Copyrights @ Journal 2014 - Designed By Templateism - SEO Plugin by MyBloggerLab

Minggu, 24 April 2016

CINTA ABADI ITULAH MAHARKU "CAIM"

Share

Gambar: Coverd CAIM.


            “Sudah berapa hari ini saya perhatikan tingkahmu, sedikit berubah dari biasanya. Apa yang sedang kau pikirkan anakku ?” tanya seorang Ibu.
            Beberapa detik tidak ada jawaban dari anaknya, namun sekilas wajah orang tuanya sangat kasihan dengan tingkah anaknya itu yang tidak seperti biasanya.
            “Aku tidak apa-apa kok Bu, hanya sedikit terbebani dengan beberapa permasalahan di kantor serta dengan klain,” jawab anaknya sedikit mengeles.
            “Ibu harap kau tidak terlalu berlama-lama dengan masalahmu itu,” sambil berlalu.
            Padahal Seorang Ibu tahu apa yang sedang dialami oleh anaknya itu, walaupun hanya ungkapan menghibur yang dapat diberikan oleh seorang Ibu.
            Malam itu mata Roger tidak bisa tertidur sedikitpun, walaupun sudah berkali-kali dia mencoba memejamkan matanya. Namun lamunannya terus membawanya pada kisah-kisah yang memilukan hatinya beberapa tahun lalu. Sekilas bayangan itu begitu sulit untuk dilupakan, bayangan ketika dia menjalani hubungan sebagai sepasang kekasih dengan seorang gadis yang sangat cantik dan seksi.

            Ketika hubungannya berjalan beberapa bulan dan sedikit demi sedikit tingkah laku kekasihnya itu semakin terlihat. Memang Roger adalah seorang wirausahawan yang terkenal dan kaya raya. Namun tidak lepas dari hasil jerih payah orang tuanya yang membangun perusahaannya menjadi lebih eksis dikalangan siapa saja. Bahkan nama perusahaan itu sudah menjadi rahasia umum dikalangan siapa saja dan profesi apa mereka. Selain itu setiap tahun perusahaan itu sering menerjunkan karyawan-karyawannya untuk melihat hasil kinerja perusahaannya dengan data-data dari klain-klainnya langsung, memuaskan ataukah tidak.
            Lahir dari keturunan berdarah biru juga menjadikan Roger seorang wirausahawan muda yang sukses dan dikenal kalangan publik. Bahkan tidak sedikit gadis-gadis yang jatuh hati kepadanya, selain ketampanan yang dimilikinya juga memiliki harta dan kekayaan yang sangat banyak. Siapa yang tidak tertarik dengan orang seperti itu, bahkan telah banyak Roger memiliki kekasih mulai dari yang putih, seksi dan sampai keturunan orang berada sekalipun. Namun entah kenapa hatinya selalu menolak untuk menjalankan hubungan itu lebih jauh.
            Bahkan dari beberapa mantannya itu, tidak jarang yang hanya menginginkan hartanya saja ketimbang hal fisik yang dimiliki Roger. Semakin hari Roger semakin mengerti dengan hal itu dan memutuskan semua hubungan yang tidak tentu itu. Sudah beberapa banyak panggilan masuk ke nomor dan ribuan pesan telah menumpuk di ponselnya. Namun tidak sedetikpun dia menghabiskan waktunya untuk mengalihkan perhatiannya pada ponselnya itu. Hanya lamunan yang tidak berkesudahan yang terus ditatapnya dan pikirannya melayang entah kemana.
            Ternayata Roger memang sudah bosan dengan gaya hidup yang diberikan oleh orang tuanya, hingga dia tidak bisa bebas memilih kehidupan yang sesuai dengannya. Hidup dibawah tekanan dan pilihan orang tua serta tidak pernah diberikan kesempatan untuk berpendapat membuatnya untuk merontak kepada orang tuanya. Namun sudah bebepa kali dia menginginkan untuk mencoba membuka usaha lain dan orang tuanya tidak pernah memberikan izin kepadanya.
            Malam itu juga Roger mempersiapkan semua pakaiannya dan yang lainnya untuk pergi diam-diam dari rumah. Tekapnya sudah bulat untuk mencari kehidupannya sendiri dan entah apa yang terjadi dalam pilihannya itu, akan tetap dia jalankan tanpa harus mengadu kepada orang tuanya. Pergi dengan modal tekat bulat dan uang seadanya, kebetulan malam itu orang tuanya sudah tidur pulas di kamarnya. Dengan sedikit was-was Roger berjalan meninggalkan rumah mewahnya dan berjalan kaki mencari bus di terminal. Namun Roger tidak tahu kemana dia harus berjalan dan malam itu hanya ada satu bus yang tersisa di terminal.
            Takut ketahuan dengan orang lain, Roger sengaja menyamar dengan rambut palsu dan kumis palsu yang dipakainya. Menuju bus yang sedikit penuh, namun Roger awalnya tidak tahu bus itu mau kemana tujuannya. Hanya berjalan menjauhi rumah itulah awal dari langkahnya untuk pergi terlebih dahulu.

