Gambar : Batu Angkek-Angkek, Tanjung-Sungayang (Batusangkar).
Siang itu terjadi perbincangan hangat antara sesama Suku Piliang[1]
yang langsung dikepalai oleh seorang datuk dengan nama Datuk Bandaro Kayo.
Seorang kepala Suku Piliang yang sangat dihargai, disegani, dan menjadi panutan
serta tempat bertanya bagi masyarakat setempat tentang suatu keanehan yang
terjadi di desa itu. Perbincangan yang memakan waktu yang cukup lama dan tempat
musyawarah itu penuh sesak dari berbagai warga dari Suku Piliang.
Walaupun musyawarah itu berjalan begitu hangat dan penuh sesak,
namun Datuk Bandaro Kayo sebagai orang yang sangat berpengalaman dan berilmu
tinggi tetap tenang dan santai menghadapi setiap pembicaraan yang disampaikan
peserta musyawarah itu.
“Kita harus secepatnya membangun rumah gadang[2]
kita dan untuk anak cucu kita nantinya, apalagi kita semakin ramai saja. Lihat
tempat anjungan sebagai tempat musyawarah kita sangat kecil untuk kita
mengadakan pertemuan di tempat ini. Bukan begitu Mak, Pak, Datuk, dan para
peserta musyawarah,” ucap Sutan Bana.
“Memang benar apa yang disampaikan Sutan Bana itu, ruang gerak kita
sangat terbatas dengan kondisi kita yang ramai ini dengan ruangan pertemuan
yang juga kecil. Alangkah baiknya di atas ruangan musyawarah ini kita bangun
bersama-sama sebuah rumah gadang yang akan mampu menampung kita semua
dan untuk menetap ‘kok hujan tampek bataduah, kok paneh tampek balinduang[3]’
bagi anak dan cucu-cucu kita kelak,” sambung Mamak Dulang.
Semua yang hadir pada hari itu juga ikut mengangguk tanda setuju
dengan pendapat Sutan Bana dan Mamak Dulang itu. Musyawarah itu berjalan lancar
dan tidak ada yang bersikeras mempertahankan pendapatnya sendiri dan bahkan
mereka saling memberikan penguatan kepada pendapat yang mereka disampaikan para
pemuka mereka.
“Ibarat pepatah ‘bulek aie dek pambuluah, bulek kato dek mufakat’[4]
jadi tiga hari lagi di atas tempat ini kita akan membangun rumah gadang
untuk anak-anak dan cucu-cucu kita nantinya sebagai penerus keturunan Datuak Bandaro
Kayo sekaligus sebagai tempat bermusyawarah bersama. Setuju semuanya yang hadir
di sini ?” ucap Datuak Bandaro Kayo.
“Setujuuuuuuu,” ucap semua yang hadir dalam musyawarah itu.
Suara alunan
lembut azan shalat asyar membahana melalui udara dan sampai kepada
gendang-gendang telinga yang hadir dalam musyawarah itu. Musyawarah itu pun
selesai dan setiap yang hadir sudah beralih menuju surau yang tidak jauh dari
tempat musyawarah itu. Sebuah surau Sonsam di pinggiran sungai yang memisahkan
nagari itu menjadi dua jorong yaitu Jorong Balai Bungo di sebelah arah Nagari
Andaleh Baruhbukit. Sedangkan Jorong Balai Tabuh di sebelah ke arah Nagari
Sungayang. Sedangkan nama nagari ini adalah Nagari Tanjung yang konon katanya diberi
nama Nagari Tanjung karena bentuk nagari ini tidak jauh berbeda dengan tanjung
yang ada di pinggiran lautan yang menjorok ke lautan.
Begitu juga dengan
Nagari Tanjung ini, jika dilihat dari daerah perbukitan menuju Nagari Andaleh
Baruhbukit dan akan terlihat nagari ini bagaikan daratan yang menjorok ke
lautan lepas. Namun kata orang-orang tua kita dulu bahwa daratan ini dulunya
terisi air persis seperti tanjung. Begitulah asal muasal nagari ini diberikan
nama Nagari Tanjung. Pernah dengar kata nenek monyang kita dulu dengan istilah’sajak
Gunung Marapi sagadang taluih Itiek’.[5]
Di pinggiran surau Sonsam ini adanya pertemuan dua buah air sungai
yang satu dari Pegunungan Merapi sendiri dan yang satu dari Ngalau Soda yang
juga menjadi tempat wisata yang sangat indah. Alunan lembut suara azan membuat
setiap aktivitas manusia dihentikan dan menuju rumah Allah Swt. Tidak jarang
surau yang sudah berusia seumuran para pendahulu atau kakek-nenek itu sekarang
sepi. Malahan setiap waktu shalat lima waktu selalu penuh, baik dari kalangan
laki-laki maupun perempuan.
