Copyrights @ Journal 2014 - Designed By Templateism - SEO Plugin by MyBloggerLab

Jumat, 11 Maret 2016

BIARKANLAH TAKDIR BERKATA

Share




Gambar: Panti Asuhan Aisyiyah Sungayang.
Sejak kepergian sang ayah tercinta anak itu berubah drastis, tidak seperti biasanya. Anak itu sebelum kepergian sang ayah sangat periang dan tidak sedikit teman-temannya yang bermain dengannya. Bahkan masa-masa kecilnya dilalui sebagian besar dengan bermain. Belum mampu menikmati kebersamaan dengan sang ayah dan bisa dihitung jari, namun Allah berkehendak lain. Sejak saat itu tidak banyak kegiatan yang yang dilakukan anak itu, walaupun teman-temannya sering mencoba untuk mengajaknya bermain kembali.
Berasal dari keluarga sederhana tidak menuntut banyak hal kepada sang Ibu, walaupun dia iri dengan berbagai mainan baru teman-temannya. Namun dia tidak pernah merasa tertinggal karena teman-temannya masih meminjamkannya setiap bermain. Mempunyai teman-teman yang baik dan saling membantu satu sama lain.
Ketika masa-masa seragam putih merah harus berakhir, maka mau tidak mau dia harus sekolah di luar daerahnya sendiri. Hari-hari yang biasanya dihabiskan dengan teman-teman dan sering bisa bertemu orang tua serta kakak-kakak di rumah. Namun hal yang tidak bisa dihindari lagi bagi anak usia yng masih kecil adalah hidup mandiri demi mencapai pendidikan yang lebih baik. Awalnya sungguh berat bagi seorang anak kecil yang belum belajar banyak hal sebelumnya.
Setiap sekali seminggu Ibunya tetap melihat perkembangan anak sulung dalam pengajian wiritan.
“Bagaimana tinggal disini Nak ?” sapa Ibu Irvan setelah acara wiritan selesai.
“Enak Bu,” jawab Irvan.
“Rajin-rajin belajar dan jangan nakal Nak,” pesan Ibu Irvan.
“Iya Bu, terima kasih.”
Memasuki semester dua di MTsN Sungayang, Irvan tinggal di Panti Asuhan Aisyiyah Sungayang. Disana Irvan belajar banyak hal dan menemukan teman-teman baru yang membuatnya tidak pernah kesepian, walaupun jauh dari orang tua. Awalnya Irvan sempat merasa canggung dengan rumah baru, teman-teman barunya serta tempat baru disana, namun dengan berjalannya waktu dan beradaptasi dengan cepat. Hidup mandiri yang dipelajari Irvan dari Bapak Angkatnya serta teman-teman lainya disana.
Selain itu Irvan juga mendapatkan teman-teman baru di sekolahnya, walaupun tidak terlalu pintar dalam belajar. Namun disegi lain Irvan menjadi idola sekolah yaitu memiliki kemampuan dalam bermain bola dan teman-temannya mengakui hal tersebut. Namun tidak sedikitpun rasa sombong diperlihatkan Irvan dan selalu merendahkan diri.
Suatu pagi ketika jam istirahat berbunyi Irvan yang biasanya ikut berbaur dengan teman-teman lokalnya untuk makan di warung yang tidak jauh dari sekolahnya. Kebetulan disana ada dua buah sekolah yang saling berdekatan yaitu SMP Sungayang dan MTsN Sungayang. Setiap keluar main sekitar sekolah itu terlihat sangat ramai dengan hilir mudik anak sekolah.
Namun hal yang menarik bagi Irvan ketika dia tidak sengaja menabrak seorang perempuan dari siswa SMP yang sama-sama akan berbelanja di warung dekat sekolah. Namun hal aneh terjadi dan tidak biasanya bagi Irvan, detak jantungnya derdenyut kencang dan tatapannya terus memperhatikan wanita itu.
Namun beberapa detik kemudian.
“Maaf tidak sengaja,” ucap Irvan sedikit gemetar.
“Ohhh...tidak apa-apa kok,” sambil berlalu.
Makan bersama teman-teman di warung itu adalah kebiasaan Irvan setiap harinya. Ketika waktu belajar dimulai kembali pikiran Irvan melayang dengan wanita yang ditabraknya di warung makan. Namun Irvan mencoba mengingat-ingat dan merasa wajahnya tidak asing baginya. Sejak saat itu Irvan mencoba memperhatikan wanita itu ketika jam istirahat dan pulang sekolah.
Beberapa minggu kemudian secara tidak langsung Irvan yang masih penasaran dengan wanita dari SMP itu, dia melihat wanita itu menunggu jemputan untuk pulang ke rumah. Akhirnya Irvan mencoba mendekati wanita itu dengan malu-malu.
“Nungguin siapa ya ?” ucap Irvan membuka pembicaraan.
“Lagi nunggu orang tua,” ucap wanita itu.
“Ohh...saya juga sedang menunggu teman, kenalkan nama saya Irvan ?” sambil menyulurkan tangannya ke depan wanita itu dengan sedikit gugup.
“Panggil saja Nadia,” tanpa membalas salam perkenalan Irvan.
“Ayo, Van kita pulang,” ucap teman Irvan tiba-tiba.
“Saya duluan ya Nadia, senang berkenalan denganmu,” sambil sedikit berlari mengejar temannya.
“Sama-sama Van,” dengan sedikit tersenyum.