            Hal yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya sebelumnya dan ini adalah pilihan hatinya untuk mencoba mencari cinta sejatinya. Roger sudah bosan dengan gaya hidupnya yang lama dan tidak tahu tujuan yang harus dicapainya. Meskipun ini awal dari perjalanannya mencari jati dirinya namun tidak sedikitpun ada penyelesalan dalam dirinya.
            Beberapa jam Roger tertidur dalam perjalanan malam itu.
            “Mas, sudah sampai,” ucap knek bus tersebut.
            “O...Maaf saya ketiduran, terimakasih,” balas Roger.
            Dengan mata yang masih berkunang-kunang Roger berjalan keluar dari bus dan masih ragu harus menuju kemana. Namun pandangan matanya terpaku dengan sebuah halte yang tidak terlalu jauh dari terminal itu. Rintik-rintik air hujan membasaha tubuhnya, dengan setengah berlari dia menuju halte tersebut.
            “Sudah pukul 03.15 ya,” bisiknya dalam hati sambil melihat jam tangannya.
            Roger duduk sambil mengandarkan tubuhnya ke dinding halte, hembusan angin malam mengingit kulitnya hingga dia gemetaran menahan rasa dingin. Beberapa menit berlalu dia sudah pulas tertidur dengan berselimutkan udara malam.
            “Allahu akbar...Allahu akbar,” suara azan subuh bergemuruh.
            Sedikit demi sedikit mata Roger mulai terbuka dan merasa sudah lama tidak melakukan shalat lagi. Memang dia terlahir dari keturunan Islam namun orang tuanya bisa dibilang tidak pernah menyuruhnya untuk melakukan shalat dan hal lainnya. Orang tuanya terlalu sibuk dengan urusan dunia dan menghiraukan bekalnya di akhirat nanti. Hal itu menurun kepada anaknya dan pintu hidayah itu belum pernah dia dapatkn. Namun entah mengapa, hatinya begitu rindu untuk melangkahkan ke mesjid dan melaksanakan shalat berjamaah.
            Roger pun berjalan membelah dinginnya subuh dan menapaki kakinya satu demi satu hingga sampai di depan mesjid. Hatinya mulai terasa tenang dan tentram berada disana. Setelah mengambil wudhu’ dan mulai melangkahkan kakinya ke dalam mesjid batin semakin damai dan tentram. Namun entah kenapa pandangannya tertuju pada seorang ustadz dengan mengunakan pakaian serba putih tersenyum ramah dengan wajah bersinar kepadanya. Roger pun membalas senyuman dan anggukan kecil ke arah ustadz itu namun rasa penasaran terus saja muncul dalam benaknya. Kenapa ustadz ini berbeda dengan orang-orang yang lainnya ? Pikirnya dalam hati. Namun dia tidak ambil pusing lagi saat suara iqomah dikumandangkan.
            Beberapa menit shalat subuh dan bermunahajah dengan Sang Pencipta, akhirnya Roger beristirahat di beranda mesjid itu. Namun pikirannya masih bingung mau kemana tujuannya saat ini.
            Tiba-tiba datang suara telapak kaki mendekatinya.
            Assalamu alaikum, Siapa namumu anak muda ?” sapa seorang Bapak tua.
            Sedikit terkejut Roger memalingkan tubuhnya dan masih belum menjawabnya.
            Wa...wa’alaikum salam, nama saya Roger,” dengan sedikit gugup.
            “Maaf menganggu istirahatnya Nak Roger, kelihatannya Nak Roger sedang kebingungan nampaknya. Bolehkah saya tahu ? Mungkin saya bisa membantu Nak Roger nantinya,” Balas Bapak tua itu.
            “Tidak apa-apa Pak, saya hanya bingung mau kemana ?” jawabnya dengan jujur.
            “O...jadi begitu, kalau boleh tahu Nak Roger dari mana ?”
            “Saya dari Jakarta Pak.”
            “Ayo ikut saya saja dulu Nak Roger sambil minum teh dan kita bicarakan nantinya,” ajak Bapak tua itu.
            “Boleh Pak, maaf merepotkan Bapak ?”
            “Tidak merepotkan juga kok Nak Roger, sebagai sesama umat muslim kita memang diwajibkan saling tolong menolong,” jawabnya sambil tersenyum.
            Hanya anggukan kecil yang dapat dilakukan Roger dan mengikuti Bapak itu dari belakang. Sejenak Roger sangat salut dengan kebaikkan Bapak tua itu dan baru merasakan bagaimana indahnya persaudaraan itu dalam Islam. Apalagi menjalin silaturrahmi antar sesama muslim dan hanya hal kecil yang dilakukan Bapak tua itu namun sangat terkesan di hati Roger.
            Tidak terlalu jauh juga rumah Bapak tua tadi, akhirnya mereka sampai di depan rumah yang sangat sederhana dan kecil. Namun Roger merasakan hal yang sangat aneh berada di tempat itu, aneh bukan karena geli dengan tempatnya atau keadaannya. Namun rasa aneh yang membuatnya merasakan nyaman, tentram berada di sana. Matanya masih liar memandang kesana kemari melihat sekeliling rumah itu inci demi incinya. Rasa haru dan penasaran Roger mulai berdatangan dengan keadaan rumah tersebut.
