Gambar : Penceramah di Mesjid. |
Mengajarkan ilmu atau memberikannya
kepada orang lain adalah hal yang sangat baik bagi kita. Apalagi memberikan
ilmu itu dengan rasa ikhlas dan tanpa belas apapun dari orang yang menerima.
Itulah yang sangat diridhoi oleh Allah Swt, bahkan dalam Al-Qur’an dalam surat
Mujadillah ayat 11 Allah Swt memberikan keistimewaan dan ketinggian drajat
kepada orang-orang yang memiliki ilmu di antara manusia. Jika kita memberikan
ilmu kepada orang lain, maka ilmu yang kita berikan tidak akan hilang atau
berkurang dari kita. Namun ilmu itu akan semakin bertambah dan semakin melekat
pada pikiran kita.
Namun jika kita memberikan ilmu dengan
mengharapkan imbalan dan jasa kepada orang lain. Maka itu saja yang akan kita
dapatkan, tidaklah lebih, memang uang pada saat sekarang ini sangatlah perlu.
Namun jangan utamakan hal tersebut, biarkanlah bahwa itu tambahan atau biaya
transportasi dan makan, minum kita dalam perjalanan. Jangan mengambil patokan
lebih dari hal tersebut, biarlah Allah sajalah yang memberikan lebih dari
apa-apa yang telah kita lakukan terhadapa usaha yang sedang kita lakukan. Bahwa
menjadi orang-orang yang ikhlas itu sangatlah sulit pada saat sekarang ini,
namun menemukan orang-orang yang mengharapkan imbalan yang sangat besar dari
apa yang diberikan kepada orang lain, sangatlah mudah.
Seorang mahasiswa disebuah
universitas ternama di suatu kota, sedang menjalani jenjang pendidikan
Pendidikan Agama Islam disana. Sebuah ilmu yang sangat langkah dan diminati
oleh orang-orang pada saat sekarang ini. Namun semua mata kuliah dia tekuni dan
berusaha untuk memahaminya di tempat kos. Namun dia adalah orang pendatang di
kota itu, orang tua dan sajak family yang jauh dari tempat tinggal. Kebiasaan
anak kos tidak lepas dari masalah keuangan yang minim pada akhir-akhir bulan.
“Sudah pulang kuliah Hakim ?” tanya
teman satu kosnya.
“Sudah, baru saja sampai Lang,”
jawabnya.
“Sudah masak belum Lang, lapar nih.
Dari pagi belum sempat makan karena buru-buru ke kampus.”
“Sudah Hakim, itu nasi masih banyak
dalam majig jar,” sambil menunjuknya.
“Mantap, makan dulu ahhh,” sambil
berjalan mengambil piring.
Nasi yang sudah dimasukan ke dalam
piring dan ternyata sambal yang akan dimakan tidak ada.
“waahh, mana sambalnya Lang ?” tanga
Hakim.
“Sambal sudah habis Hakim, tadi aku
makan tinggal sedikit. Coba saja cari ke depan ?”
“Uuuasssss, aku sedang kere sekarang
Lang, kamu tahu kan sekarang minggu terakhir ?”
“Iya sih, aku juga sama dengan mu
Hakim, namun harus bagaimana lagi makan saja apa yang ada dulu. Mana tahu nanti
ada rezeki buat kita ? Hey, kamu yang pintar ceramah. Kenapa tidak mengisi
peramah saja di mesjid dekat kos kita ?”
“Iya juga Lang, kamu hebat. Nanti aku
tanya dulu sama Pak Ustadnya.”
Akhirnya Hakim makan dengan apa yang
hanya tersedia untuk sementara waktu. Setelah selesai makan dan dia mencoba
untuk mencari tahu apakah ada jadwal ceramah di mesjid yang kosong pada minggu
ini. Dengan penampilah yang sederhana dia berjalan ke tempat Ustad Mansur yang
tidak jauh dari kosnya. Bahwa ustad itu juga sebagai pengurus di mesjid itu.
