Gambar: Istana Basa Pagaruyung setelah dibangun kembali. |
Minangkabau adalah salah satu daerah
yang banyak menyimpan berbagai banyak pertanyaan sampai saat ini. Mulai dari
penamaan daerah itu sendiri sampai daerah-daerah sekitarnya dikaitkan dengan
kejadian serupa. Bagaimana kejadian itu sebenarnya ? Apakah masih ada bukti
ontentik dari kejadian yang bersejarah itu sampai hari ini ? Daerah mana yang
sebenarnya yang Minangkabau itu sendiri ? Serta kapan kejadian itu dan dimana
bermulanya ?
Semua deretan pertanyaan tersebut
tidak banyak diketahui oleh sebagian orang, bahkan pemuda/pemudi yang tinggal
disana tidak begitu mengetahui tentang semua hal itu secara jelas. Maka jangan
salahkan jika asal muasal terciptanya daerah kita dengan sejenap perjuangan dan
bekerjasama mengusir orang-orang yang berniat mengusai daerah tercinta kita.
Lalu mereka dengan seenaknya mengubah cerita ini dan itu, padahal tidak sesuai
dengan apa yang sebenarnya karena kita tidak pernah mengetahui semua semua
tersebut. Jangan pernah melupakan siapa kita ? Dan bagaimana jayanya niniak
mamak kita pada zaman dahulu, hingga kecerdasan dan kecerdikan orang Minangkabau
terdengar sampai diluar negeri sekalipun. Tanyakan semua pertanyaan itu pada
diri anda semua, jika benar anda-anda semua orang-orang Minangkabau ? Jika anda
terlahir dan menjunjung tinggi “adat basandi syara’, syara’ basandi
kitabullah, adat mamakai, agama dijunjung tinggi.” Begitulah orang Minangkabau
itu, adat dan warisan kebudayaan sangat dijunjung tinggi dan tidak terlepas
dengan agama Islam itu sendiri.
Sekitar tahun 1400 yang lalu, maka
daerah Minangkabau ini belum dikenal dengan nama Minangkabau. Akan tetapi
daerah kepulauan Sumatra ini lebih dikenal orang dengan nama Kepulauan Andalas.
Pada saat itu sudah berdiri sebuah kerajaan yaitu kerajaan Pagaruyung. Pada suatu
ketika terdengar kabar bahwa kerajaan Majapahit di Pulau Jawa akan datang
dengan maksud untuk memperluas daerah kekuasaannya di Kepulauan Andalas
tepatnya daerah Minangkabau sekarang. Maka pihak orang-orang Jawa itu datang ke
tanah Minang sekarang disambut hangat dan kepala dingin oleh orang-orang
sekitar.
Mereka datang dari tanah sebelah dan
mengatakan dengan tegas kepada masyarakat setempat tentang maksud dan tujuan
kedatangannya, namun pihak yang di tuokan sarantiang dan didahulukan
salangka, atau kapai tampek batanyo, kapulang tampak babarito, datang
menemui Dt. Nan Tuo pada saat itu. Dt. Nan Tuo adalah sebagai tempat bertanya
dalam setiap permasalahan yang terjadi pada saat itu. Maka sang Dt. Nan Tuo
mengatakan kepada orang-orang Jawa tersebut jika memang ingin mengusai daerah
Minang ini, maka ada beberapa persyaratan yang harus dilakukan. Yaitu ada
beberapa hal yang akan dipertanyakan kepada orang-orang Minang, jika pertanyaan
itu tidak terjawab maka secara otomatis daerah Minang ini menjadi daerah
kawasan Kerajaan Majapahit, jika benar mereka harus angkat kaki dari tanah
Minang ini.
Kedatangan ke-2, rombongan orang-orang
Jawa itu ke tanah Minang dengan membawa dua ekor Itik Angsa, dari kedua Itik Angsa
tersebut mana yang jantan dan mana yang betina. Maka sebelum semua itu dijawab,
maka dikumpulkan semua niniak mamak pada suatu tempat yang bernama Balai
Sidasun. Balai Sidasun adalah sebuah tempat untuk mengumpulkan orang-orang dan terletak
di Jorong Kelarasan Tanjung. Maka mereka bermusyawarah memecahkan permasalahan
tersebut. Namun, semua orang tidak tahu bagaimana cara membedakan mana Itik Angsa
yang jantan dan Itik Angsa yang betini.
