anita semakin hari semakin dekat. Selain bertemu setiap hari kerja di
kantor juga sesekali Anita menemani Irvan untuk menghafal berbagai jalan di
Bandung. Walaupun rasa sayang masih masih ada dengan sahabatnya, namun Irvan
masih belum bisa melupakannya. Ketika ada pelatihan auditor di Jakarta Irvan
dapat rekomendasi dari Mbak Nurul untuk mengikutinya dan juga dari kantor
cabang lainnya.
Namun sebelum ke
Jakarta Irvan sempat membelikan oleh-oleh untuk sahabatnya dan mereka berencana
akan bertemu di Jakarta. Sore itu Irvan berangkat ke Jakarta dengan Anita
dengan bus Primajasa menuju Kota Harapan Indah di Bekasi. Sekitar pukul lima
bus yang ditumpangi Irvan dan Anita sudah mulai bergerak dan keluar dari
terminal Leuwi Panjang. Namun sebelum berangkat Irvan sempat membeli peyem
makanan khas Bandung, namun kalau ditempat Irvan namanya tapei. Selain
itu Irvan juga membeli gorengan untuk makan dijalan dan juga minuman. Jarak
antara Bandun-Jakarta sangat jauh membutuhkan waktu tiga jam dan belum lagi
macet dijalan yang akan mengganggu jalannya perjalanan nantinya.
Beberapa jam
diatas bus, tiba-tiba saja kepala Anita terasa pusing.
“Van, kepala Nita
terasa pusing nih,” ucap Anita.
“Coba dibawa tidur
saja dulu Nit,” jawab Irvan.
Hanya anggukkan
kecil dan mencoba merebahkan kepalanya ke punggung kursi. Beberapa menit kemudian
tanpa Irvan sadari kepala Anita sudah bersandar ke bahu Irvan. Namun Irvan
tidak mau mengganggu istirahatnya Anita dan membiarkan kepalanya bersandar
dibahunya. Jarak yang cukup jauh dan juga membuat Irvan juga sedikit mengantuk
dan tidak lama setelah itu sedikit demi sedikit mata Irvan mulai tertutup.
Tanpa terasa
perjalanan itu dan akhirnya sampai terminal Kota Harapan Indah dan Anita yang
terbangun duluan.
“Eehh...Maaf Van,”
ucap Anita.
“Nggak
apa-apa kok Nit,” mencoba membuka matanya.
Selanjutnya untuk
sampai ke Perumahan Taman Modern, Cakung-Jakarta Timur. Irvan memesan Grabcar
dan beberapa menit kemudian pun datang. Jarak antara terminal bus Kota Harapan Indah
dengan Cakung tidak terlalu jauh, maka beberapa menit kemudian mereka sampai di
kantor pusat. Disana teman-teman Irvan sudah menunggu dan mereka berkanalan
satu demi satu dengan Anita.
***
Setelah mengikuti
Pelatihan Audit di kantor Pak Husni sore itu. Para rombongan mengajak untuk
pergi jalan-jalan ke Ancol, kebetulan hari itu teman-teman kerja Irvan dari
berbagai kota datang juga hari itu. Mereka juga ingin melihat bagaimana Kota
Jakarta itu, mereka yang ditempatkan diberbgai daerah, seperti berasal dari
kota: Semarang, Medan, Makassar, Pekanbaru, Bandung dan lainnya. Rencananya
Irvan akan menemui sahabatnya sore itu, namun karena waktu sudah sore dan ada
rencana dadakan yang akhirnya tidak bisa pergi.
Selain itu rencana
yang sudah dibuat dari awal juga berantakkan dengan Kak Rini. Hari itu Kak Rini
juga akan berencanakan akan menemani Irvan untuk bertemu dengan sahabatnya dan
juga menemati Kak Rini untuk jalan-jalan ke Thamrin. Pagi minggunya Irvan yang
sudah bersiap-siap dan sudah berjanji kepada sahabatnya untuk bertemunya hari
itu di Bintaro Jasa Xchange Mall di Tanggerang Selatan.
Pagi itu Irvan
sudah jalan dengan Kak Rini dengan motor di Kelapa Gading yang dipinjam Irvan
kepada Bang Wendra. Namun akhirnya karena bos harus mengunakan motor itu juga
dan tidak jadi berangkat dengan motor. Akhirnya Irvan dan Kak Rini berangkat
dengan Busways ke Thamrin. Walaupun penuh sesak dan berebutan naiknya,
namun Irvan sangat menyukai perjalanan itu. Ini adalah awal pertama Irvan naik Busways
dan sangat murah juga dibandingkan angkot (Angkutan Kota). Selain itu disini
naik Busways juga memiliki jalur sendiri dan tidak macet seperti jalan
lainnya.
Kak Rini yang juga
harus kembali ke Pekanbaru siang itu dan Irvan juga berjanji akan menemaninya
ke Thamrin. Setelah makan siang dan mengantarkan Kak Rini sampai bus DAMRI dan
Irvan menuju terminal Kareta Api Tanah Abang dengan grabbike. Namun
sebelum berangkat Irvan pamitan terlebih dahulu dengan Kak Rini.
“Hati-hati di
jalan ya Kak ?” ucap Irvan.
“Iya, makasih Dek.
Semoga berjalan lancar,” sambil tersenyum.
“Ship Kak.”