Selesai shalat mereka melanjutkan aktivitas kembali ada yang
membersihkan rumah, ada yang mencuci, ada juga yang ke sawah dan ladang. Bahkan
surau bukan hanya sebagai tempat mengaji dan shalat berjamaah saja, namun juga
sebagai tempat menuntut ilmu. Apalagi kaum laki-laki diwajibkan sekali untuk
tidur di surau dan belajar belah diri seperti pencak silat pada malam harinya.
Pagi itu sudah ramai masyarakat yang datang terutama sekali Suku
Piliang yang akan membangun anjungan baru dan jauh berbeda dengan bentuk
awalnya untuk tempat musyawarah. Anjungan yang lama yang sempit dan kecil tidak
memungkinkan untuk terus mengadakan musyawarah dengan kondisi yang sempit dan
bersesakkan terus menerus. Apalagi anak-anak dan cucu-cucu mereka terus
bertambah dan juga akan menjadi dewasa juga. Bahwa anak-anak, cucu-cucu itu lah
yang kelak akan mengantikan yang sudah berumur dan di penghujung usianya itu.
“Kemana juga lah Sutan mudar-mutar juga dari tadi, jalan ke sana,
jalan ke sini. Tidakkah Sutan pusing begitu terus ?” sapa Bujang kepada Sutan
Bana.
“Begini Jang, saya dari tadi sedang mencari Mak Dulang ke rumahnya
untuk membahas tentang bahan-bahan yang akan digunakan untuk membuat rumah
gadang nanti. Namun saya tidak melihatnya di rumah begitu juga di sini, kemana
kira-kira Mak Dulang itu Jang ?” ucap Sutan Bana.
“Jadi itu gerangan Sutan mutar-balik dari tadi, sebelum ke sini
saya melihat Mak Dulang singgah ke rumah Datuk Bandaro Kayo mungkin beliau
masih di sana,” jawab Bujang.
“Terima kasih atas informasinya Jang. saya berangkat dulu,” sambil
meninggalan Bujang dengan yang lainnya.
“Sama-sama Sutan.”
***
“Untuk membangun rumah gadang yang memakan waktu yang cukup
lama dalam pembangunannya tentu juga agar tidak dimakan ulat kayu nantinya. Jika
sudah dimakan ulat kayu maka tentu rumah gadang itu tidak akan kokoh dan
hanya bisa digunakan untuk jangka waktu setahun sampai dua tahun saja, akan
tetapi jika tidak ada ulat kayu maka rumah gadang itu akan kokoh
walaupun telah puluhan tahun,” menjelaskan Datuk Bandaro Kayo.
“Banar Datuk, justru itu maksud dari kedatangan saya menemui Datuk pagi
ini karena segala sesuatu harus ada rencana yang jauh ke depan untuk membangun
rumah Suku Piliang ini dan menjadi simbol untuk keturunan kita nantinya. Saya
sudah menduga kecerdasan Datuk bahwa ‘alun takilek la takalam, ikan di aie
maleok-leok ala tahu jantan jo tinonya’[6]
kapan akan Datuk sampaikan kepada masyarakat rencana tersebut ?” ucap Mamak
Dulang.
“Ayo kita susul yang lain di depan anjungan yang sudah lama menunggu
kita, disanalah tempat yang cocok untuk menyampaikannya,” jawab Datuk Bandaro
Kayo sambil berdiri.
Mereka pun berangkat bersama menuju anjungan lama yang tidak jauh
dari rumah Datuk Bandaro Kayo. Sebelum meninggalkan rumah mereka bertemu dengan
Sutan Bana di depan pagar dan dengan tersenyum Datuk Bandaro Kayo sudah menebak
apa yang akan ingin disampaikan olehnya. Belum dapat berkata apa-apa Sutan Bana
sudah tahu jawaban dari pertanyaan yang akan disampaikan kepada Datuk Bandaro
Kayo dengan senyumannya serta mengikuti Datuak Bandaro Kayo dan Mamak Dulang
dari belakang.