                                                            ***
Ketika jam sekolah berlangsung, tiba-tiba saja suara pintu terbuka dari luar. Seorang siswa dan seorang guru memasuki kelas.
“Maaf menganggu proses belajarnya Buk, ini saya mengantarkan siswa baru dan akan belajar di kelas VII A ini,” ucap guru itu di depan pintu.
“O...terima kasih Buk, silahkan masuk Nak,” ucap Buk Devi.
“Iya Buk,” sambil berjalan ke depan kelas.
“Ayo kenalkan dulu nama dan alamatmu Nak ?”
“Baiklah, kenalkan nama saya Riendra dan saya tinggal di DKI,” ucap anak itu.
Semua mata tertuju pada anak itu dan gurunya juga, mencoba mencerna perkataan anak itu satu demi satu. Namun sang guru yang penasaran dengan sianak mencoba bertanya.
“Anak pindahan dari Jakarta ya ?”
Sambil tersenyum siswa baru itu menjawab, “Bukan Buk, ‘DKI’ itu kepanjangan dari Daerah Kabun Indah.”
“O..gitu, kirain memang DKI aslinya, silahkan duduk di kursi yang kosong diujung.”
“Iya Buk, terimakasih Buk,” ucap Riendra sambil berjalan.
Namun ternyata dari tadi ada dua anak perempuan yang sedang membicarakan anak baru tersebut. Akhirnya jam belajar Bahasa Inggris pun kembali dilanjutkan Buk Devi kembali. Semua siswa terlihat sangat antusias dengan pelajaran yang sedang berlangsung itu. Namun suara bel terpaksa harus menghentikan jam pelajaran itu untuk lima belas menit ke depannya.
“Ayo cepat Nad, lihat di mading ada puisimu yang di tempel disana,” ucap Nila.
Mereka pun berjalan menuju mading sekolah yang tidak terlalu jauh dari lokalnya.
“Lihat itu ?” telunjuk Nila mengarah puisi disana.
“O..syukurlah sudah ditempelkan di mading Nila, bagus nggak puisinya ?” ucap Nadia dengan semangat.
“Tunggu, dibaca dulu ya Mbak...hehehe.”

Hujan dalam Luka
Hujan ini ingin menyampaikan sesuatu
Aku tahu
Tapi aku pura-pura tak memahami kesedihan
Aku sudah cukup sakit dengan semua ini
Goresan luka itu masih basah dan perih
Oh sial, hujan itu membasuh luka itu lagi
Perih...
Aku sudah tak kuat berhenti
Dapatkah biarkan luka ini kering dulu ?
Biarkan aku berteman bayang-bayangku saja
Jangan lagi kau kirimkan hujan ini
Aku telah membencinya.
                                  By. Nadia (Kelas VII A)

