Sejak
kepergian sang ayah tercinta anak itu berubah drastis, tidak seperti biasanya.
Anak itu sebelum kepergian sang ayah sangat periang dan tidak sedikit
teman-temannya yang bermain dengannya. Bahkan masa-masa kecilnya dilalui
sebagian besar dengan bermain. Belum mampu menikmati kebersamaan dengan sang
ayah dan bisa dihitung jari, namun Allah berkehendak lain. Sejak saat itu tidak
banyak kegiatan yang yang dilakukan anak itu, walaupun teman-temannya sering
mencoba untuk mengajaknya bermain kembali.
Berasal
dari keluarga sederhana tidak menuntut banyak hal kepada sang Ibu, walaupun dia
iri dengan berbagai mainan baru teman-temannya. Namun dia tidak pernah merasa
tertinggal karena teman-temannya masih meminjamkannya setiap bermain. Mempunyai
teman-teman yang baik dan saling membantu satu sama lain.
Ketika
masa-masa seragam putih merah harus berakhir, maka mau tidak mau dia harus
sekolah di luar daerahnya sendiri. Hari-hari yang biasanya dihabiskan dengan
teman-teman dan sering bisa bertemu orang tua serta kakak-kakak di rumah. Namun
hal yang tidak bisa dihindari lagi bagi anak usia yng masih kecil adalah hidup
mandiri demi mencapai pendidikan yang lebih baik. Awalnya sungguh berat bagi
seorang anak kecil yang belum belajar banyak hal sebelumnya.
Setiap sekali seminggu Ibunya tetap melihat
perkembangan anak sulung dalam pengajian wiritan.
“Bagaimana tinggal disini Nak ?” sapa Ibu Irvan
setelah acara wiritan selesai.
“Enak Bu,” jawab Irvan.
“Rajin-rajin belajar dan jangan nakal Nak,”
pesan Ibu Irvan.
“Iya Bu, terima kasih.”
Memasuki semester dua di MTsN Sungayang, Irvan
tinggal di Panti Asuhan Aisyiyah Sungayang. Disana Irvan belajar banyak hal dan
menemukan teman-teman baru yang membuatnya tidak pernah kesepian, walaupun jauh
dari orang tua. Awalnya Irvan sempat merasa canggung dengan rumah baru,
teman-teman barunya serta tempat baru disana, namun dengan berjalannya waktu
dan beradaptasi dengan cepat. Hidup mandiri yang dipelajari Irvan dari Bapak
Angkatnya serta teman-teman lainya disana.
Selain itu Irvan juga mendapatkan teman-teman
baru di sekolahnya, walaupun tidak terlalu pintar dalam belajar. Namun disegi
lain Irvan menjadi idola sekolah yaitu memiliki kemampuan dalam bermain bola
dan teman-temannya mengakui hal tersebut. Namun tidak sedikitpun rasa sombong
diperlihatkan Irvan dan selalu merendahkan diri.
Suatu pagi ketika jam istirahat berbunyi Irvan
yang biasanya ikut berbaur dengan teman-teman lokalnya untuk makan di warung
yang tidak jauh dari sekolahnya. Kebetulan disana ada dua buah sekolah yang
saling berdekatan yaitu SMP Sungayang dan MTsN Sungayang. Setiap keluar main
sekitar sekolah itu terlihat sangat ramai dengan hilir mudik anak sekolah.
Namun hal yang menarik bagi Irvan ketika dia
tidak sengaja menabrak seorang perempuan dari siswa SMP yang sama-sama akan
berbelanja di warung dekat sekolah. Namun hal aneh terjadi dan tidak biasanya
bagi Irvan, detak jantungnya derdenyut kencang dan tatapannya terus
memperhatikan wanita itu.
Namun beberapa detik kemudian.
“Maaf tidak sengaja,” ucap Irvan sedikit
gemetar.
“Ohhh...tidak apa-apa kok,” sambil berlalu.
Makan bersama teman-teman di warung itu adalah
kebiasaan Irvan setiap harinya. Ketika waktu belajar dimulai kembali pikiran
Irvan melayang dengan wanita yang ditabraknya di warung makan. Namun Irvan
mencoba mengingat-ingat dan merasa wajahnya tidak asing baginya. Sejak saat itu
Irvan mencoba memperhatikan wanita itu ketika jam istirahat dan pulang sekolah.
