Gambar: Coverd CAIM. |
“Sudah berapa hari
ini saya perhatikan tingkahmu, sedikit berubah dari biasanya. Apa yang sedang
kau pikirkan anakku ?” tanya seorang Ibu.
Beberapa detik
tidak ada jawaban dari anaknya, namun sekilas wajah orang tuanya sangat kasihan
dengan tingkah anaknya itu yang tidak seperti biasanya.
“Aku tidak apa-apa
kok Bu, hanya sedikit terbebani dengan beberapa permasalahan di kantor serta
dengan klain,” jawab anaknya sedikit mengeles.
“Ibu harap kau
tidak terlalu berlama-lama dengan masalahmu itu,” sambil berlalu.
Padahal Seorang
Ibu tahu apa yang sedang dialami oleh anaknya itu, walaupun hanya ungkapan
menghibur yang dapat diberikan oleh seorang Ibu.
Malam itu mata
Roger tidak bisa tertidur sedikitpun, walaupun sudah berkali-kali dia mencoba
memejamkan matanya. Namun lamunannya terus membawanya pada kisah-kisah yang
memilukan hatinya beberapa tahun lalu. Sekilas bayangan itu begitu sulit untuk
dilupakan, bayangan ketika dia menjalani hubungan sebagai sepasang kekasih
dengan seorang gadis yang sangat cantik dan seksi.
Ketika hubungannya
berjalan beberapa bulan dan sedikit demi sedikit tingkah laku kekasihnya itu
semakin terlihat. Memang Roger adalah seorang wirausahawan yang terkenal dan
kaya raya. Namun tidak lepas dari hasil jerih payah orang tuanya yang membangun
perusahaannya menjadi lebih eksis dikalangan siapa saja. Bahkan nama perusahaan
itu sudah menjadi rahasia umum dikalangan siapa saja dan profesi apa mereka.
Selain itu setiap tahun perusahaan itu sering menerjunkan karyawan-karyawannya
untuk melihat hasil kinerja perusahaannya dengan data-data dari klain-klainnya
langsung, memuaskan ataukah tidak.
Lahir dari
keturunan berdarah biru juga menjadikan Roger seorang wirausahawan muda yang
sukses dan dikenal kalangan publik. Bahkan tidak sedikit gadis-gadis yang jatuh
hati kepadanya, selain ketampanan yang dimilikinya juga memiliki harta dan
kekayaan yang sangat banyak. Siapa yang tidak tertarik dengan orang seperti
itu, bahkan telah banyak Roger memiliki kekasih mulai dari yang putih, seksi
dan sampai keturunan orang berada sekalipun. Namun entah kenapa hatinya selalu
menolak untuk menjalankan hubungan itu lebih jauh.
Bahkan dari
beberapa mantannya itu, tidak jarang yang hanya menginginkan hartanya saja
ketimbang hal fisik yang dimiliki Roger. Semakin hari Roger semakin mengerti
dengan hal itu dan memutuskan semua hubungan yang tidak tentu itu. Sudah
beberapa banyak panggilan masuk ke nomor dan ribuan pesan telah menumpuk di
ponselnya. Namun tidak sedetikpun dia menghabiskan waktunya untuk mengalihkan
perhatiannya pada ponselnya itu. Hanya lamunan yang tidak berkesudahan yang
terus ditatapnya dan pikirannya melayang entah kemana.
Ternayata Roger
memang sudah bosan dengan gaya hidup yang diberikan oleh orang tuanya, hingga
dia tidak bisa bebas memilih kehidupan yang sesuai dengannya. Hidup dibawah
tekanan dan pilihan orang tua serta tidak pernah diberikan kesempatan untuk
berpendapat membuatnya untuk merontak kepada orang tuanya. Namun sudah bebepa
kali dia menginginkan untuk mencoba membuka usaha lain dan orang tuanya tidak
pernah memberikan izin kepadanya.