“Gimana Nila ucap Nadia lagi,” dengan tidak sabar menunggu komentar dari sahabatnya.
“MNnnnnn, bagus puisinya Nad. Kapan bikinnya ?” ucap Nila.
“Tiga hari yang lewat Nila, terimakasih ya. Ayo ke kantin yuk ?” ajak Nadia.
Nadia memang suka menulis puisi dan selalu diletakkan di mading sekolah dan bahkan dia sering keluar masuk ke dalam perpustakaan sekolah. Entah sudah berapa puluh buku yang telah khatam dibacanya dan buku yang paling sering dibawanya adalah buku novel dan sudah hafal dia letak buku-buku itu karena sering ke perpustakaan sekolah. Umumnya sudah semua novel di sana dia baca karena kecanduan membaca. Selain itu Nadia adalah salah satu anak yang sangat berbakat, baik di kelas maupun di sekolah itu. Bahkan namanya sudah hafal semua guru dan prestasinya sudah rahasia umum di SMP dan semua anak tahu itu.
Selain suka membaca dan sering juga menulis puisi, entah sudah berapa puisinya yang sudah ditempekan di mading sekolah. Ternyata Nadia satu kelas dengan Riendra anak baru di sekolah itu.
“Ngomong-ngomong, ada puisi baru lagi tuh di mading. Bagus puisimu Nad, belajar dimana ?” ucap Riendra ketika jam istirahat.
“Terimakasih Riend, biasa saja kali. Belajar sendiri tuh Riend ? Memangnya kenapa ?” tanya Nadia.
“Hebat ya, bisa bikit puisi sebagus itu. Nggak apa-apa juga sih.”
Secara diam-diam ternyata Riendra memilik rasa yang tidak berani dia ungkapkan kepada Nadia. Memang sudah beberapa bulan ini dia terus memperhatikan Nadia dan belum berani menyampaikan apa yang benar-benar dirasakannya. Namun Riendra merasa kurang percaya diri dengan dirinya dan takut jika Nadia tidak menerima cintanya. Namun Riendra mencoba memendam rasa itu hingga dia bisa menyampaikan isi hatinya itu kepada wanita idamannya.
“Bagaimana ya mengungkapkan perasaan kita kepada orang yang kita sukai ?” ucapa Riendra.
“Nggak usah malu-malu menyampaikannya kepada wanita itu Riend,” ucap temannya satu asrama.
“Kalau memang kamu suka sama dia, sampaikan apa yang kamu rasakan sebelum disambar orang lain loh,” sambung temannya.
“Iya juga ya Van, besok aku coba menyampaikan itu kepadanya,” dengan tersenyum kecil.
“Bagus itu Riend lebih cepat lebih baik, btw..siapa wanita itu Riend ?” dengan penasaran.
“Wanita itu teman sekelas dan juga pintar Van, jika dibandingkan aku sama dia merasa minder juga Van.”
“Nggak usah dipikirkan diterima atau tidak dulu, yang penting sampaikan apa yang kamu rasakan dan coba dulu. Sebelum dicoba belum tahu kan hasilnya ?” balas Irvan.
“Benar juga saranmu Van, thanks ya ?”
“Ok, main futsal yuk Riend ?”
“Tunggu dibawah ya.”
Irvan dan Riendra adalah teman satu asrama di Panti Asuhan Aisyiyah Sungayang, sejak tinggal disana dia menemukan teman-teman baru dan rumah baru baginya. Walaupun jauh dari orang tua, namun rasa kebersamaan yang mereka bangun setiap hari tidak pernah membuat Irvan merasa sendiri.
Sudah seminggu Riendra masih tidak berani mengungkapkan rasa yang sudah lama dipendamnya. Keberaniannya menjadi cuit seketika melihat perbedaan antara dirinya dan orang yang ditaksirnya itu.
“Sudah jadi disampaikan Riend ?” ucap Irvan sepulang sekolah.
“Masih belum berani aku Van,” jawab Riendra.
“Memang siapa nama wanita itu Riend ?”
“Namanya Nadia Van. Memang kamu kenal dia ?”
“O...dia, sebulan yang lewat kami sempat kenalan sama dia. Ketika itu pas kita pulang sekolah tapi, sampai saat ini belum ada sekalipun bertemu. Baiklah bagaimana besok aku bantuin kamu ?”
“Boleh juga itu Van, makasih Van.”
“Iya,” jawab Irvan singkat.