Beberapa minggu kemudian secara tidak langsung
Irvan yang masih penasaran dengan wanita dari SMP itu, dia melihat wanita itu
menunggu jemputan untuk pulang ke rumah. Akhirnya Irvan mencoba mendekati
wanita itu dengan malu-malu.
“Nungguin siapa ya ?” ucap Irvan membuka
pembicaraan.
“Lagi nunggu orang tua,” ucap wanita itu.
“Ohh...saya juga sedang menunggu teman,
kenalkan nama saya Irvan ?” sambil menyulurkan tangannya ke depan wanita itu
dengan sedikit gugup.
“Panggil saja Nadia,” tanpa membalas salam
perkenalan Irvan.
“Ayo, Van kita pulang,” ucap teman Irvan
tiba-tiba.
“Saya duluan ya Nadia, senang berkenalan
denganmu,” sambil sedikit berlari mengejar temannya.
“Sama-sama Van,” dengan sedikit tersenyum.
***
Ketika jam sekolah berlangsung, tiba-tiba saja
suara pintu terbuka dari luar. Seorang siswa dan seorang guru memasuki kelas.
“Maaf menganggu proses belajarnya Buk, ini saya
mengantarkan siswa baru dan akan belajar di kelas VII A ini,” ucap guru itu di
depan pintu.
“O...terima kasih Buk, silahkan masuk Nak,”
ucap Buk Devi.
“Iya Buk,” sambil berjalan ke depan kelas.
“Ayo kenalkan dulu nama dan alamatmu Nak ?”
“Baiklah, kenalkan nama saya Riendra dan saya
tinggal di DKI,” ucap anak itu.
Semua mata tertuju pada anak itu dan gurunya
juga, mencoba mencerna perkataan anak itu satu demi satu. Namun sang guru yang
penasaran dengan sianak mencoba bertanya.
“Anak pindahan dari Jakarta ya ?”
Sambil tersenyum siswa baru itu menjawab,
“Bukan Buk, ‘DKI’ itu kepanjangan dari Daerah Kabun Indah.”
“O..gitu, kirain memang DKI aslinya, silahkan
duduk di kursi yang kosong diujung.”
“Iya Buk, terimakasih Buk,” ucap Riendra sambil
berjalan.
Namun ternyata dari tadi ada dua anak perempuan
yang sedang membicarakan anak baru tersebut. Akhirnya jam belajar Bahasa
Inggris pun kembali dilanjutkan Buk Devi kembali. Semua siswa terlihat sangat
antusias dengan pelajaran yang sedang berlangsung itu. Namun suara bel terpaksa
harus menghentikan jam pelajaran itu untuk lima belas menit ke depannya.
“Ayo cepat Nad, lihat di mading ada puisimu
yang di tempel disana,” ucap Nila.
Mereka pun berjalan menuju mading sekolah yang
tidak terlalu jauh dari lokalnya.
“Lihat itu ?” telunjuk Nila mengarah puisi
disana.
“O..syukurlah sudah ditempelkan di mading Nila,
bagus nggak puisinya ?” ucap Nadia dengan semangat.
“Tunggu, dibaca dulu ya Mbak...hehehe.”
Hujan dalam Luka
Hujan
ini ingin menyampaikan sesuatu
Aku tahu
Tapi aku
pura-pura tak memahami kesedihan
Aku
sudah cukup sakit dengan semua ini
Goresan
luka itu masih basah dan perih
Oh sial,
hujan itu membasuh luka itu lagi
Perih...
Aku
sudah tak kuat berhenti
Dapatkah
biarkan luka ini kering dulu ?
Biarkan
aku berteman bayang-bayangku saja
Jangan
lagi kau kirimkan hujan ini
Aku
telah membencinya.
By. Nadia
(Kelas VII A)
“Gimana Nila ucap Nadia lagi,” dengan tidak
sabar menunggu komentar dari sahabatnya.
“MNnnnnn, bagus puisinya Nad. Kapan bikinnya ?”
ucap Nila.