Malam itu juga
Roger mempersiapkan semua pakaiannya dan yang lainnya untuk pergi diam-diam
dari rumah. Tekapnya sudah bulat untuk mencari kehidupannya sendiri dan entah
apa yang terjadi dalam pilihannya itu, akan tetap dia jalankan tanpa harus
mengadu kepada orang tuanya. Pergi dengan modal tekat bulat dan uang seadanya,
kebetulan malam itu orang tuanya sudah tidur pulas di kamarnya. Dengan sedikit
was-was Roger berjalan meninggalkan rumah mewahnya dan berjalan kaki mencari
bus di terminal. Namun Roger tidak tahu kemana dia harus berjalan dan malam itu
hanya ada satu bus yang tersisa di terminal.
Takut ketahuan
dengan orang lain, Roger sengaja menyamar dengan rambut palsu dan kumis palsu
yang dipakainya. Menuju bus yang sedikit penuh, namun Roger awalnya tidak tahu
bus itu mau kemana tujuannya. Hanya berjalan menjauhi rumah itulah awal dari
langkahnya untuk pergi terlebih dahulu.
Hal yang tidak pernah
dia lakukan sebelumnya sebelumnya dan ini adalah pilihan hatinya untuk mencoba
mencari cinta sejatinya. Roger sudah bosan dengan gaya hidupnya yang lama dan
tidak tahu tujuan yang harus dicapainya. Meskipun ini awal dari perjalanannya
mencari jati dirinya namun tidak sedikitpun ada penyelesalan dalam dirinya.
Beberapa jam Roger
tertidur dalam perjalanan malam itu.
“Mas, sudah
sampai,” ucap knek bus tersebut.
“O...Maaf saya
ketiduran, terimakasih,” balas Roger.
Dengan mata yang
masih berkunang-kunang Roger berjalan keluar dari bus dan masih ragu harus
menuju kemana. Namun pandangan matanya terpaku dengan sebuah halte yang tidak
terlalu jauh dari terminal itu. Rintik-rintik air hujan membasaha tubuhnya,
dengan setengah berlari dia menuju halte tersebut.
“Sudah pukul 03.15
ya,” bisiknya dalam hati sambil melihat jam tangannya.
Roger duduk sambil
mengandarkan tubuhnya ke dinding halte, hembusan angin malam mengingit kulitnya
hingga dia gemetaran menahan rasa dingin. Beberapa menit berlalu dia sudah
pulas tertidur dengan berselimutkan udara malam.
“Allahu
akbar...Allahu akbar,” suara azan subuh bergemuruh.
Sedikit demi sedikit mata Roger mulai terbuka dan merasa
sudah lama tidak melakukan shalat lagi. Memang dia terlahir dari keturunan
Islam namun orang tuanya bisa dibilang tidak pernah menyuruhnya untuk melakukan
shalat dan hal lainnya. Orang tuanya terlalu sibuk dengan urusan dunia dan
menghiraukan bekalnya di akhirat nanti. Hal itu menurun kepada anaknya dan pintu
hidayah itu belum pernah dia dapatkn. Namun entah mengapa, hatinya begitu rindu
untuk melangkahkan ke mesjid dan melaksanakan shalat berjamaah.
Roger pun berjalan
membelah dinginnya subuh dan menapaki kakinya satu demi satu hingga sampai di
depan mesjid. Hatinya mulai terasa tenang dan tentram berada disana. Setelah
mengambil wudhu’ dan mulai melangkahkan kakinya ke dalam mesjid batin semakin
damai dan tentram. Namun entah kenapa pandangannya tertuju pada seorang ustadz
dengan mengunakan pakaian serba putih tersenyum ramah dengan wajah bersinar
kepadanya. Roger pun membalas senyuman dan anggukan kecil ke arah ustadz itu
namun rasa penasaran terus saja muncul dalam benaknya. Kenapa ustadz ini
berbeda dengan orang-orang yang lainnya ? Pikirnya dalam hati. Namun dia tidak
ambil pusing lagi saat suara iqomah dikumandangkan.
Beberapa menit
shalat subuh dan bermunahajah dengan Sang Pencipta, akhirnya Roger beristirahat
di beranda mesjid itu. Namun pikirannya masih bingung mau kemana tujuannya saat
ini.
Tiba-tiba datang
suara telapak kaki mendekatinya.
“Assalamu
alaikum, Siapa namumu anak muda ?” sapa seorang Bapak tua.