Hanya berjalan beberapa menit saja mereka sudah sampai di depan
anjungan dan terlihat masyarakat yang lain sudah berdatangan dengan peralatan
masing-masing. Ada yang membawa parang ada yang membawa kapak ada yang membawa
sabit dan membawa tali yang akan digunakan nantinya. Pemuka kaum Suku Piliang
pun berdiri di depan anjungan dan tanpa aba-aba masyarakat yang lain pun
berkumpul di depan Datuk Bandaro Kayo untuk mendengarkan informasi yang akan
disampaikan.
“Assalamu ‘alaikum warah matullahi wabarokatu, sebelum kita
mengerjakan pekerjaan pembangunan rumah gadang akan lebih baiknya kita
mengusun rencana ke depannya. Nanti kita kaum laki-laki akan pergi ke Bukit
Kayu Sabatang untuk mengambil tiang rumah gadang beberapa buah ke sana
dan yang lain persiapkan serta bersihkan lokasi ini untuk membangun rumah gadang
di atas tanah yang kita injak ini. Serta sebagian yang ikut nantinya beberapa
orang akan ditugaskan untuk mengambil bambu dan ijuk sebagai atap rumah gadang,”
ucap Datuk Bandaro Kayo.
Semua mengangguk setuju dengan penjelasan pimpinan mereka ‘didahulukan
selangkah dan ditinggikan serantiang’[7]
begitulah mereka menghargai pemimpin mereka. Walaupun ada yang berumur jauh
lebih tua daripada Datuk Bandaro Kayo namun karena mereka sudah mempercayakan
tampuk kepemimpinan kepada Datuk Bandaro Kayo maka secara otomatis mereka harus
menghargai setiap keputusan pemimpin mereka.
Kegiatan persiapan pembangunan rumah gadang pun berjalan
lancar dan tanpa kendala sedikit pun. Anjungan yang lama pun sudah dibuka dan
dibersihkan sisa-sisanya untuk bangunan rumah gadang dengan ukuran 15 X 7
pun sudah terlihat bersih. Namun kaum laki-laki dengan gotong royong sudah
membawa kayu raksasa sebagai tiang yang akan dijadikan rumah gadang pun
sudah mulai diletakan di dalam air serta papan-papan sebagai lantainya di
rendam di dalam air untuk waktu seminggu sampai dua minggu. Hingga nantinya
kayu yang di rendam itu akan kokoh untuk waktu yang panjang dan tahan terhadap
ulat kayu. Jarak lokasi pembangunan rumah gadang dengan pengambilan
tiang sangat jauh sekitar 7 km berjalan. Namun karena diangkat dengan gotong
royong kayu yang ukuran raksasa itu tidak terasa beratnya.
Proses pembangunan rumah gadang itu sudah mulai terlihat, beberapa
kaum laki-laki sudah mulai mengali lobang pertama untuk tiang rumah gadang.
Bahkan mereka pun semuanya bekerja secara gotong royong dan tidak ada yang tidak
bekerja. Akan tetapi baru beberapa meter lobang pertama itu digali ada getaran
yang hebat menguncang bagaikan gempa lokal di tempat pembangunan rumah gadang
itu. Semua orang merasa khawatir dengan kejadian itu dan akhirnya kegiatan
pembangunan rumah gadang pun ditunda untuk sementara waktu.
Namun sudah beberapa menit menunggu sampai beberapa jam gempa lokal
itu terus ada. Walaupun sebentar gempa dan berhenti, namun seperti itu terus
terjadi dan hanya di lokasi pembangunan rumah gadang itu serta ditambah
dengan hujan panas hingga berlanjut sampai 14 hari 14 malam. Datuk Bandaro Kayo
pun berpikir keras apa yang sebenarnya yang salah dan apa yang sebenarnya yang
sudah terjadi. Hingga akhirnya Datuk Bandaro Kayo memutuskan untuk mengadakan musyawarah
kembali tentang kelanjutan proses pembangunan rumah gadang tersebut.