“Tiga hari yang lewat Nila, terimakasih ya. Ayo
ke kantin yuk ?” ajak Nadia.
Nadia memang suka menulis puisi dan selalu
diletakkan di mading sekolah dan bahkan dia sering keluar masuk ke dalam
perpustakaan sekolah. Entah sudah berapa puluh buku yang telah khatam dibacanya
dan buku yang paling sering dibawanya adalah buku novel dan sudah hafal dia
letak buku-buku itu karena sering ke perpustakaan sekolah. Umumnya sudah semua
novel di sana dia baca karena kecanduan membaca. Selain itu Nadia adalah salah
satu anak yang sangat berbakat, baik di kelas maupun di sekolah itu. Bahkan
namanya sudah hafal semua guru dan prestasinya sudah rahasia umum di SMP dan
semua anak tahu itu.
Selain suka membaca dan sering juga menulis
puisi, entah sudah berapa puisinya yang sudah ditempekan di mading sekolah. Ternyata
Nadia satu kelas dengan Riendra anak baru di sekolah itu.
“Ngomong-ngomong, ada puisi baru lagi tuh di
mading. Bagus puisimu Nad, belajar dimana ?” ucap Riendra ketika jam istirahat.
“Terimakasih Riend, biasa saja kali. Belajar
sendiri tuh Riend ? Memangnya kenapa ?” tanya Nadia.
“Hebat ya, bisa bikit puisi sebagus itu. Nggak
apa-apa juga sih.”
Secara diam-diam ternyata Riendra memilik rasa
yang tidak berani dia ungkapkan kepada Nadia. Memang sudah beberapa bulan ini
dia terus memperhatikan Nadia dan belum berani menyampaikan apa yang
benar-benar dirasakannya. Namun Riendra merasa kurang percaya diri dengan
dirinya dan takut jika Nadia tidak menerima cintanya. Namun Riendra mencoba
memendam rasa itu hingga dia bisa menyampaikan isi hatinya itu kepada wanita
idamannya.
“Bagaimana ya mengungkapkan perasaan kita
kepada orang yang kita sukai ?” ucapa Riendra.
“Nggak usah malu-malu menyampaikannya kepada
wanita itu Riend,” ucap temannya satu asrama.
“Kalau memang kamu suka sama dia, sampaikan apa
yang kamu rasakan sebelum disambar orang lain loh,” sambung temannya.
“Iya juga ya Van, besok aku coba menyampaikan
itu kepadanya,” dengan tersenyum kecil.
“Bagus itu Riend lebih cepat lebih baik, btw..siapa
wanita itu Riend ?” dengan penasaran.
“Wanita itu teman sekelas dan juga pintar Van,
jika dibandingkan aku sama dia merasa minder juga Van.”
“Nggak usah dipikirkan diterima atau tidak
dulu, yang penting sampaikan apa yang kamu rasakan dan coba dulu. Sebelum
dicoba belum tahu kan hasilnya ?” balas Irvan.
“Benar juga saranmu Van, thanks ya ?”
“Ok, main futsal yuk Riend ?”
“Tunggu dibawah ya.”
Irvan dan Riendra adalah teman satu asrama di
Panti Asuhan Aisyiyah Sungayang, sejak tinggal disana dia menemukan teman-teman
baru dan rumah baru baginya. Walaupun jauh dari orang tua, namun rasa
kebersamaan yang mereka bangun setiap hari tidak pernah membuat Irvan merasa
sendiri.
Sudah seminggu Riendra masih tidak berani
mengungkapkan rasa yang sudah lama dipendamnya. Keberaniannya menjadi cuit seketika
melihat perbedaan antara dirinya dan orang yang ditaksirnya itu.
“Sudah jadi disampaikan Riend ?” ucap Irvan
sepulang sekolah.
“Masih belum berani aku Van,” jawab Riendra.
“Memang siapa nama wanita itu Riend ?”
“Namanya Nadia Van. Memang kamu kenal dia ?”
“O...dia, sebulan yang lewat kami sempat
kenalan sama dia. Ketika itu pas kita pulang sekolah tapi, sampai saat ini
belum ada sekalipun bertemu. Baiklah bagaimana besok aku bantuin kamu ?”