Namun belum sampai di tempat Pak Ustad, dia bertemu dengan Pak Haji Am. Dia
termasuk daftar haji yang sudah pulang dari Mekah pada tahun lalu bersama
rombongan jamaah haji Indosia yang lain.
Namun tingkah dan kebiasaannya tetap
saja tidak bisa berubah, baik sebelum pergi haji ataupun sesudah menjadi
seorang haji. Walaupun hanya penampilannya saja yang berubah, ya dari dulu yang
tidak pernah memakai peci sekarang sudah memakai peci sudah. Seperti
orang-orang yang kita lihat sepulang dari pergi haji itu, namun memang sifat
dan kebiasaan buruknya tidak bisa dia robah. Walaupun sudah naik haji ke Mekah
sekalipun, tentu saja hal itu tidak disukai banyak orang. Bahkan kata-katanya
dari yang keluar sepuluh buah lima diantaranya adalah kata-kata kotor seperti
“pacaruik.”
Bahkan orang-orang yang sering
berdialog langsung dengannya memberikan julukan baru kepada Haji Am dengan
istilah, “Haji Pacaruik,” memang aneh sih. Namun ituah yang sebenarnya terjadi
pada haji yang satu ini, terkadang seorang yang pergi haji hanya ingin
mendapatkan title atau gelar haji saja. Bahkan banyak orang yang sudah
pergi haji merasa bangga dengan apa yang telah ia peroleh, bahwa itu menandakan
kalau dia adalah termasuk kepada orang yang kaya. Pergi haji hanya ingin membanggakan
kekayaan kepada masyarakat sekitar dengan kekayaan yang banyak dan mampu
mengatarkannya kepada pergi haji.
Tidak banyak orang yang pergi haji
yang memang ikhlas untuk meningkatkan rasa syukur dan terima kasihnya kepada
Allah Swt dengan melakukan perjalan haji. Bahkan orang yang pergi haji lebih
diidentik dengan sebutan orang kaya, namun tidak semua orang yang pergi haji
adalah orang kaya. Bahkan orang yang hidup sederhana juga mampu untuk melakukan
perjalanan haji tersebut. Akan tetapi banyak orang kaya dan sudah mampu untuk
melakukan perjalanan haji, namun masih tidak mau menjalankan rukun Islam kelima
tersebut.
Dalam perjalan ke rumah Ustad Mansur,
hakim bertemu dengan Haji Am dan bahkan Pak Haji bertanya kepada Hakim tentang
suatu hal.
“O..kamu Hakim, dari mana dan hendak
kemana kamu ?” tanya Pak Haji.
“Mau ke tempat Pak Ustad, Pak Haji.”
“Ada acara apa kamu ke sana dan
bukannya Pak Ustad sedang keluar Kota ?”
“Tidak ada Pak Haji, pengen
silaturrahmi saja ke rumah Pak Ustad. Kemarin saya dengar sudah pulang Pak
Haji, bukan keluar kota Pak Haji, namun keluar ke kampung sebelah Pak Haji,”
sambil tertawa terkekeh-kekeh.
“Itu saja, lagian keluar kota
juga keluar dari daerah sendiri kan ? Anjing kamu, berani-beraninya kamu
memtertawakan seorang Pak Haji. Umur baru setampuk padi sudah melagu kamu ?”
merasa kesal dengan tindakan Hakim.
“Jangan marah-marah Pak Haji, lagian
saya hanya bercanda kok Pa Haji. Pak Haji ganteng kalau senyum, pasti banyak
cewek-cewek yang suka sama Pak Haji kalau sedang senyum,” bujuk Hakim.
Namun apa yang dilakukan Hakim
ternyata malah membuat Pak Haji Am semakin merasa tersudutkan dengan omongan
anak kecil yang merasa menasehati dan memamerkan ilmunya kepadanya. Bahkan
dengan kesombongan Pak Haji Am yang sudah pergi haji tidak mau kalah dengan perkataan
anak ungusan itu.
“Hey...anjing kamu tahu apa dengan hal
itu, baru kuliah saja sudah belagu. Lihat nih orang kaya bahkan tinggi ilmunya
dengan Pak Ustad Mansur kamu saja tidak sombong seperti kamu,” sambil
memberikan ekspresi dari mulutnya.