Maka Dt. Nan Tuo-lah yang dapat menjawab semua itu, jika ingin tahu mana itik Angsa
yang jantan dan yang betina sangatlah mudah.
Maka keesokan hari waktu orang-orang
Jawa itu membawa sepasang Itik Angsa dan bertanya kepada orang Minang. Maka
orang Minang memberi makan terlebih dahulu kepada kedua Itik Angsa itu. Setelah
kedua itik-itik makan, tidak lama setelah itu itu dijawablah dengan lantang oleh
orang Minang. Itik Angsa yang makan terus adalah Itik Angsa betini dan Itik Angsa
yang sesekali makan adalah Itik Angsa jantan. Maka, tertebaklah satu buah
pertanyaan dari orang-orang Jawa tersebut. Dalam hal ini, “Jika pihak
orang-orang Jawa itu menang maka dia berhak menduduki daerah minang ini, akan
tetapi jika kalah dia harus pulang ke tanahnya dan memberikan kapalnya beserta
isinya.” Seperti itulah kesepakatan terakhir kedua belah pihak antara orang
Jawa dan orang Sumatra.
Hari berikutnya orang-orang Jawa itu
datang kembali dengan rombongannya, membawa sebatang kayu sama besar kedua
ujungnya. Maka, mana yang pangkal dan mana yang ujung. Maka
kembali orang Minang ini ke rumah Dt. Nan Tuo, maka disampaikanlah hal
tersebut. Dengan kecerdikan Dt. Nan Tuo ini lagi-lagi dia tahu jawabannya. Maka
saat sampai pada hari penebakkan itu, maka orang Minang dengan mudah
menjawabnya. Dengan cara memasukan kayu tersebut ke dalam air, maka bagian mana
yang lebih dulu tenggelam adalah bagian pangka dan yang terangkat itu
adalah bagian ujung. Sebenarnya ada dua cara yang disampaikan oleh Dt.
Nan Tuo kepada juru bicara tersebut, yang kedua dengan cara mengikat sama panjang
kedua kayu itu dan digantung, maka bagian maka yang yang terangkat itulah
bagian ujung dan yang jatuh ke bawah adalah bagian pangkal.
Karena bagian pangka lebih berat daripada yang ujung.
Maka sekali lagi orang Jawa kalah
mutlak lagi dengan pertanyaan yang dilontarkannya kepada pihak Minang. Ada juga
sebagian cerita yang mengatakan bahwa ada satu pertanyaan lagi yang dilontarkan
kepada masyarakat Minangkabau yaitu menebak ikan didalam air, mana yang jantan
dan mana yang betina. Maka dengan bantuan Dt. Nan Tuo yang sangat tinggi ilmu
dan pengetahuannya maka dia dapat menyampaikan pesan dan cara menebak
pertanyaan yang diberikan orang Jawa itu. Maka pihak pembicara Minang
menjawabnya dengan lantang dan jelas. Jika ingin tahu mana ikan yang jantan dan
ikan yang betina, awalnya sang juru bicara memperhatikan itu terlebih dahulu. Maka
setelah ikan-ikan itu saling berkejar-kejaran dan bermain didalam air. Maka
pihak Minang menjawab, ikan yang malenggok atau mendekati ikan satunya
itulah yang jantan. Sedangkan ikan yang didatanginya adalah ikan yang betina.
Maka sekali lagi pihak atau orang Minang benar menjawab pertanyaan yang
diberikan tanah seberang tersebut.
Beberapa kali pihak orang Jawa itu
kehilangan cara untuk mengusai tanah Minang itu. Maka mereka tidak lagi mengadu
kecerdikan selainkan dengan beradu siapa yang paling tinggi, apakah orang Jawa
ataupun orang Sumatra. Maka pihak Minang dan pihak tanah seberang datang ke
tanah Minang untuk mengadu siapa manusia paling tinggi, apakah dari tanah Jawa
atau tanah Minang ini. Maka, setelah berunding dengan pihak niniak mamak.