“Boleh juga itu Van, makasih Van.”
“Iya,” jawab Irvan singkat.
***
Pagi itu Nadia sedang berkumpul dengan
teman-temannya membicarakan masalah kegiatan yang akan diadakan untuk mengisi
penampilan kelas mereka dalam rangka perpisahan kelas IX. Terlihat
teman-temannya sangat antusias merencanakan kegiatan mereka di dalam kelas.
“Bagusnya penampilan apa yang akan kita angkat
ya Nad ?” ucap Elmida.
“MNnnnn....menurut saya, bagaimana kalau kita
menampilkan puisi ?”
“Ide yang bagus itu Nad, namun bagusnya kita
kolaborasikan dengan cerita puisi itu. Gimana ?” tambah Lusy.
“Ide yang bagus Sy, bagaimana sekalian jika
kita tampilkan peran orang yang mengambarkan sesuai dengan tema yang akan kita
tampilkan, namun hanya sebagai ilustrasi dari cerita yang akan diperankan ?”
tambah Nila dan Feby.
“Ok, baiklah nanti sepulang sekolah kita
lanjutkan diskusinya mengenai cerita yang akan kita angkat serta siapa yang
akan terlibat dalam kegiatan tersebut nantinya,” ucap Nadia.
Diskusi kelas itu pun berakhir dan terlihat
beberapa siswa kelas itu akan melakukan olahraga di halaman sekolah. Buk Nova
sebagai guru olahraga sudah mulai memimpin para siswa untuk melakukan pemanasan
sebelum memulai orahraga lainnya. Tanpa terasa waktu berlalu sepulang sekolah Riendra
sengaja menunggu Irvan di depan sekolahnya, beberapa menit kemudian Irvan
muncul.
“Sudah lama Riend ?” tanya Irvan.
“Belum juga Van, please bantu aku ya Van
?”
“Ok Riend, btw dimana Nadia sekarang ?”
“Masih menunggu jemputan Ayahnya,” sambil menunjuk
Nadia.
Namun Riendra terlihat sedikit khawatir karena
seorang teman Riendra sudah lama berbicara dengan Nadia di bawah pohon rambutan
itu. Entah apa yang dibicarakannya namun terlihat beberapa kali Nadia tersenyum
dengan teman Riendra itu. Namun entah bagaimana terlihat seorang laki-laki
menuju Nadia dan teman Riendra itu.
“Andi, ada yang perlu kita bicarakan sebentar,”
sambil menarik tangan Andi.
“Sebentar ya Nad ?”
Terlihat perbincangan antara Andi dan Angga
sedikit menjauh dari Nadia. Namun di lain pihak dua orang laki-laki sedang
memperhatikan kejadian yang sedang berlangsung itu.
“Apa kamu suka dengan Nadia Andi ?” ucap Angga
dengan nada tidak enak.
“Iya memangnya apa masalahnya denganmu ?”
“Aku juga suka sama Nadia, bagaimana kalau kita
besok balapan motor ? jika kamu kalah konsekuensinya jangan lagi dekati Nadia,
namun jika aku kalah aku sendiri yang akan menjauhi Nadia. Bagaimana ?”
“Boleh, kuterima tantanganmu,” sambil menetap
mata Angga.
Sore itu juga jemputan Nadia sudah datang dan meninggalkan
beberapa orang disana. Namun Andi mendekati Riendra dan beberapa temannya di
warung dekat sekolah diantaranya Firdaus, Rio dan Adek.
“Riendra besok aku mau belapan dengan anak
lokal B,” ucap Andi.
“O...Angga tadi ya Di ?” balas Riendra.
“Iya, dia menantang aku untuk balapan
memperebutkan Nadia, jika aku kalah maka aku harus menjauhi Nadia sedangkan
jika aku menang maka Angga akan menjauhi Nadia. Besok kamu bantu aku ya Riend
?”
“O...begitu, baiklah.”