                                               ***
Pagi itu Nadia sedang berkumpul dengan teman-temannya membicarakan masalah kegiatan yang akan diadakan untuk mengisi penampilan kelas mereka dalam rangka perpisahan kelas IX. Terlihat teman-temannya sangat antusias merencanakan kegiatan mereka di dalam kelas.
“Bagusnya penampilan apa yang akan kita angkat ya Nad ?” ucap Elmida.
“MNnnnn....menurut saya, bagaimana kalau kita menampilkan puisi ?”
“Ide yang bagus itu Nad, namun bagusnya kita kolaborasikan dengan cerita puisi itu. Gimana ?” tambah Lusy.
“Ide yang bagus Sy, bagaimana sekalian jika kita tampilkan peran orang yang mengambarkan sesuai dengan tema yang akan kita tampilkan, namun hanya sebagai ilustrasi dari cerita yang akan diperankan ?” tambah Nila dan Feby.
“Ok, baiklah nanti sepulang sekolah kita lanjutkan diskusinya mengenai cerita yang akan kita angkat serta siapa yang akan terlibat dalam kegiatan tersebut nantinya,” ucap Nadia.
Diskusi kelas itu pun berakhir dan terlihat beberapa siswa kelas itu akan melakukan olahraga di halaman sekolah. Buk Nova sebagai guru olahraga sudah mulai memimpin para siswa untuk melakukan pemanasan sebelum memulai orahraga lainnya. Tanpa terasa waktu berlalu sepulang sekolah Riendra sengaja menunggu Irvan di depan sekolahnya, beberapa menit kemudian Irvan muncul.
“Sudah lama Riend ?” tanya Irvan.
“Belum juga Van, please bantu aku ya Van ?”
“Ok Riend, btw dimana Nadia sekarang ?”
“Masih menunggu jemputan Ayahnya,” sambil menunjuk Nadia.
Namun Riendra terlihat sedikit khawatir karena seorang teman Riendra sudah lama berbicara dengan Nadia di bawah pohon rambutan itu. Entah apa yang dibicarakannya namun terlihat beberapa kali Nadia tersenyum dengan teman Riendra itu. Namun entah bagaimana terlihat seorang laki-laki menuju Nadia dan teman Riendra itu.
“Andi, ada yang perlu kita bicarakan sebentar,” sambil menarik tangan Andi.
“Sebentar ya Nad ?”
Terlihat perbincangan antara Andi dan Angga sedikit menjauh dari Nadia. Namun di lain pihak dua orang laki-laki sedang memperhatikan kejadian yang sedang berlangsung itu.
“Apa kamu suka dengan Nadia Andi ?” ucap Angga dengan nada tidak enak.
“Iya memangnya apa masalahnya denganmu ?”
“Aku juga suka sama Nadia, bagaimana kalau kita besok balapan motor ? jika kamu kalah konsekuensinya jangan lagi dekati Nadia, namun jika aku kalah aku sendiri yang akan menjauhi Nadia. Bagaimana ?”
“Boleh, kuterima tantanganmu,” sambil menetap mata Angga.
Sore itu juga jemputan Nadia sudah datang dan meninggalkan beberapa orang disana. Namun Andi mendekati Riendra dan beberapa temannya di warung dekat sekolah diantaranya Firdaus, Rio dan Adek.
“Riendra besok aku mau belapan dengan anak lokal B,” ucap Andi.
“O...Angga tadi ya Di ?” balas Riendra.
“Iya, dia menantang aku untuk balapan memperebutkan Nadia, jika aku kalah maka aku harus menjauhi Nadia sedangkan jika aku menang maka Angga akan menjauhi Nadia. Besok kamu bantu aku ya Riend ?”
“O...begitu, baiklah.”
Mengetahui teman satu SD dengannya dulu juga menyukai Nadia dan banyak orang-orang yang menyukai Nadia, Riendra semakin minder untuk menyungkapkan perasaannya. Padahal dia sudah tidak sabar menunggu kesempatan itu. Sedangkan dia juga tidak ingin merusak persahabatannya dengan Andi, hanya gara-gara memperebutkan seorang wanita. Akhirnya dia mengurungkan niatnya untuk mengungkapkan rasanya itu kepada Nadia.
Sepulang sekolah terlihat beberapa anak laki-laki mulai berkumpul membagi dua kelompok. Berita persaingan antara Andi dan Angga pun sudah tersebar luas di sekolah mereka, entah siapa yang membocorkan berita itu. Namun Andi sudah siap dengan motornya dan beberapa temannya sudah berkumpul didekatnya. Bahkan Angga juga tidak mau kalah dan sudah siap dengan motornya serta teman-temannya disana.
Namun mereka hari ini memperebutkan Nadia sang bintang sekolah dan terlihat suasana persaingan yang hangat di kedua belah pihak. Terlihat kedua pesaing sudah mengambil tempat disisi kiri dan kanan. Rute yang mereka tempuh adalah MAN 1 Batusangkar-Jorong Empat-Jorong Lima-Simpang Talioguang dan finish.
Tidak mau kehilangan momen Irvan, Habib dan Gustem juga menyaksikan persaingan antara kedua pihak itu. Namun mereka tidak mendukung salah satunya, hanya Riendra yang menjadi pendukung Andi karena teman lama dan juga satu daerah. Akhirnya balapan dimulai dan terlihat Angga memimpin meninggalkan Andi 10 detik dibelakangannya. Namun Andi tidak mau kalah dengan Angga. Hingga melewati rute terakhir Angga masih memimpin, jalanan lurus dan menurun membuat Andi mulai menipiskan jarak ketinggalannya. Namun yang yang tidak disangka-sangka datang.
Sebuah bus berhenti mendadak di simpang empat Talioguang, namun dengan sigap Angga memperlambat laju motornya. Sedangkan Andi terus menggas motor dan menyelip ke bagian sambing bus, akhirnya hanya menyisahkan beberapa meter menjelang garis finish Andi berhasil mendahului Angga.
Akhirnya Andi berhasil mendekati Nadia dan Angga menerima konsekuensi dari kekalahannya. Bahkan Nadia dan Andi sering terlihat berdua dengan Andi, bahkan pulangpun Andi mengantarkan Nadia. Namun Riendra yang melihat kejadian itu harus bisa menahan dirinya agar tidak mengganggu hubungan antara Nadia dan Andi.
Akhir-akhir perpisahan kelas tiga dan setelah lulus semuanya memencar mencari sekolah-sekolah favorit masing-masing. Gustem dan Irvan masuk ke MAN 1 Batusangkar sedangkan Habib, Nadia, Nila, Lusy, Elmida dan beberapa anak lainya masuk ke SMAN 1 Sungayang. Namun Feby memilih untuk melanjutkan ke MAN 2 Batusangkar di Limo Kaum, lain halnya dengan Riendra memilih untuk pergi merantau ke Jakarta. Perbedaan sekolah dan kurangnya komunikasi lagi membuat persahabatan mereka sedikit renggang, hanya teman-teman yang satu sekolahlah yang terus menjalin persahatan.