Maka mereka miminta waktu tiga bulan, karena mereka yakin tidak ada orang yang
lebih tinggi dari orang yang dibawa orang Jawa tersebut di tanah Minang ini.
Dan juga sampai saat ini keturunan orang Minang tingginya hanya rata-rata. Maka
pihak orang Jawa ini menyanggupi usulan atau permintaan dari orang Minang ini.
Karena mereka yakin menang untuk kali ini, dan juga peluang untuk menang untuk
hal ini ada pada pihak mereka.
Maka lagi-lagi Dt. Nan Tuo berpikir
keras untuk dapat menandingi ketinggian orang Jawa tersebut. Akhirnya dia dapat
ide, yaitu dengan meletakkan pariuk tanah (tempat memasak nasi)
diletakkan diatas anak batang gabuang tiga buah dan lama kelamaan batang
gabuang itu semakin tinggi dan tinggi. Maka tibalah hari yang sudah
ditunggu-tunggu, orang Jawa itu sudah membawa orang paling tinggi mereka datang
ke tanah Minang. Maka mereka menunjuk orang tinggi mereka, akan tetapi saat
mereka menanyakan orang tinggi di tanah Minang. Maka berkatalah orang Minag
bahwa orang tingginya masih tidur di dalam rumha. Namun mereka tidak percaya
dengan hal tersebut dan ingin dia dibangunkan. Namun perwakilan orang Minang
memperlihatkan sebuah jemuran celana orang tinggi mereka yang masih dijemur dan
terkejutlah semua pihak Jawa itu dengan ukurannya yang sangat besar. Namun mereka
masih tidak percaya dengan hal itu dan ingin meihat orangnya. Maka orang Minang
manunjuak dari jauh orang tingginya, maka terlihatlah seperti orang yang
sedang berdiri dengan kepala hitam padahal hanya pariuk nasi. Maka kali
ini mereka tidak berani berkata banyak karena orang tinggi mereka masih dapat
dikalahkan oleh orang Minang. Maka mereka kembali dengan rasa tidak puas ke
tanah seberang dan tetap berambisi untuk mengusai daerah Minang ini.
Disana mereka berpikir dan berunding
bagaimana caranya lagi untuk mengusai tanah Minang tersebut. Akhirnya mereka
mendapatkan ide yaitu dengan adu kerbau. Kali ini mereka yakin 100% menang
karena kerbau mereka jauh lebih besar daripada kerbau-kerbau orang Minang yang
mereka lihat. Maka mereka datang dengan niat untuk mengadu kerbau di tanah
Minang. Maka, kali ini Dt. Nan Tuo berpikir keras, di tempat biasa dia duduk
yaitu di Bukit Kayu Sabatang (sampai saat ini masih ada batu berbentuk
tempat duduk beliau). Beliau memandang ke arah nagari Minang, tiba-tiba
saja datang ide cemerlangnya. Maka diperintahkanlah salah seorang dari Minang
untuk mencari seekor anak kerbau yang masih kuat menyusui dan pisahkan dia
selama satu minggu dari induknya serta jangan dikasih apapun sampai
pertandingan itu di mulai.
Maka dicarilah seekor anak kerbau yang
diperintahkan Dt. Nan Tuo tersebut. Setelah itu dibuatlah sebuah besi berbentuk
tanduk atau Taji dengan istilah Minang (menurut sebagian orang).
Maka besi Taji itu di asah sampai tajam dengan batu kiliran taji di
tempat pemandian (masih ada sampai sekarang di tempat pemandian Minangkabau
dan sudah diperjelas letaknya) dan juga konon katanya ada batu berbentuk
lesung atau lasuang yang ceritanya juga memiliki sejarah. Dulunya rakyat
Minang ini kaum wanitanya itu tidak seperti sekarang yang bebas tanpa aturan
yang mengikat akan tetapi pada masa itu orang-orang wanita atau padusi tidak
boleh asal keluar rumah. Jika mereka mandi mengunakan bunga tujuh ragam sebagai
penganti sampoh pada zaman sekarang ini. Maka digunakanlah Batu Lasuang
itu untuk manunbuak atau menumbuk bunga-bunga tersebut diatas batu
tersebut. Alat yang mereka gunakan pada saat itu disebut dengan Pakasai (istilah
Minang), sedangkan cara mengunakannya disebut dengan Bakasai (istilah
Minang),
Maka setelah Taji atau tanduk yang
terbuat dari besi itu sudah tajam dan sampai pada saat hari dimana kerbau itu
akan diadu. Maka dipasanglah Taji tersebut ke kepala anak kerbau itu.