            “Ini rumah Bapak ?” tanya Roger.
            “Iya Nak Roger, maaf rumahnya hanya sederhana dan kecil Nak Roger,” jawab Bapak tua tadi dengan ramah.
            “Ngggakk apa-apa kok Pak, ini sudah lebih daripada cukup,” jawab Roger sambil sedikit gugup.
            “Silahkan duduk Nak Roger.”
            “Bu, Tolong ambilkan airnya ya,” suara Bapak tua itu kepada isterinya.
            “Iya bentar Pak,” suaranya dari dapur.
            “Kira-kira kenapa Nak Roger bisa sampai ke sini ?” Bapak tua itu membuka perbicaraan.
            Beberapa detik Roger masih belum menjawabnya dan sedikit canggung dengan jawabannya yang akan dia lontarkan. Namun dia masih belum berani menyampaikan kepada Bapak tua itu kalau dia kabur dari rumah.
            “Begini Pak, saya kesini ingin mencari pekerjaan dan apapun pekerjaan yang Bapak berikan saya terima. Walaupun tidak dibayar juga tidak apa-apa,” jawab Roger dengan sedikit mengalihkan pembicaraan.
            “O...jadi begitu toh, kalau masalah pekerjaan Nak Roger bisa membantu saya bekerja di kebun untuk sementara waktu. Tapi apakah Nak Roger tidak keberatan bekerja di kebun saya ?”
            “Tidak apa-apa kok Pak, tapi...,” Roger menghentikan pembicaraannya.
            “Tapi apa Nak Roger ? Apakah Nak Roger tidak biasa bekerja di kebun ?” tanya Bapak tua itu dengan cepat.
            “Bukan itu maksudnya Pak, tapi saya belum ada tempat tinggal disini Pak,” sambil memandang lantai rumah Bapak tua itu.
            “Saya kira apa tadi Nak Roger, kebetulan saya ada kamar kosong di belakang dan kalau Nak Roger mau bisa menempati kamar itu. Gimana Nak Roger ?”
            “Boleh Pak, asalkan Bapak tidak keberatan saja ruangannya saya pakai.”
            “Tidak masalah kok Nak Roger.”
            “Silahkan diminum airnya Nak ? Ini ada sedikit kue juga,” Sapa isterinya.
            “Iya Buk, terimakasih Buk,” jawab Roger.
            Perbincangan demi perbincangan dari satu topik ke topik lainnya dan dengan cepat Roger dan Bapak tua itu semakin akrab. Apalagi Bapak tua itu suka dengan catur dan kebetulan Roger juga suka bermain catur. Akhirnya perbincangan dan serang-menyerangpun dalam bermain catur semakin seru. Beberapa menit kemudian score sama berat satu kali menang dan satu kali kalah (draw) begitu juga sebaliknya untuk Bapak tua itu.
            Semakin hari kedekatan Bapak tua, isterinya dan Roger semakin dekat. Roger merasakan bahwa mereka adalah sama seperti orang tua sendiri dan rumah sendiri. Dia tidak merasa menumpang lagi di sana, bahkan setiap hari mereka bekerja di kebun mereka. Selain itu Bapak tua dan isterinya juga menganggap Roger sebagi anaknya sendiri dan bukan lagi orang lain.
            Hari-hari Roger semakin merasakan kebahagian hidup yang sebenarnya dan hangatnya rasa kebersamaan ditengah-tengah keluarga, bercanda, bercerita, bekerja sama dan hal lainnya. Sebelumnya Roger tidak pernah merasa hal yang seperti ini di tengah-tengah keluarganya dan mungkin karena orang tuanya yang sibuk dengan pekerjaannya sehari-hari, hingga waktu senggangnya untuk bersama-sama tidak ada. Ternyata Roger baru merasakan beginilah indahnya hidup itu dan kesederhanaan bukanlah suatu hal yang sangat sulit. Namun dibalik kesederhanaan itulah terciptanya rasa syukur kepada Yang Kuasa dan kebagiaan batin serta kenyamanan menjalani kerasnya kehidupan ini.
            Enam bulan kemudian.
            Tanpa terasa waktu berlalu dan hari, minggu berganti bulan. Roger sangat disayangi dan dicintai oleh orangtua angkatnya itu, walaupun bukan terlahir dari rahimnya. Banyak hal yang sudah mereka lalui bersama susah dan bahagia terasa begitu indah, serta Roger juga mendapatkan pengajaran tentang Islam dari Bapak angkatnya. Selain itu juga mengajarkan bagaimana cara shalat, membaca Al-Quran dan pelajaran Islam lainnya. Selain itu Roger juga sering dibawa oleh Bapak angkatnya mengikuti pengajian-pengajian tentang Islam di sebuah pondok pesantren yang tidak terlalu jauh dari rumah mereka.
            Selain itu Roger juga sudah kenal dekat dengan guru-guru agama disana dan juga teman-teman di pondok itu. Kebaikan Roger bukan hanya dirasakan oleh orangtua angkatnya maupun tempat menimba ilmunya, namun juga diterapkannya untuk sesama muslim serta siapa saja yang membutuhkan pertolongannya.
           