Sedikit terkejut
Roger memalingkan tubuhnya dan masih belum menjawabnya.
“Wa...wa’alaikum
salam, nama saya Roger,” dengan sedikit gugup.
“Maaf menganggu
istirahatnya Nak Roger, kelihatannya Nak Roger sedang kebingungan nampaknya.
Bolehkah saya tahu ? Mungkin saya bisa membantu Nak Roger nantinya,” Balas
Bapak tua itu.
“Tidak apa-apa
Pak, saya hanya bingung mau kemana ?” jawabnya dengan jujur.
“O...jadi begitu,
kalau boleh tahu Nak Roger dari mana ?”
“Saya dari Jakarta
Pak.”
“Ayo ikut saya
saja dulu Nak Roger sambil minum teh dan kita bicarakan nantinya,” ajak Bapak
tua itu.
“Boleh Pak, maaf
merepotkan Bapak ?”
“Tidak merepotkan
juga kok Nak Roger, sebagai sesama umat muslim kita memang diwajibkan saling
tolong menolong,” jawabnya sambil tersenyum.
Hanya anggukan
kecil yang dapat dilakukan Roger dan mengikuti Bapak itu dari belakang. Sejenak
Roger sangat salut dengan kebaikkan Bapak tua itu dan baru merasakan bagaimana
indahnya persaudaraan itu dalam Islam. Apalagi menjalin silaturrahmi antar
sesama muslim dan hanya hal kecil yang dilakukan Bapak tua itu namun sangat
terkesan di hati Roger.
Tidak terlalu jauh
juga rumah Bapak tua tadi, akhirnya mereka sampai di depan rumah yang sangat
sederhana dan kecil. Namun Roger merasakan hal yang sangat aneh berada di
tempat itu, aneh bukan karena geli dengan tempatnya atau keadaannya. Namun rasa
aneh yang membuatnya merasakan nyaman, tentram berada di sana. Matanya masih
liar memandang kesana kemari melihat sekeliling rumah itu inci demi incinya.
Rasa haru dan penasaran Roger mulai berdatangan dengan keadaan rumah tersebut.
“Ini rumah Bapak
?” tanya Roger.
“Iya Nak Roger,
maaf rumahnya hanya sederhana dan kecil Nak Roger,” jawab Bapak tua tadi dengan
ramah.
“Ngggakk apa-apa
kok Pak, ini sudah lebih daripada cukup,” jawab Roger sambil sedikit gugup.
“Silahkan duduk
Nak Roger.”
“Bu, Tolong
ambilkan airnya ya,” suara Bapak tua itu kepada isterinya.
“Iya bentar Pak,”
suaranya dari dapur.
“Kira-kira kenapa
Nak Roger bisa sampai ke sini ?” Bapak tua itu membuka perbicaraan.
Beberapa detik
Roger masih belum menjawabnya dan sedikit canggung dengan jawabannya yang akan
dia lontarkan. Namun dia masih belum berani menyampaikan kepada Bapak tua itu
kalau dia kabur dari rumah.
“Begini Pak, saya
kesini ingin mencari pekerjaan dan apapun pekerjaan yang Bapak berikan saya
terima. Walaupun tidak dibayar juga tidak apa-apa,” jawab Roger dengan sedikit
mengalihkan pembicaraan.
“O...jadi begitu
toh, kalau masalah pekerjaan Nak Roger bisa membantu saya bekerja di kebun
untuk sementara waktu. Tapi apakah Nak Roger tidak keberatan bekerja di kebun
saya ?”
“Tidak apa-apa kok
Pak, tapi...,” Roger menghentikan pembicaraannya.
“Tapi apa Nak
Roger ? Apakah Nak Roger tidak biasa bekerja di kebun ?” tanya Bapak tua itu
dengan cepat.
“Bukan itu
maksudnya Pak, tapi saya belum ada tempat tinggal disini Pak,” sambil memandang
lantai rumah Bapak tua itu.
“Saya kira apa
tadi Nak Roger, kebetulan saya ada kamar kosong di belakang dan kalau Nak Roger
mau bisa menempati kamar itu. Gimana Nak Roger ?”