“Ya elah, itu sih bukan sombong lagi
kalau sudah diucapkan langsung seperti,” pikir Hakim dalam hati.
Namun karena semua orang tahu sifat
dan tingkah laku Pak Haji Am itu yang tidak baik setiap kali berbincang dengan
orang lain. Apalagi orang itu merasa tinggi ilmunya dan bahkan merasa
tertandingi dengan ilmu akan merasa marah dan bahkan kata-kata kotor sudah
menjadi lebih banyak keluar daripada yang lain. Namun Hakim mencoba untuk diam
saja karena takut merasa Pak Haji akan terus mengeluarkan kata-kata kotor itu
kepadanya, bahkan dia juga tahu kalau dia bukan orang asli sini juga. Silent
is gold, adalah istilah yang sangat tepat digunakan pada saat dan situasi
seperti itu. Namun ternyata diamnya justru menjadikan Pak Haji semakin bertingkah
dan menyudutkan Hakim saat dia hanya mencoba diam.
“Hey sekali lagi anak anjing, kamu
jangan sesekali sok mejadi anak baik atau orang teladan memberikan pengajian,
mengisi ceramah disana sini. Kamu sudah merasa hebat, tidak itu hanyalah seujung
jariku saja dari kehebatanku itu.”
Belum sempat Hakim menjawab, lagi-lagi
Pak Haji terus mencoba memojokkannya Hakim ke sudut dengan perkataan dan
perkataannya.
“Jangan anak anjing, jangan kamu kira
diamlah akan membuatku merasa senang, namun diammu itu semakin membuatku merasa
rendah dengan ekspresi wajahmu yang sudah sama dengan wajah anjing. Sudah
jelek, sok belaku, dasar anjingggg....”
“Ma maaaf,,,,” sambil terbata-bata.
“Jangan kamu kira ucapan maafmu itu
akan menyenangkan hatiku tidak, kuliah baru beberapa hari sudah belagunya
mintak ampun kamu, memang kamu kira aku ini tamatan Sekolah Dasar atau tidak
pernah sekolah. Anjing kamu,” terus memaki-maki Hakim yang sudah muak dengan
ucapan Pak Haji itu.
Situasi yang semakin memanas itu
membuat terlinga Hakim semakin memerah, padahal dia tidak berniat untuk membuat
Pak Haji Am untuk marah kepadanya. Namun karena dia salah dalam memahami
situasi dan ucapan Hakim saat itu.
“Maaf Pak saya harus pergi,” sambil
meninggalkan Pak Haji.
“Sudah berkata belagu, pergi juga
tidak tahu sopan santun kamu. Dasar anak anjing, pasti orang tuamu tidak pernah
mengajarkan sopan santun kepadamu hingga seperti ini,” terus mengomel walaupun
Hakim sudah jauh.
Walaupun ucapan Pak Haji Am tadi
membuatnya merasa tersudut, namun keinginannya untuk menemui Ustad Mansur tidak
hilang dengan hal tersebbut. Beberapa langkah lagi dia sudah berada tepat di
depan rumah Ustad Mansur.
“Assalumu ‘alaikum Pak Ustad,”
sambil mengetok pintu.
“Wassalumu ‘alaikum, siapa di
luar,” tanya seseorang dari dalam rumah.
“Ini saya Hakim ustad.”
“O..kamu Hakim, silahkan masuk,’
sambil membukan pintu.
“Bagaimana kabarnya ustad ? Kapan
pulang rapatnya ustad ?”
“Alhamdulillah sehat, babda Magrib
sudah pulang. Ngomong-ngomong ada apa tujuan Nak Hakim kesini ?”
“Begini ustad, saya mau menanyakan
tentang jadwal ceramah di mesjid kepada ustad. Mana tahu masih ada yang kosong
minggu ini atau beberapa minggu ke depan,” mencoba menjelaskan.