                                                ***


            “Papiiii...” teriak isterinya dari kamar anaknya.
            “Ada apa Mam ?” selidik suaminya sambil berlari menuju kamar.
            “Lihat Papi, anak kita sudah meninggalkan rumah ini,” sambil menyerahkan selembar kertas.

            Dari : Roger
            Saat Papi dan Mami membaca surat ini, Roger sudah tidak ada disini lagi. Maafkan saya yang tidak berani menyampaikannya lansung dan saya pergi untuk menemukan siapa diriku sebenarnya dan jati diriku. Papi, Mami tidak usah mencari saya karena saya akan kembali lagi ke rumah ini setelah saya menemukan jawabannya dari semua pertanyaan yang ada dalam pikiranku selama ini. Tolong maafkan saya, jika selama ini banyak merepotkan semua dan ridhoilah perjalananku ini.

                                                                                                Aku menyanyanyi kalian.


            Mereka sangat menyesal dengan keputusan anaknya itu dan merasa tidak bisa mendidiknya anaknya dengan baik. Mereka sadar dan terlalu sibuk dengan pekerjaannya selama ini dan tidak pernah memperhatikan anaknya. Tanpa terasa air mata mereka bagaikan tidak terbendung lagi dan sepasang suami isteri itu berpelukan. Ada perasaan takut dan cemas melepaskan anak semata wayangnya untuk meninggalkan rumah. Serta ada perasaan kagum dengan keputusan anaknya, namun tidak kuasa rasanya ia harus membiarkan anaknya itu pergi.
            “Mam, bagaimana jika kita membayar orang lain untuk mencari dan memantau keberadaan anak kita ?” suaminya meminta pendapat isterinya.
            “Ide yang bagus Pi,” jawab isterinya.
            Suaminya mempunyai teman yang baik serta sudah lama mereka menjalin ikatan persahabatan itu sejak masih SMA. Dia membicarakan hal itu kepadanya dan temannya itu memberikan ide kalau anaknya bisa membantu mencari Roger. Lagipula Roger belum pernah bertemu dia dan belum saling kenal mungkin dia tidak merasa akan diawasi dan dipantau jika sudah bertemu.
            Akhirnya kesepatan itupun disetujui Ayah Roger dan memberikan sebuah foto anaknya untuk mencari tahu keberadaannya itu. Namun misi itu sangat dirahasiakan oleh mereka dan tidak ingin nantinya anaknya kecewa dengan tindakan yang di ambil oleh orang tuanya.