“Boleh Pak,
asalkan Bapak tidak keberatan saja ruangannya saya pakai.”
“Tidak masalah kok
Nak Roger.”
“Silahkan diminum
airnya Nak ? Ini ada sedikit kue juga,” Sapa isterinya.
“Iya Buk,
terimakasih Buk,” jawab Roger.
Perbincangan demi
perbincangan dari satu topik ke topik lainnya dan dengan cepat Roger dan Bapak
tua itu semakin akrab. Apalagi Bapak tua itu suka dengan catur dan kebetulan
Roger juga suka bermain catur. Akhirnya perbincangan dan serang-menyerangpun
dalam bermain catur semakin seru. Beberapa menit kemudian score sama
berat satu kali menang dan satu kali kalah (draw) begitu juga sebaliknya
untuk Bapak tua itu.
Semakin hari
kedekatan Bapak tua, isterinya dan Roger semakin dekat. Roger merasakan bahwa
mereka adalah sama seperti orang tua sendiri dan rumah sendiri. Dia tidak
merasa menumpang lagi di sana, bahkan setiap hari mereka bekerja di kebun
mereka. Selain itu Bapak tua dan isterinya juga menganggap Roger sebagi anaknya
sendiri dan bukan lagi orang lain.
Hari-hari Roger
semakin merasakan kebahagian hidup yang sebenarnya dan hangatnya rasa kebersamaan
ditengah-tengah keluarga, bercanda, bercerita, bekerja sama dan hal lainnya.
Sebelumnya Roger tidak pernah merasa hal yang seperti ini di tengah-tengah
keluarganya dan mungkin karena orang tuanya yang sibuk dengan pekerjaannya
sehari-hari, hingga waktu senggangnya untuk bersama-sama tidak ada. Ternyata
Roger baru merasakan beginilah indahnya hidup itu dan kesederhanaan bukanlah
suatu hal yang sangat sulit. Namun dibalik kesederhanaan itulah terciptanya
rasa syukur kepada Yang Kuasa dan kebagiaan batin serta kenyamanan menjalani
kerasnya kehidupan ini.
Enam bulan
kemudian.
Tanpa terasa waktu
berlalu dan hari, minggu berganti bulan. Roger sangat disayangi dan dicintai
oleh orangtua angkatnya itu, walaupun bukan terlahir dari rahimnya. Banyak hal
yang sudah mereka lalui bersama susah dan bahagia terasa begitu indah, serta
Roger juga mendapatkan pengajaran tentang Islam dari Bapak angkatnya. Selain
itu juga mengajarkan bagaimana cara shalat, membaca Al-Quran dan pelajaran
Islam lainnya. Selain itu Roger juga sering dibawa oleh Bapak angkatnya
mengikuti pengajian-pengajian tentang Islam di sebuah pondok pesantren yang
tidak terlalu jauh dari rumah mereka.
Selain itu Roger
juga sudah kenal dekat dengan guru-guru agama disana dan juga teman-teman di
pondok itu. Kebaikan Roger bukan hanya dirasakan oleh orangtua angkatnya maupun
tempat menimba ilmunya, namun juga diterapkannya untuk sesama muslim serta
siapa saja yang membutuhkan pertolongannya.
***
“Papiiii...”
teriak isterinya dari kamar anaknya.
“Ada apa Mam ?” selidik
suaminya sambil berlari menuju kamar.
“Lihat Papi, anak
kita sudah meninggalkan rumah ini,” sambil menyerahkan selembar kertas.
Dari : Roger
Saat Papi dan Mami
membaca surat ini, Roger sudah tidak ada disini lagi. Maafkan saya yang tidak berani
menyampaikannya lansung dan saya pergi untuk menemukan siapa diriku sebenarnya
dan jati diriku. Papi, Mami tidak usah mencari saya karena saya akan kembali
lagi ke rumah ini setelah saya menemukan jawabannya dari semua pertanyaan yang
ada dalam pikiranku selama ini. Tolong maafkan saya, jika selama ini banyak
merepotkan semua dan ridhoilah perjalananku ini.
Aku
menyanyanyi kalian.