Awalnya Irvan
sempat putus asa untuk bisa sampai ke Tanggerang Selatan, namun berkat dukungan
dan motivasi Kak Rini. Akhirnya Irvan bisa naik Kareta Api menuju terminal
Kareta Api Jurang Mangu di Tanggerang Selatan. Tempat yang dijanjikan Vinda
untuk menemuinya. Namun naik Kareta Api juga jauh lebih menyenangkan daripada
naik Busways, karena ada perjuangan dan keasyikkan tersendiri. Walaupun
berdesak-desakkan untuk bisa naik dan harus melakukan berbagai transit
disanalah letak keasyikkannya. Namun untuk mencapai Terminal Jurang Mangu Irvan
tidak harus transit dan harga tiketpun sangat murah serta tidak macet.
Sekitar pukul
setengah lima Irvan sudah turun di terminal Jurang Mangu dan melaksanakan
shalat Asyar disana terlebih dahulu. Namun Vinda sudah mengirimkan pesan dan
petunjuk untuk berjalan. Ternyata BJXchange mall yang dikatakan Vinda tidak
jauh dari terminal itu dan hanya berjalan sekitar lima menit sampai. Namun dari
kejauhan Vinda sudah terlihat berjalan dengan Rini didepan sana. Irvan tahu
kalau itu Vinda namun mencoba untuk pura-pura tidak tahu. Akhirnya Vinda
mengetahui Irvan juga yang tidak jauh didepannya.
“Hay...Vinda,
Rini,” sambil bersalaman.
“Gimana kabarnya
Van,” balas Vinda sambil membalas uluran tangan Irvan.
“Alhamdulillah
sehat, Vinda gimana ?”
“Alhamdulillah
seperti yang Van lihat,” dengan sedikit tersenyum.
Walaupun sudah
lama tidak bertemu dengan Vinda, Irvan tetap bersikap seperti biasa dengan
Vinda. Hanya penampilan Irvan yang berubah sore itu, namun yang lainnya tidak
berubah.
“Kerja dimana Bang
?” ucap Rini.
“Kerja biasa saja
kok Rin,” jawab Irvan.
“Sekarang dia
sudah enak kerjanya dan lihat saja sudah empat matanya sekarang,” mencoba
menyela.
“Ahh...nggak
juga kok Vinda, hanya perih saja dijalan yang banyak debunya,” ucap Irvan.
Akhirnya mereka
duduk sambil memesan es campur di BJXchange mall. Irvan yang berniat datang
dari Bandung ke Jakarta hanya untuk memastikan sesuatu dengan Vinda. Selain itu
mereka sejak wisuda Vinda di Padang, Irvan tidak lagi bertemu dengan Vinda
setelah itu dan sudah beberapa bulan. Walaupun Irvan sempat ke Pekanbaru dan
Batam setelah itu. Namun entah kenapa mereka dipertemukan oleh Allah Swt
kembali sore itu dengan situasi yang berbeda. Obrolan demi obrolan panjang
terjadi sore itu, maklum orang yang sudah lama tidak bertemu dan melepaskan
rindu untuk saling bercerita satu sama lain. Selain itu Irvan juga menceritakan
kepada Vinda bahwa awalnya Irvan tidak yakin bisa sampai sore itu dan akhirnya
inilah yang dibilang takdir-Nya.
“O..iya gimana
ngajarnya Vinda ?” ucap Irvan.
“Alhamdulillah
lancar Van, Van sendiri gimana kerjanya ?”
“Syukurlah Vinda,
alhamdulillah juga lancar. O...iya Vinda, Van datang hanya untuk memastikan perkataan
Vinda tempo hari, apakah itu benar ?” tanya Irvan.
“Iya Van dan
memang lebih baik kita menjadi sahabat, karena Vinda tidak ingin membuat luka
terlalu banyak kepada Van,” jawabnya jujur.
“Nggak usah
diungkit lagi masa lalu itu Vinda, Van sudah lama memaafkan Vinda kok. O...iya
Van sudah mencoba membuka hati dengan wanita lain dan entah kenapa perasaan
yang awalnya biasa-biasa saja sudah berubah menjadi cinta dan sayang. Memang
inilah jalan yang harus kita jalani masing-masing dan Van senang bisa melihat
Vinda senang serta terimakasih untuk bantuinnya, hingga apa yang Vinda lihat
hari ini berkat bantuin dirimu,” jelas Irvan.
“Iya Van, nggak
juga kok Van. Itu berkat kesungguhan dan kerja keras Van selama ini. Syukurlah Van
dan semoga dia bisa membahagiakanmu,” sambil tersenyum kecil.
“O...iya ini Van
ada sesuatu untuk Vinda dan semoga Vinda menyukainya. Maaf Van bingung harus
memberikan apa dan akhirnya kepikiran untuk membelikan ini,” sambil menyerahkan
kepada Vinda.
“Nggak
apa-apa kok Van, Vinda suka kok. Terimakasih ya Van.”
Sore itu setelah
berjalan sebentar di taman BJXchange mall bersama Vinda dan Rini. Irvan
berpamitan untuk kembali ke Jakarta menuju terminal Kareta Api Cakung-Jakarta
Timur. Walaupun capek, namun Irvan puas dengan apa yang sudah dilakukannya hari
ini dan sekitar pukul tujuh malam Irvan sampai di terminal Cakung. Walaupun
beberapa kali harus melakukan transit untuk sampai ke terminal Cakung.
0 komentar:
Posting Komentar