Maka siang itu diadakan kembali musyawarah membahas kejadian aneh
yang menimpah proses pembangunan rumah gadang itu. Semua toko dan pemuka
adat pun berdatangan membahas kendala yang mereka hadapi serta kejadian aneh
tersebut. Musyawarah itu tidak terlalu jauh dari lokasi pembangunan namun di
sekitar lokasi pembangunan getaran gempa lokal dan hujan panas terus
berlangsung dan sebentar berhenti serta beberapa menit akan ada kembali begitu
selama 14 hari 14 malam.
“Bagaimana proses selanjutnya Datuk ? Apa yang sebenarnya yang
terjadi ? Kami merasa khawatir apakah proses pembangunan rumah gadang
ini merupakan ujian dari yang Maha Kuasa kepada kaum kita dan apakah kita
melanggar larangan-Nya ?” ucap salah seorang toko masyarakat.
“Iya Datuk, hujan panas serta gempa itu sangat aneh dan hanya
terjadi di sekitar pembangunan rumah tersebut sedangkan tidak dengan daerah
lain,” tambah toko masyarakat lainnya.
Belum sempat Datuk Bandaro Kayo menjawab pertanyaan itu, semua yang
hadir itu terdiam sesaat dan akan mendengarkan jawaban dari Datuk Bandaro Kayo
menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Namun tiba-tiba suara aneh atau suara
gaib terdengar keluar dari pemancangan tiang pertama itu. Semua yang mendengarkan
suara itu menjadi terkejut dan merinding ketakutan jika terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan nantinya.
“Sebenarnya di dalam tiang pemancangan pertama ini ada sepasang
batu jagalah dan rawatlah batu itu dengan baik.”
Beberapa saat suara gaib itu hilang dan semua yang mendengar
merinding bulu kuduknya dengan kejadian yang barusan mereka dengar. Suara siapa
itu sebenarnya dan batu apa yang dia maksud itu ? Semua yang hadir merasa khawatir
dan cemas dengan suara gaib itu. Namun dengan bijaksana Datuk Bandaro Kayo menepis
semua rasa kekhawatiran dan rasa cemas masyarakat dengan berdiri dan berbicara
di depan mereka.
“Suara yang barusan kita dengar berkaitan dengan mimpi saya
belakangan ini. Sudah tiga kali saya bermimpi yang sama dan awalnya saya
mengira itu hanya biasa-biasa saja. Namun sudah tiga kali mimpi itu datang,
tidak mungkin mimpi itu sebagai bunga tidur lagi. Mimpi itu jusru petunjuk yang
diberikan Allah Swt kepada kita dalam menyelesaikan proses pembagunan rumah gadang.
Sebenarnya saya bermimpi didatangi oleh seorang yang mengaku bernama Syech
Ahmad dan saya tidak tahu asal muasalnya namun sepertinya dialah pemilik batu
yang dia maksud itu dan suara gaib tadi saya yakin itu adalah suara Syech Ahmad
itu. Beliau memerintahkan saya untuk membuat perkampungan di atas pembangunan
rumah gadang itu. Namun perkampungan itu hanya terdiri dari empat rumah
yaitu satu rumah gadang yang akan kita bangun itu dan samping kiri dan
kanan rumah gadang yang sudah ada serta satu lagi rumah dibelakang rumah
gadang itu sendiri. Kampung itu disuruh beliau memberi nama dengan nama
Kampung Palangan,” menjelaskan Datuk Bandaro Kayo.
“Jadi apa yang akan kita lakukan selanjutnya Datuk ?” ucap Sutan
Bana.
“Kalau menurut saya, hal yang harus kita lakukan adalah kembali
mengali lobang pemancangan pertama dan menemukan batu yang dimaksud Syech Ahmad
itu, bagaimana menurut Datuk Bandaro Kayo selaku kepala kaum Suku Piliang ?”
ucap Mamak Dulang.
“Saya setuju dengan apa yang disampaikan Mamak Dulang tersebut.
Kita harus menemukan batu yang dimaksud itu dan sesuai pesannya kita harus
menjaga batu itu dengan baik,” ucap Datuk Bandaro Kayo.
Musyawarah itu selesai dan semua yang hadir menyaksikan proses
pengalian lobang pemancang itu. Dua pemuda sudah turun ke bawah dan memengang
peralatan ditangannya untuk mengali tanah. Datuk Bandaro Kayo dan Mamak Dulang
menyaksikan kedua orang itu mengali tanah dari atas. Hanya beberapa meter
mengali tanah itu seorang pengali itu melihat batu aneh berwarna emas di dalam
tanah. Hanya sedikit bagian batu itu yang terlihat karena bagian atasnya saja
yang baru terlihat.