Mereka sangat menyesal
dengan keputusan anaknya itu dan merasa tidak bisa mendidiknya anaknya dengan
baik. Mereka sadar dan terlalu sibuk dengan pekerjaannya selama ini dan tidak
pernah memperhatikan anaknya. Tanpa terasa air mata mereka bagaikan tidak
terbendung lagi dan sepasang suami isteri itu berpelukan. Ada perasaan takut
dan cemas melepaskan anak semata wayangnya untuk meninggalkan rumah. Serta ada
perasaan kagum dengan keputusan anaknya, namun tidak kuasa rasanya ia harus
membiarkan anaknya itu pergi.
“Mam, bagaimana
jika kita membayar orang lain untuk mencari dan memantau keberadaan anak kita
?” suaminya meminta pendapat isterinya.
“Ide yang bagus
Pi,” jawab isterinya.
Suaminya mempunyai
teman yang baik serta sudah lama mereka menjalin ikatan persahabatan itu sejak
masih SMA. Dia membicarakan hal itu kepadanya dan temannya itu memberikan ide
kalau anaknya bisa membantu mencari Roger. Lagipula Roger belum pernah bertemu
dia dan belum saling kenal mungkin dia tidak merasa akan diawasi dan dipantau
jika sudah bertemu.
Akhirnya kesepatan
itupun disetujui Ayah Roger dan memberikan sebuah foto anaknya untuk mencari
tahu keberadaannya itu. Namun misi itu sangat dirahasiakan oleh mereka dan
tidak ingin nantinya anaknya kecewa dengan tindakan yang di ambil oleh orang
tuanya.
***
Siang itu Pak Kiai
datang mengunjungi perdiaman orang tua angkat Roger, namun perbincangan antara
mereka sangat menikmatinya. Namun Roger sibuk dengan membersihkan kebun yang
ada disamping rumahnya. Beberapa menit kemudian Bapak angkatnya memanggil untuk
bertemu dengan Kiai Arif sebentar.
“Udah dari tadi
datangnya Kiai ?” sapa Roger sambil bersalaman.
“Sudah lama juga
tapi saya tidak ingin mengganggu kerjamu Nak Roger,” sambil tersenyum kecil.
“Silahkan duduk
dulu Nak Roger, begini maksud kedatangan saya ke sini dan sudah berbicara
dengan Bapak angkatmu ini. Dia setuju jika kamu bisa mengajar di pondok
pesatren dan itu kembali kepada Nak Rogernya juga. Bagaimana menurut Nak Rger
?”
“MNnnnn...maaf
Kiai, saya masih harus banyak belajar agama lagi dan ilmu saya belum seberapa,”
jawab Roger.
“Bukan soal tinggi
rendahnya ilmu yang Nak Roger miliki tapi beberapa bulan ini saya perhatikan
Nak Roger sangat paham dan mengerti dengan dunia bisnis dan kalau itu
digabungkan dengan ajaran Islamnya akan sangat menarik untuk dikembangkan di
pondok pesatren. Lagipula kami saat ini sangat kekurangan guru di pondok
pesatren Nak Roger, kami sangat berharap Nak Roger bisa mengajar disana?” Pak
Kiai Arif mencoba menjelaskannya.
“Jika memang
seperti itu keadaannya dan saya siap untuk mengajar di pondok pesantren. Namun
saya masih perlu bimbingan Kiai untuk semua itu dan kemajuan pondok pesantren,”
jawab Roger dengan polos.
Akhirnya Roger
mengajarkan santri-santri tentang bisnis dalam ajaran Islam. Semakin lama mata
studi itu menjadi mata studi terfaforit di pondok pesantren dan akreditasinya
pun diakui pemerintah dengan angka “A.” Sungguh diluar dugaan Roger semua itu
dan Kiai pun sangat bangga dengan prestasi Roger tersebut. Selain mengajar di
pondok pesatren, dia juga menghabiskan waktu senggangnya untuk membantu orang
tua angkatnya bekerja di kebun.
Pagi-pagi sekali
Roger sudah berada di lingkungan pondok pesantren dan mempersiapkan semua bahan
ajarnya. Namun entah kenapa dia berpapasan dengan seorang wanita dan tidak
mengaja menabrak wanita itu yang sedang membawa beberapa buku pelajaran.