Adu kerbau itu akan dilangsungkan di Sawah Padang (sampai saat ini masih ada
di pinggiran jalan ke Sungayang) banyaklah orang-orang berduyun-duyun untuk
menyaksikan pertarungan adu kerbau itu. Pada saat anak kerbau itu dilepaskan,
maka secara tiba-tiba anak kerbau itu menyangka kerbau yang besar itu adalah
induknya. Maka anak kerbau itu langsung mencari punting susu kerbau besar itu
dan kebiasaan anak kerbau yang sedang mengusuh mengadu kepalanya setiap menyusu
dengan perut induknya. Maka secara tidak langsung besi Taji atau Minang
yang dipasang ditanduk anak kerbau tadi merobek-robek perut induknya. Maka luka
yang semakin membesar itu membuat kerbau besar tadi merasa kesakitan dan
mencoba berlari kesana-kemari. Karena merasa kesakitan kerbau itu berlari ke
arah bawah yang pada saat itu orang-orang berdatangan untuk menyaksikan adu
kerbau itu seperti balai, makanya sampai saat ini sawah itu diberi nama Sawah
Balai. Kerbau besar itu terus ke arah bawah berlari maka daerah itu diberi
nama dengan sebutan Sawah Siambek, karena disana orang-orang menghalangi
kerbau besar itu untuk berlari. Bergeser ke atasnya juga diberi nama Sawah
Sepatu, karena di sawah itu banyak tertinggal sepadu orang-orang karena
kejadian itu. Ada juga yang berpendapat bahwa kerbau besar itu berlari
mengunakan sepatu, yang diberi oleh orang Jawa itu. Mungkin sepatu yang dipakai
kerbau itu terlepas disana dan juga ada yang berpendapat bahwa kerbau yang
besar itu dipaga dengan ruyuang-ruyuang (bekas sisa dari pohon Enau
yang sangat keras) mungkin itu sebabkan dinamakan Paga Ruyung atau
Pagaruyung pada saat sekarang ini.
Kerbau yang besar itu masih tidak
mampu dihentikan oleh orang-orang, maka kerbau besar itu tiba-tiba merasa bagak
atau berani karena sakitnya semakin perih untuk melawan orang-orang yang ingin
menangkapnya. Maka tempat itu dinamakan Polak Bagak tempat yang dilalui
kerbau itu, bergeser lagi semakin kerbau itu berlari paruik panjangnya
semakin keluar dan tertinggal, daerah itu disebut dengan Koto Panjang.
Semakin kerbau itu berlari semua isi perutnya semakin tertinggal, maka daerah
itu sekarang disebut dengan Simpuruik.
Akhirnya kerbau besar itu jatuh juga
sendiri karena semakin parah dan luka yang sebagian isi perutnya sudah tercecer
dijalan. Makanya tempat kerbau itu dikuliti dan jangek-nya diambil
disebut dengan Sijangek. Maka pada saat itu terdengarnya terikan “Manang
kabau...manang kabau..manang kabau.” Itulah nama Minangkabau
yang kita kenal sekarang berasal dari sana, dan sudah di yakini sebagai asal
muasal penamaan daerah ini sampai saat ini menjadi Minangkabau.
Walaupun ada pendapat lain yang mengatakan dari besi yang dipasang ditanduk
anak kerbau itu. Serta ada juga yang mengatakan dari banyaknya kerbau di ranah
Minang, itu setiap berjalan malenggok yang disebut dengan istilah Minang
maenang. Meanang itu seperti bergelombang dan juga tanah Minang ini
seperti bergelombang dengan perbukitan, makanya disebut dengan meanang.