                                          ***

Beberapa tahun kemudian, terdengar kabar yang memilukan bahwa kakaknya Riendra mengalami kecelakaan maut di Jakarta. Hari itu jasatnya dibawa pulang dan Riendra pun juga pulang untuk memakamkan jasat kakaknya. Malam itu juga Irvan mendapatkan kabar dari kakaknya dan langsung menuju rumah Riendra di Taratak. Selain itu antara Irvan dan kakak Riendra juga satu asrama di Panti Asuhan Aisyiyah Sungayang dulunya.
“Maaf Riend telat datangnya karena baru mendapatkan kabarnya,” ucap Irvan kepada Riendra.
“Nggak apa-apa Van,” terlihat wajah Riendra sedikit pucat.
“Kenapa bisa terjadi begini Riend ?”
“Dia ikut ke Bandung untuk membeli barang-barang toko dan dalam perjalanan kecelakaan pun terjadi, mungkin sudah ajalnya Van,” matanya menerawang mengingat masa-masa bersama sang kakak.
“Saya turut bersedih dengan kejadian ini Riend, semoga kamu tetap sabar menerima semua ini karena selalu ada hikmah dibalik semua kejadian itu,” Irvan mencoba menghibur Riendra.
Beberapa menit Irvan disana dan akan pulang ke rumah, tiba-tiba sana Riendra mengatakan hal yang tidak berhubungan dengan topik pembiracaan di awal mereka.
“O..ya Van, insya Allah jika jadi nantinya akan kuundang kamu dalam pernikahanku dengan Nadia.”

Catt: Cerita ini berkaitan dengan cerbung Desmalina Agustini dengan judul “Nikah Muda.”







0 komentar:

Posting Komentar