“Maafkan saya,
biar saya bantu,” ucap Roger sambil merapikan buku-buku yang berserakan.
“Tidak apa-apa
Ustadz, saya yang tergesa-gesa sampai-sampai tidak melihat Ustadz,” ucap
Ustazah itu.
“Sekali lagi maaf
Ustazah, saya baru pertama kali melihat Ustazah di sini ?” ucap Roger sambil
menyerahkan buku-bukunya.
“O...iya maaf,
saya belum memperkenalkan diri saya. Nama saya Khazanah Vika dan saya juga yang
akan mengajarkan santri-santri tentang kemajuan serta pertumbuhannya anak didik
secara Islami,” mencoba menjelaskan.
“Mata pelajaran
yang sangat bagus sekali untuk perkembangan pondok pesantren ini,” jawab Roger.
“O..iya saya masuk
kelas dulu Ustadz dan kebetuan loncengnya sudah berbunyi, mari,” dengan sangat
santun.
“Iya Ustazah saya
juga mau masuk kelas,” balas Roger
Hari demi hari
bertemu dengan Khazanah membuat Roger merasakan hal yang berdeda dengan
perasaannya. Bukan hanya itu dia juga mengamati tingkah laku Khazanah yang baik
hati, santun dan suka menolong. Kedekatan Roger dengan Khazanah sama dengan
guru-guru lainnya, namun entah apa yang membuatnya ingin sekali mengenal wanita
itu jauh lebih dalam.
Sore itu Roger
berniat untuk ke rumah Kiai Arif yang tidak terlalu jauh dari pondok pesantren.
Namun ketika dia masuk ke pekarangan rumah dan melangkah ke teras rumah Pak
Kiai.
“Tok...tok..tok, asssalamu
‘alaikum,” ucap Roger di depan pintu.
Belum ada jawaban
dari dalam rumah dan tiba-tiba terdengar langkah kaki dari dalam.
“Wa’alaikum
salam,” sambil membuka pintu.
Namun keduanya
sama-sama terkejut dengan kajadian itu dan pandangan mata mereka beradu
beberapa detik. Namun satu sama lain belum ada sepata katapun dari mereka.
“O...maaf,
bukannya kamu Ustazah Khazanah ?” ucap Roger.
“Iya, dan kamu
juga Ustadz Roger kan ?” jawab wanita itu.
“Memang Ustazah,
saya kira saya salah masuk rumah ini,” jawabnya sambil gugup.
“Memangnya mau
menemui Kiai ya Ustadz ?”
“Kok tahu Ustazah
?” sambil sedikit terkejut.
“Bukan salah rumah
tapi memang ini rumah Pak Kiai, silahkan masuk Ustadz. Biar saya panggilkan
dulu Kiai,” jawabnya sambil ke belakang.
Roger hanya
terkejut dengan kejadian itu, padahal dia sudah biasa ke tempat Kiai Arif namun
tidak pernah bertemu dengan Khazanah disana. Bahkan Kiai Arif juga tidak pernah
mengatakan kalau dia juga memiliki seorang anak seperti Khazanah. Berbagai
pertanyaan menghantui pikirannya dan membuatnya penasaran. Beberapa menit
menunggu dan akhirnya Kiai Arif datang juga menemui Roger.
“Sehat Kiai,” ucap
Roger sambil bersalaman.
“Alhamdulillah
sehat Nak Roger, sehat juga kan ?” balas Kiai Arif.
“Alhamdulillah
juga sehat Kiai. O...iya Kiai, tadi saya bertemu dengan Ustazah Khazanah, tapi
Kiai belum ada cerita sama saya tentang itu ?” mencoba mengusik rasa
dipikirannya.
“O...soal itu,
saya memang belum pernah cerita kepada Nak Roger dan lagipula beliau baru lulus
S2 di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Saya sengaja menyuruhnya untuk
mengajar dulu di pondok pesantren untuk bisa mengembangkan keahliannya dan
membantu pondok untuk ke depannya,” jalas Kiai Arif.