“Hati-hati mengambil batu itu Hadi dan galilah sedikit demi sedikit
disekeliling batu itu,” ucap Datuk Bandaro Kayo.
Hadi seorang pengali itu pun sangat hati-hati mengali batu yang
dimaksud itu dengan sedikit demi sedikit batu itu mulai terlihat dan akhirnya
Hadi dan seorang pengali lagi mengangkat batu itu dengan hati-hati keluar dari
tanah itu dan diletakkan di atas sebuah kain yang sudah siapkan Datuk Bandaro
Kayo. Namun ternyata batu yang sudah diangkat tadi mengisahkan satu bagian lagi
yang tertinggal di dalam tanah itu. Namun batu yang tersisa itu belum terlihat
ada kilatan emasnya karena batu itu juga sama dengan batu yang sudah diangkat
sebalumnya yaitu bagian bawahnya berwarna emas dan bagian atasnya terlihat seperti
batu-batu biasa.
“Coba gali lagi dengan hati-hati batu satunya lagi Hadi,” ucap
Datuk Bandaro Kayo kembali.
Pengali itu melaksanakan apa yang diperintahkan Datuk Bandaro Kayo
dan mengali tanah itu dengan hati-hati sekali. Namun semakin digali batu yang
satu itu tidak kunjung bisa sepenuhnya terlihat dan seolah-olah batu itu terus
masuk ke dalam tanah. Sudah lama mengali dan tidak bisa diambil juga.
“Ya sudah biarkan saja batu yang satu itu dan mungkin hanya satu
batu itu yang bisa kita angkat keluar dari tanah dan tidak untuk batu yang
satunya lagi. Ayo bantu Hadi dan yang lain untuk keluar dari dalam,” perintah
Datuk Bandaro Kayo kepada yang lain.
Akhirnya setelah pengambilan batu yang diperintahkan Syech Ahmad
itu maka hujan panas dan gempa lokal pun berhenti seketika. Tidak ada lagi
gempa lokal dan tidak ada lagi hujan panas di sekitar pembangunan rumah gadang
itu. Untuk sementara waktu batu yang berwarna emas itu disimpan di rumah Datuk
Bandaro Kayo sampai rumah gadang itu selesai.
Beberapa minggu setelah itu rumah gadang yang direncanakan
di awal sudah selesai dan terlihat sangat indah. Anjungan yang kecil dan sempit
yang dulu berdiri sebelum rumah gadang itu ada telah berubah menjadi
rumah gadang yang dapat memuat semua masyarakat Suku Piliang untuk
musyawarah tentang berbagai hal. Musyawarah pada kali membahas tentang
kelanjutan Batu Ujian yang mereka temukan di tiang pemancangan pertama itu.
Musyawarah itu seperti biasa selalu ramai yang hadir termasuk para petinggi
adat dan agama. Namun musyawarah kali ini tidak seperti sebelumnya yang
berdesak-desakan. Lain halnya sekarang ini ruangan musyawarah yang luas dan
semua yang hadir dapat duduk dengan tenang di sana ‘bagaikan ikan di dalam
air’.[8]
Batu yang dulu mereka temukan diberi nama Batu Ujian dengan alasan bahwa batu
itu akan mendatangkan musibah dan bencana pada awal pembangunan rumah gadang,
namun justru batu itu sebagai sesuatu yang baik.
“Musyawarah kita pada kesempatan kali ini akan membahas tentang Batu
Ujian yang kita temukan, dimana tempat yang sesuai kita simpan dan siapa yang
akan merawat batu tersebut. Serta rumah gadang yang kita bangun bersama
sudah bisa kita nikmati pada saat sekarang ini,” ucap Datuk Bandaro Kayo.
“Kami sebagai Mamak bagi kemenakan-kemenakan yang hadir di rumah gadang
ini tentu mengucapkan ribuan terima kasih kepada kita bersama untuk telah
bekerja sama membangun rumah gadang ini sampai selesai, amalan yang baik
yang kita lakukan di atas dunia ini akan dibalas oleh Allah Swt dengan berlipat
ganda hendaknya. Amien ya robbal ‘alamin. Sebagaimana kata Datuk tadi,
alangkah baiknya jika Batu Ujian itu disimpan dan dirawat sendiri oleh keturuan
Datuk karena Datuk lah kepala Suku Piliang disini. ‘kok pai tampek batanyo, kok pulang tampek
babarito’[9]
bagi kami semua, bagaimana dengan kita yang hadir disini semua ?” ucap Mamak
Dulang kepada masyarakat yang hadir.