“O...begitu, kemarin ustad akan
ceramah menelpon dan mengatakan dia tiba-tiba kurang enak badan dan tidak bisa
hadir untuk peramah badda Isya besok. Ya seperti biasa acara malam Kamis di
mesjid kita, paling kurang untuk memberikan pemahaman atau agar jamaah kita
terus bertambah juga. Kalau bisa Nak Hakim bisa juga memberikan tausiayah
sedikit setelah shalat Subuh setiap hari. Ya lumayan buat tambahan jajan dan
biaya kuliah.”
“Boleh ustad, insya Allah saya
usahakan untuk hadir pada malam besok dan juga bisa mengisi tausiyah setelah
shalat subuh setiap hari,” dengan tersenyum.
“Baik, besok ustad tunggu saja di
mesjid.”
“Ya ustad, terima kasih sebelumn ya
ustad. Saya mohon pamit dulu.
Akhirnya Hakim kembali ke kos dengan
wajah yang sangat senang, walaupun pertemuannya dengan Pak Haji Am membuatnya
merasa sakit hati. Namun peluang yang diberikan ustad membuatnya merasa
terobati dengan perkataan-perkataan Pak Haji Am yang menyudutkannya.
“Bagaimana usahamu ke tempat Pak Ustad
Mansur ?” sambil menepuk pundaknya.
“MNnnn..alhamdulillah lancar Lang,
namun aku juga dapat tawaran lebih untuk mengisi acara di mesjid, tapi. . ,“
perkataan Hakim terhenti sesaat.
“Gak usah tapi-tapian, mungpung ada
rezeki jangan ditolak Hakim, kapan lagi ada peluang seperti ?” sambil
mengedipkan matanya.
“Maksudnya bukan itu Lang, tapi itu
loh Pak Haji Am yang terkenal sebagai Haji Pacaruik itu bertemu dengan anak
sebelum ke tempat Ustad Mansur tadi. Kamu tahukan orangnya seperti apa ? Aku
jadi malu dan merasa disudutkan dengan perkataannya tadi, bahkan aku langsung
saja pergi agar tidak terlalu jauh menyakiti hatiku Lang,” mencoba menjelaskan.
“Ya jangan dimasukan ke dalam hati
kata-kata Pak Haji itu Hakim, biasa saja. Orang-orang juga sudah tahu kalau dia
seperti itu, bukan hanya kamu yang menjadi korbannya, orang-orang yang dekat
dan bahkan tetangganya pun ikut menjadi korban perkataannya,” mencoba
membahagiakan temannya.
“Iya juga sih Lang, terima kasih Lang.
Aku persiapkan dulu peramah untuk malam nanti,” sambil mencari buku.
“God Luch saja Hakim, semangat
ya.”
Beberapa saat Hakim sudah sibuk
memahami dan mempelajari naskah peramah nanti. Bahkan disaat akan tampilpun
dia juga mengulang-ngulang melancarkan peramahnya, tidak tanggung-tanggung
Gilang sahabat sekamar dan juga teman kuliahnya ikut membantunya.
“By the way, apa judulnya
peramahmu malam ini Hakim ?”
“Judulnya kewajiban shalat 5 waktu.”
“Pilihan yang tepat dengan kondisi
umat saat ini, aku doakan agar lancar-lancar saja dalam penampilan nanti.”
“Ya thanks, aku harap juga
seperti itu Lang.”
Akhirnya malam penampilan peramah
Hakim di mesjid pun datang dan berjalan dengan lancar bahkan membuat para
jamaah pada malam itu kagum dengan penampilan anak kuliah yang sudah lihai dan
hebat dalam memberikan penjelasan dan mudah dipahami oleh jamaah.
“Baru itu kehebatan anak anjing itu,
sudah kembang-kempes lubang hidung,” pikir Haji Am dalam hati.
Setiap mengisi tausiyah dan hari-hari
selanjutnya terus mendapatkan respont yang baik dan sanjungan dari masyarakat
sekitarnya kepada Hakim. Bahkan namanya semakin hari semakin dikenal oleh
masyarakat hingga tidak sedikit dia mendapatkan tawaran untuk mengisi kegiatan
dan peramah dari mesjid ke mesjid, bahkan dari surau ke surau. Namun suatu
ketika saat suara azan sudah mengalun dengan indahnya untuk mengingatkan waktu
shalat Asyar sudah masuk, namun Hakim tetap saja sibuk dengan tugasnya dan seolah-olah
tidak mempedulikan hal tersebut. Bahkan jam di dinding sudah mulai mendekati
angka enam pun tidak sedikitpun terniat untuk Hakim melaksanakan perintah
shalat.