                                                            ***

            Siang itu Pak Kiai datang mengunjungi perdiaman orang tua angkat Roger, namun perbincangan antara mereka sangat menikmatinya. Namun Roger sibuk dengan membersihkan kebun yang ada disamping rumahnya. Beberapa menit kemudian Bapak angkatnya memanggil untuk bertemu dengan Kiai Arif sebentar.
            “Udah dari tadi datangnya Kiai ?” sapa Roger sambil bersalaman.
            “Sudah lama juga tapi saya tidak ingin mengganggu kerjamu Nak Roger,” sambil tersenyum kecil.
            “Silahkan duduk dulu Nak Roger, begini maksud kedatangan saya ke sini dan sudah berbicara dengan Bapak angkatmu ini. Dia setuju jika kamu bisa mengajar di pondok pesatren dan itu kembali kepada Nak Rogernya juga. Bagaimana menurut Nak Rger ?”
            “MNnnnn...maaf Kiai, saya masih harus banyak belajar agama lagi dan ilmu saya belum seberapa,” jawab Roger.
            “Bukan soal tinggi rendahnya ilmu yang Nak Roger miliki tapi beberapa bulan ini saya perhatikan Nak Roger sangat paham dan mengerti dengan dunia bisnis dan kalau itu digabungkan dengan ajaran Islamnya akan sangat menarik untuk dikembangkan di pondok pesatren. Lagipula kami saat ini sangat kekurangan guru di pondok pesatren Nak Roger, kami sangat berharap Nak Roger bisa mengajar disana?” Pak Kiai Arif mencoba menjelaskannya.
            “Jika memang seperti itu keadaannya dan saya siap untuk mengajar di pondok pesantren. Namun saya masih perlu bimbingan Kiai untuk semua itu dan kemajuan pondok pesantren,” jawab Roger dengan polos.
            Akhirnya Roger mengajarkan santri-santri tentang bisnis dalam ajaran Islam. Semakin lama mata studi itu menjadi mata studi terfaforit di pondok pesantren dan akreditasinya pun diakui pemerintah dengan angka “A.” Sungguh diluar dugaan Roger semua itu dan Kiai pun sangat bangga dengan prestasi Roger tersebut. Selain mengajar di pondok pesatren, dia juga menghabiskan waktu senggangnya untuk membantu orang tua angkatnya bekerja di kebun.
            Pagi-pagi sekali Roger sudah berada di lingkungan pondok pesantren dan mempersiapkan semua bahan ajarnya. Namun entah kenapa dia berpapasan dengan seorang wanita dan tidak mengaja menabrak wanita itu yang sedang membawa beberapa buku pelajaran.
            “Maafkan saya, biar saya bantu,” ucap Roger sambil merapikan buku-buku yang berserakan.
            “Tidak apa-apa Ustadz, saya yang tergesa-gesa sampai-sampai tidak melihat Ustadz,” ucap Ustazah itu.
            “Sekali lagi maaf Ustazah, saya baru pertama kali melihat Ustazah di sini ?” ucap Roger sambil menyerahkan buku-bukunya.
            “O...iya maaf, saya belum memperkenalkan diri saya. Nama saya Khazanah Vika dan saya juga yang akan mengajarkan santri-santri tentang kemajuan serta pertumbuhannya anak didik secara Islami,” mencoba menjelaskan.
            “Mata pelajaran yang sangat bagus sekali untuk perkembangan pondok pesantren ini,” jawab Roger.
            “O..iya saya masuk kelas dulu Ustadz dan kebetuan loncengnya sudah berbunyi, mari,” dengan sangat santun.
            “Iya Ustazah saya juga mau masuk kelas,” balas Roger