“Kami setuju dengan usulan Mamak Dulang tadi,” ucap semua orang
serentak.
“Baiklah kalau sudah sepakat semuanya Batu Ujian itu akan disimpan
dan dirawat di rumah ini maka saya sebagai keturunan pertama Datuk Bandaro Kayo
dan untuk generasi keturunan selanjutnya Batu Ujian ini akan terus berada
disini dan kita semua bebas melihat Batu Ujian itu kapan saja yang kita mau.
Dua hari yang lewat saya bermimpi bertemu dengan suara gaib beberapa minggu
yang lalu. Beliau menyampaikan kepada saya bahwa Batu Ujian yang kita dapatkan
itu adalah yang laki-lakinya sedangkan batu ujian yang tidak bisa kita ambil waktu
itu adalah yang perempuannya. Selain itu Batu Ujian yang kita temukan itu
sangat aneh pada bagian atasnya sama dengan batu yang lain warnanya, namun dibagian
tengahnya berlobang bagaikan pusar-pusarnya. Sedangkan pada bagian bawah batu
berwarna emas dengan tulisan Allah dan Muhammad tertulis di samping kanan dan
kirinya,” menjelaskan Datuk Bandaro Kayo.
Batu Ujian yang berbentuk bulat lonjong itu masih ada di Perkampungan
Palangan dengan rumah gadang sebagai rumah utama dan rumah kiri dan
kanan rumah gadang serta di depan rumah gadang itu bernama Desa
Balai Tabuh sedangkan dua buah rumah belakangnya sudah menjadi Desa Tapi Selo.
Semua yang hadir terkejut dengan batu aneh itu dan ternyata batu
yang aneh itu sudah dibawa dan dilihatkan oleh Datuk Bandaro Kayo kepada yang
hadir pada hari itu. Bahkan Datuk Bandaro Kayo juga menjelaskan batu yang berukuran
seperti batu untuk menumbuk cabe bagi kaum ibu-ibu itu memiliki berat yang
berbeda-beda setiap mengangkat Batu Ujian itu. Datuk Bandaro Kayo juga
menjelaskan bahwa Batu Ujian itu bagaikan mengetahui niat orang yang
mengangkatnya seperti jika seseorang meniatkan akan naik haji pada tahun ini dan
jika dia mengangkat batu itu. Jika dia berhasil mengangkat Batu Ujian itu ke
atas kedua pahanya sambil duduk bersimpuh maka dia memang diberikan Allah Swt kesempatan
untuk menunaikannya dan jika tidak bisa berarti orang tersebut tidak mampu
menunaikan ibadah haji pada tahun itu. Begitulah seterusnya untuk niat dan
cita-cita yang akan kita capai, tapi Datuk Bandaro Kayo menjelaskan juga bahwa
batu ujian itu sama seperti kita yang ciptakan oleh Allah Swt dan bukan tempat
memohon yang beratnya berubah-ubah sesuai dengan niat orang yang mengangkatnya.
***
Sampai beberapa tahun kemudianpun Batu Ujian itu masih berada di
rumah gadang itu dan keturunan Datuk Bandaro Kayo juga masih merawat dan
menjaga batu itu. Bahkan batu itu menjadi pusat perhatian dan dipercaya akan
mampu melihat masa depan seseorang kabarnya. Bahkan orang-orang lokal pun
sering berdatangan dan mencoba mengangkat batu itu. Secara tidak langsung
memberikan rezeki dan setiap pengunjung memberikan sedekah untuk yang menjaga
serta merawat Batu Ujian itu sebagai rasa terima kasih dan biaya perawatan bagi
yang menjaga dan memelihara Batu Ujian itu.
Akhirnya Batu Ujian itu berubah nama menjadi Batu Pandapatan karena
mendatangkan rezeki dan memberikan pendapatan secara tidak langsung kepada si
penjaga dan sekaligus merawat batu itu. Namun Batu Padapatan itu belum begitu
dikenal orang dan hanya orang-orang sekitar saja yang berdatangan dan melihat
batu itu.