“Iya Kiai saya
mengerti, tadi saya kira salah masuk rumah ketika bertemu dengan Ustazah Khazanah
di depan,” sambil tertawa kecil.
“Tidak kok Nak
Roger, dia adalah anak bungsu dan hanya dia satu-satunya perempuan. Namun
terkadang dia suka manja gitu sama saya dan Ibunya, tapi saya akui dia sangat
suka belajar ataupun menimba ilmu,” jelas Kiai Arif.
“Silahkan diminum
airnya Ustadz,” ucap Khazanah sambil meletakkan air dan beberapa makanan di
atas meja.
“Terimakasih
Ustazah,” jawab Roger.
Khazanah hanya
mengangguk kecil dan kembali ke belakang. Namun banyak sedikit dia tahu apa
yang mereka bicarakan mengenai dirinya. Suara azan magrib mengakhiri perbincangan
mereka dan Roger pun berpamitan pulang ke rumahnya.
***
Beberapa bulan
kemudian.
“Nak Roger bisa
saya berbicara sebentar,” ucap Kiai Arif.
“O...silahkan
Kiai,” jawab Roger.
“Ayo kita ke
ruangan saya saja,” sambil berjalan menuju ruangan kepala.
“Silah duduk Nak
Roger,” ucap Kiai Arif.
“Iya Kiai.”
“Tujuan saya
menyuruh Nak Roger kesini adalah pertama untuk menyampaikan pesan dari anak
saya Khazanah. Beberapa hari yang lewat dia cerita kepada saya dan dia katanya
tidak berani menyampaikannya langsung kepada Nak Roger, bahwa dia menyukai Nak
Roger. Tujuan yang kedua, permintaan saya sebagai orang tuanya Khazanah untuk
segera mungkin menikahi dia. Itupun jika Nak Roger belum punya calon, bagaimana
Nak Roger ?” Mencoba menjelaskan.
“Begini Kiai,
sebenarnya saya sudah memiliki calon sejak tiga bulan yang lalu. Namun,,,,”
Roger mencoba berpikir.
“Saya juga tidak
memaksa Nak Roger untuk menyetujui permintaan saya ini dan saya sangat paham
dengan situasi Nak Roger,” sela Kiai Arif.
“Bukan begitu
maksud saya Kiai, calon yang Kiai rekomendasikan itu adalah...dia...orang yang
sama dengan pilihan saya dulu Kiai,” jawab Roger sedikit gugup.
“Terimakasih Nak
Roger, saya sangat senang mendengarkannya. Kira-kira kapan pernikahan Nak Roger
dan Khazanah akan kita langsungkan ?” tanya Kiai.
“Tapi Kiai, saya
belum mempersiapkan segalanya untuk pernikahan ini,” jawabnya.
“Tidak apa-apa,
saya tidak memintamu untuk membelikan rumah atau mahar yang lebih daripada itu,
hanya cukup ‘Cinta Abadi’ kepada khazanah itu sudah cukup,” jawab Kiai Arif
sambil terseyum.
Tiba-tiba ada
suara kaki dari arah pintu ruang kepala.
“Walaupun maharnya
hanya ‘Cinta Abadi’ tapi itu sama dengan semua kekayaan yang kami miliki,” ucap
orang itu.
Roger dan Kiai
Arif terkejut dengan suara itu dan mengalihkan pandangannya kepada dua orang
itu. Beberapa detik Roger tidak percaya bahwa orang tuanya akan datang dan
bertemu dia di tempat itu.
“Papi, Mami,”
sambil memeluk keduanya.
Kiai Arif menjadi
saksi bahwa pertemuan anak dan orang tuanya menjadi dramatis dan penuh dengan
air mata. Beberapa menit kemudian, orang tua Roger mengatakan hal yang
sebenarnya dan hal-hal lain mengenai keluarganya. Akhirnya Roger menemukan
cinta sejatinya dan jauh lebih sempurna setelah mereka melangsungkan pesta
pernikahan seminggu setelah kejadian itu. Bahkan orang tua Roger sudah
mengadari kesalahannya dan tidak ingin hal yang sama terjadi lagi dengan anak
satu-satunya.
0 komentar:
Posting Komentar