            Hari demi hari bertemu dengan Khazanah membuat Roger merasakan hal yang berdeda dengan perasaannya. Bukan hanya itu dia juga mengamati tingkah laku Khazanah yang baik hati, santun dan suka menolong. Kedekatan Roger dengan Khazanah sama dengan guru-guru lainnya, namun entah apa yang membuatnya ingin sekali mengenal wanita itu jauh lebih dalam.
            Sore itu Roger berniat untuk ke rumah Kiai Arif yang tidak terlalu jauh dari pondok pesantren. Namun ketika dia masuk ke pekarangan rumah dan melangkah ke teras rumah Pak Kiai.
            “Tok...tok..tok, asssalamu ‘alaikum,” ucap Roger di depan pintu.
            Belum ada jawaban dari dalam rumah dan tiba-tiba terdengar langkah kaki dari dalam.
            Wa’alaikum salam,” sambil membuka pintu.
            Namun keduanya sama-sama terkejut dengan kajadian itu dan pandangan mata mereka beradu beberapa detik. Namun satu sama lain belum ada sepata katapun dari mereka.
            “O...maaf, bukannya kamu Ustazah Khazanah ?” ucap Roger.
            “Iya, dan kamu juga Ustadz Roger kan ?” jawab wanita itu.
            “Memang Ustazah, saya kira saya salah masuk rumah ini,” jawabnya sambil gugup.
            “Memangnya mau menemui Kiai ya Ustadz ?”
            “Kok tahu Ustazah ?” sambil sedikit terkejut.
            “Bukan salah rumah tapi memang ini rumah Pak Kiai, silahkan masuk Ustadz. Biar saya panggilkan dulu Kiai,” jawabnya sambil ke belakang.
            Roger hanya terkejut dengan kejadian itu, padahal dia sudah biasa ke tempat Kiai Arif namun tidak pernah bertemu dengan Khazanah disana. Bahkan Kiai Arif juga tidak pernah mengatakan kalau dia juga memiliki seorang anak seperti Khazanah. Berbagai pertanyaan menghantui pikirannya dan membuatnya penasaran. Beberapa menit menunggu dan akhirnya Kiai Arif datang juga menemui Roger.
            “Sehat Kiai,” ucap Roger  sambil bersalaman.
            “Alhamdulillah sehat Nak Roger, sehat juga kan ?” balas Kiai Arif.
            “Alhamdulillah juga sehat Kiai. O...iya Kiai, tadi saya bertemu dengan Ustazah Khazanah, tapi Kiai belum ada cerita sama saya tentang itu ?” mencoba mengusik rasa dipikirannya.
            “O...soal itu, saya memang belum pernah cerita kepada Nak Roger dan lagipula beliau baru lulus S2 di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Saya sengaja menyuruhnya untuk mengajar dulu di pondok pesantren untuk bisa mengembangkan keahliannya dan membantu pondok untuk ke depannya,” jalas Kiai Arif.
            “Iya Kiai saya mengerti, tadi saya kira salah masuk rumah ketika bertemu dengan Ustazah Khazanah di depan,” sambil tertawa kecil.
            “Tidak kok Nak Roger, dia adalah anak bungsu dan hanya dia satu-satunya perempuan. Namun terkadang dia suka manja gitu sama saya dan Ibunya, tapi saya akui dia sangat suka belajar ataupun menimba ilmu,” jelas Kiai Arif.
            “Silahkan diminum airnya Ustadz,” ucap Khazanah sambil meletakkan air dan beberapa makanan di atas meja.
            “Terimakasih Ustazah,” jawab Roger.
            Khazanah hanya mengangguk kecil dan kembali ke belakang. Namun banyak sedikit dia tahu apa yang mereka bicarakan mengenai dirinya. Suara azan magrib mengakhiri perbincangan mereka dan Roger pun berpamitan pulang ke rumahnya.