Lama-kelamaan menjadi Minangkabau. Namun ada juga yang mengatakan bahwa dari
banyaknya kerbau-kerbau di nagari Minangkabau ini pada masa dulu. Sedangkan ada
juga yang berpendapat dari banyaknya pohon Pinang pada masa dulu yang konon
katanya penyembutan huruf “P” dan “M” menjadi kurang fasih. Namun pihak
pemerintah setempat sampai saat ini lebih percaya dengan kejadian adu kerbau
tersebut karena ada bukti-bukti yang bisa dijadikanb referensi sampai saat ini.
Karena pada saat itu belum dikenal dengan buku-buku untuk bisa menulis pada
masa sekarang ini hanya cerita dari mulut ke mulut.
Setelah kejadian itu orang-orang Jawa
itu mengaku kalah dengan kekalahan adu kerbau tersebut. Agar mereka dapat
menyampaikan kekalahan dari tanah Minang ini, maka dibawalah tanduk kerbau
besar itu setengahnya dan setengahnya lagi disimpan di Minangkabau sebagai
bukti kejadian tersebut. Kira-kira panjang tanduk kerbau besar itu sekitar tiga
meter (namun sampai saat ini tanduk itu masih ada di simpang pemandian
Minangkabau di rumah gadang Dt. Mojo Basa. Karena tanduk itu sudah terlalu lama
tanduk itu sekarang panjangnya sekitar 1,25 meter. Tanduk itu sudah seperti
kayu yang keras pada saat ini).
Sebelum orang Jawa itu kembali ke
tanah seberang, maka orang Minang menyuruh orang-orang Jawa ini untuk memakai
kain dipinggang yang disebut dengan Bakodek (istilah orang Jawa) dan
ikat kepala sampai saat ini menjadi tradisi dan kalau bersalaman menyurut
atau mundur ke belakang seperti tanda kekalahannya pada orang Minangkabau.
Sampai saat ini informasi tentang tanduk besi atau Taji yang dipasangkan
di anak kerbau itu tidak ada beritanya dan tidak tahu seorangpun dimana
keberadaan tanduk atau Taji tersebut. Serta siapa pemilik anak kerbau
itu dan siapa pemilik dan membesarkan anak kerbau itu tidak dapat diketahui
lagi dan hanya tanduk kerbau besar itulah yang dapat menjadi saksi kejayaan
masyarakat Minangkabau dalam mengalahkan orang-orang Jawa tersebut.
Daerah Minangkabau ini tidak begitu
diketahui orang yang mereka tahu hanyalah alam Minangkabau ini. Padahal ada
kisah atau kejadian bersejarah dan terletak pada daerah Minangkabau ini.
Daerah Minangkabau ini dibagi menjadi
tiga jorong yaitu Jorong satu (Minang Jaya), Jorong dua (Badinah Murni), dan Jorong
tiga (Singkaian). Dan juga Dt. Nan Tuo itu dikuburkan di Kuburan Panjang di
Sadio dan ada juga yang mengatakan di Bukit Kayu Sebatang. Karena tidak terlalu
diketahui orang secara pasti dan juga tidak ditemukan lagi Datuak itu.
Tempat kuburannya hanyalah rumah atau dangau (pondok kecil di bukit).
Maka jika anda berkunjung ke daerah
ini jangan lewatkan Nagari Minangkabau
ini dan juga bukti peninggalan sejarah di rumah Gadang tersebut. Jangan
hanya mendengarkan cerita-cerita yang tidak jelas karena hanya dapat merusak
pemahaman kita tentang suatu hal. Akan lebih baik kita dapat mendengar langsung
ceritanya dari orang-orang tuo atau niniak mamak kita yang masih
hidup dan bukti tanduk kerbau itu disana dari mereka.
Referensi dialog langsung :
1. Alfani Hamdi, S.Sos. I.Ma
(Wali Nagari Minangkabau)
2. Dt. Mojo Basa (pemelihara
tanduk kerbau dari suku Chaniago)
3. Zulfahri (Ayah dari Bapak
Wali Nagari Minangkabau)
4. Afrida (Ibu dari Bapak Wali
Nagari Minangkabau)
Gambar: Bukti Tanduk Kerbau kira-kira 1400 tahun yang lalu. |
Gambar: Tempat Adu Kerbau di Sawah Padang. |
0 komentar:
Posting Komentar