Bahkan sampai sekitar 500 tahun kemudian, Batu Pandapatan itu sudah
berubah nama menjadi Batu Angkek-Angkek dan sudah diketahui publik. Baik dari
daerah Tanah Datar sendiri maupun daerah lain seperti Payakumbuh, Bukittinggi,
Jambi, Solok, Pekan Baru, Jawa, Madura, Surabaya, Jakarta dan masih banyak lagi.
Bahkan negara manapun ikut berdatangan melihat dan mencoba mengangkat Batu
Angkek-Angkek itu seperti : Singapura, Malaysia, Amerika Serikat, Jepang, Saudi
Arabia dan masih banyak lagi. Karena batu itu sering dikunjungi orang-orang
baik lokal maupun manca negara sekalipun dan sering diangkat-angkat orang untuk
mengabulkan ataupun meramalkan masa depannya. Maka batu itu disebut dengan Batu
Angkek-Angkek.
Batu angkek-angkek yang kita ketahui sekarang itu kira-kira ada
pada tahun 1497 atau kira-kira pada abab ke-14. Bahkan sekarang ini adalah
keturuan ke-7 Datuk Bandaro Kayo menempati rumah gadang itu sekaligus
menjaga dan merawat Batu Angkek-Angkek itu sampai saat ini. Sekitar 11 KM dari
Kota Batusangkar yang terletak di Nagari Tanjung, Kecamatan Sungayang, Kabupaten
Tanah Datar-Sumatra Barat.
Pada tahun 1986 Batu Angkek-Angkek resmi dijadikan sebagai tempat
wisata dan dikenal oleh berbagai belahan dunia. Sedangkan pada tahun 2000 Batu
Angkek-Angkek itu dialihkan pengendalian dan pemiliknya kepada Pemda setempat.
Akan tetapi keturunan Datuk Bandaro Kayo masih ikut menjaga batu itu sampai
saat ini. Walaupun Datuk Bandaro Kayo keturunan ke-13 sudah meninggal pada
tahun 2005 akan tetapi sampai saat ini belum ada penganti Datuk Bandaro Kayo untuk
meneruskannya. Walaupun ada anak dan cucunya namun dikhawatirkan akan terjadi
perselisihan dan perebutan Batu Angkek-Angkek itu untuk masa mendatang.
Sekarang batu itu berada dalam rumah gadang dengan ditutupi
kelambu atau tirai kain. Sedangkan untuk orang yang ingin mencoba mengangkat
batu itu diwajibkan untuk berwudhu’ dan harus mengikuti tata cara yang sudah
diletakkan sebelum melangkah ke dalam kelambu atau tirai tempat Batu
Angkek-Angkek itu barada.
NB: Cerpen ini sedang
mengikuti Lomba Penulisan Cerita Rakyat Tahun 2015
alamat:
Direktorat Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya, Kompleks Kemdikbud Gedung
E Lantai 10. Jl. Jenderal Sudirman, Senayan, Jakarta PusatTelpon: (021)
5725047/5725564.
[1] Suku Piliang :
Salah satu suku di Minangkabau.
[2] Rumah Gadang :
Rumah tradisional daerah Minangkabau.
[3] Kok hujan
tampek bataduah, kok paneh tampek balinduang : Kalau hujan tempat berteduh,
kalau panas tempat berlindung, (Pepatah-petitih Minangkabau)
[4] Bulek aie
dek pambuluah, bulek kato dek mufakat : Bulat air karena bambu, bulat pembicaraan
karena musyawarah, (Pepatah-petitih Minangkabau).
[5] Sajak Gunung
Marapi sagadang taluih Itiek : Sejak Gunung Merapi sebesar telur Itik, (Pepatah-petitih
Minangkabau).
[6] Alun takilek
la takalam, ikan di aie maleok-leok ala tahu jantan jo tinonya: belum jelas
bendanya sudah tahu semuanya, (Pepatah-petitih Minangkabau).
[7] Didahulukan
selangkah dan ditinggikan serantiang:Pemimpin yang di hormati dan dihargai,
(Pepatah-petitih Minangkabau).
[9] Kok pai
tampek batanyo, kok pulang tempek babarito: Kalau pergi tempat bertanya,
kalau pulang tempat memberi berita, (Pepatah-petitih Minangkabau).
0 komentar:
Posting Komentar