                                                            ***
            Beberapa bulan kemudian.
            “Nak Roger bisa saya berbicara sebentar,” ucap Kiai Arif.
            “O...silahkan Kiai,” jawab Roger.
            “Ayo kita ke ruangan saya saja,” sambil berjalan menuju ruangan kepala.
            “Silah duduk Nak Roger,” ucap Kiai Arif.
            “Iya Kiai.”
            “Tujuan saya menyuruh Nak Roger kesini adalah pertama untuk menyampaikan pesan dari anak saya Khazanah. Beberapa hari yang lewat dia cerita kepada saya dan dia katanya tidak berani menyampaikannya langsung kepada Nak Roger, bahwa dia menyukai Nak Roger. Tujuan yang kedua, permintaan saya sebagai orang tuanya Khazanah untuk segera mungkin menikahi dia. Itupun jika Nak Roger belum punya calon, bagaimana Nak Roger ?” Mencoba menjelaskan.
            “Begini Kiai, sebenarnya saya sudah memiliki calon sejak tiga bulan yang lalu. Namun,,,,” Roger mencoba berpikir.
            “Saya juga tidak memaksa Nak Roger untuk menyetujui permintaan saya ini dan saya sangat paham dengan situasi Nak Roger,” sela Kiai Arif.
            “Bukan begitu maksud saya Kiai, calon yang Kiai rekomendasikan itu adalah...dia...orang yang sama dengan pilihan saya dulu Kiai,” jawab Roger sedikit gugup.
            “Terimakasih Nak Roger, saya sangat senang mendengarkannya. Kira-kira kapan pernikahan Nak Roger dan Khazanah akan kita langsungkan ?” tanya Kiai.
            “Tapi Kiai, saya belum mempersiapkan segalanya untuk pernikahan ini,” jawabnya.
            “Tidak apa-apa, saya tidak memintamu untuk membelikan rumah atau mahar yang lebih daripada itu, hanya cukup ‘Cinta Abadi’ kepada khazanah itu sudah cukup,” jawab Kiai Arif sambil terseyum.
            Tiba-tiba ada suara kaki dari arah pintu ruang kepala.
            “Walaupun maharnya hanya ‘Cinta Abadi’ tapi itu sama dengan semua kekayaan yang kami miliki,” ucap orang itu.
            Roger dan Kiai Arif terkejut dengan suara itu dan mengalihkan pandangannya kepada dua orang itu. Beberapa detik Roger tidak percaya bahwa orang tuanya akan datang dan bertemu dia di tempat itu.
            “Papi, Mami,” sambil memeluk keduanya.
            Kiai Arif menjadi saksi bahwa pertemuan anak dan orang tuanya menjadi dramatis dan penuh dengan air mata. Beberapa menit kemudian, orang tua Roger mengatakan hal yang sebenarnya dan hal-hal lain mengenai keluarganya. Akhirnya Roger menemukan cinta sejatinya dan jauh lebih sempurna setelah mereka melangsungkan pesta pernikahan seminggu setelah kejadian itu. Bahkan orang tua Roger sudah mengadari kesalahannya dan tidak ingin hal yang sama terjadi lagi dengan anak satu-satunya.
           

           

                                                           

0 komentar:

Posting Komentar