“Hay...sudah shalat Asyar belum
Hakim,” sapa temannya yang dari tadi memperhatikannya.
“Ahh...lagi M nih Lang,” sambil terus
melanjutkan tugasnya.
“Mana ada cowok yang M, shalatlah dulu
nanti lanjutkan lagi tugasnya. Palingan lima menit juga sudah selesai,” mencoba
menbujuk temannya.
“Lagi malas saja Lang, lagi pula
tanggung nih tidak banyak lagi,” mencoba menyela.
“Ngisi kegiatan di mesjid-mesjid
sering bahkan surau-surau sering, namun peramahnya hebat hingga mulut
berbusa-busa semakin semangatnya di depan orang banyak. Bahkan judul peramah
juga kewajiban shalat 5 waktu bagi kaum muslimin, namun hanya tinggal omongan
saja kau Hakim,” mencoba menjelaskan.
“Iya sih, itu aku sampaikan hanya
untuk orang lain Lang, namun uangnya yang aku inginkan dari semua itu,” sambil
tersenyum kecil.
“Ya elah, ilmu yang kau berikan hanya
untuk orang lain, uangnya saja yang kau inginkan. Harusnya kamu yang
menyampaikan juga harus mengaplikasikannya terlebih dahulu dong sebelum
disampaikan kepada orang lain, itu baru berkah uang yang kau dapatkan. Bukan
hanya menjadi orang yang pandai berkoar-koar di depan orang banyak namun tidak
pernah kau lakukan apa yang kau sampaikan kepada orang lain sama saja bohong
itu Hakim,” menjelaskannya.
“Nanti-nantilah Lang, lagipula aku kan
masih muda dan masih banyak waktu untuk beramal nantinya. Namun orang-orang tua
atau jamaah itulah yang sudah diujung senja atau para bidadari senja itulah
yang lebih harus banyak beramal dan terus menabung untuk akhiratnya. Kalau
orang seperti kita-kita ini nikmati saja dulu masa muda ini, sebelum datang
masa tua,” sambil tertawa kecil.
“Jangan seenak kamu saja bicara itu
Hakim, jangan seperti Pak Haji itu juga kamu nantinya. Gelar yang didapat hanya
untuk memamerkan saja kepada orang, namun sifat dan tingkah laku laku tidak
sesuai dengan apa yang didapat. Anak-anak, remaja, tua pasti juga akan mati
Hakim, bukan hanya orang tua saja yang menjadi camat atau calon mati, anak-anak
dan remaja juga pasti akan mati, lihat saja yang sudah-sudah Hakim,” mencoba
memperingati temannya.
“O...iya Lang, aku hampir lupa itu.
Sebelum waktu Magrib masuk aku buru shalat Asyar dulu,” sambil buru-buru ke
kamar mandi.
“Ya elah, harusnya kamu lebih tahu
daripada aku yang hanya mendengarkan kamu ceramah di mesjid daripada orang yang
menyampaikanya langsung,” pikir Gilang dalam hati.
Sejak saat itu Hakim tidak pernah lagi
telat dan bahkan melalaikan shalat lima waktunya setiap hari. Bahkan teman
menjadi pengingat atau alaran saat-saat sahabatnya tidak ingat dengan sesuatu,
bahkan seorang teman membangunkan dikala tidur dan mengingatkan dikala lupa
kepada temannya. Itulah teman atau perhabatan yang sejati yang selalu
menasehati dan memberikan bantuan kepada sahabatnya dikala membutuhkan bantuan.
Bukan menjadi teman yang malah menjatuhkan sahabatnya sendiri ke dasar neraka
dan membawa ke jalan maksiat.
0 komentar:
Posting Komentar