Mengetahui teman satu SD dengannya dulu juga menyukai
Nadia dan banyak orang-orang yang menyukai Nadia, Riendra semakin minder untuk
menyungkapkan perasaannya. Padahal dia sudah tidak sabar menunggu kesempatan
itu. Sedangkan dia juga tidak ingin merusak persahabatannya dengan Andi, hanya
gara-gara memperebutkan seorang wanita. Akhirnya dia mengurungkan niatnya untuk
mengungkapkan rasanya itu kepada Nadia.
Sepulang sekolah terlihat beberapa anak
laki-laki mulai berkumpul membagi dua kelompok. Berita persaingan antara Andi
dan Angga pun sudah tersebar luas di sekolah mereka, entah siapa yang
membocorkan berita itu. Namun Andi sudah siap dengan motornya dan beberapa
temannya sudah berkumpul didekatnya. Bahkan Angga juga tidak mau kalah dan
sudah siap dengan motornya serta teman-temannya disana.
Namun mereka hari ini memperebutkan Nadia sang
bintang sekolah dan terlihat suasana persaingan yang hangat di kedua belah
pihak. Terlihat kedua pesaing sudah mengambil tempat disisi kiri dan kanan.
Rute yang mereka tempuh adalah MAN 1 Batusangkar-Jorong Empat-Jorong
Lima-Simpang Talioguang dan finish.
Tidak mau kehilangan momen Irvan, Habib dan
Gustem juga menyaksikan persaingan antara kedua pihak itu. Namun mereka tidak
mendukung salah satunya, hanya Riendra yang menjadi pendukung Andi karena teman
lama dan juga satu daerah. Akhirnya balapan dimulai dan terlihat Angga memimpin
meninggalkan Andi 10 detik dibelakangannya. Namun Andi tidak mau kalah dengan
Angga. Hingga melewati rute terakhir Angga masih memimpin, jalanan lurus dan
menurun membuat Andi mulai menipiskan jarak ketinggalannya. Namun yang yang
tidak disangka-sangka datang.
Sebuah bus berhenti mendadak di simpang empat
Talioguang, namun dengan sigap Angga memperlambat laju motornya. Sedangkan Andi
terus menggas motor dan menyelip ke bagian sambing bus, akhirnya hanya
menyisahkan beberapa meter menjelang garis finish Andi berhasil
mendahului Angga.
Akhirnya Andi berhasil mendekati Nadia dan
Angga menerima konsekuensi dari kekalahannya. Bahkan Nadia dan Andi sering
terlihat berdua dengan Andi, bahkan pulangpun Andi mengantarkan Nadia. Namun Riendra
yang melihat kejadian itu harus bisa menahan dirinya agar tidak mengganggu
hubungan antara Nadia dan Andi.
Akhir-akhir perpisahan kelas tiga dan setelah
lulus semuanya memencar mencari sekolah-sekolah favorit masing-masing. Gustem
dan Irvan masuk ke MAN 1 Batusangkar sedangkan Habib, Nadia, Nila, Lusy, Elmida
dan beberapa anak lainya masuk ke SMAN 1 Sungayang. Namun Feby memilih untuk
melanjutkan ke MAN 2 Batusangkar di Limo Kaum, lain halnya dengan Riendra
memilih untuk pergi merantau ke Jakarta. Perbedaan sekolah dan kurangnya
komunikasi lagi membuat persahabatan mereka sedikit renggang, hanya teman-teman
yang satu sekolahlah yang terus menjalin persahatan.
***
Beberapa tahun kemudian, terdengar kabar yang
memilukan bahwa kakaknya Riendra mengalami kecelakaan maut di Jakarta. Hari itu
jasatnya dibawa pulang dan Riendra pun juga pulang untuk memakamkan jasat
kakaknya. Malam itu juga Irvan mendapatkan kabar dari kakaknya dan langsung
menuju rumah Riendra di Taratak. Selain itu antara Irvan dan kakak Riendra juga
satu asrama di Panti Asuhan Aisyiyah Sungayang dulunya.
“Maaf Riend telat datangnya karena baru
mendapatkan kabarnya,” ucap Irvan kepada Riendra.
“Nggak apa-apa Van,” terlihat wajah Riendra
sedikit pucat.
“Kenapa bisa terjadi begini Riend ?”
“Dia ikut ke Bandung untuk membeli barang-barang
toko dan dalam perjalanan kecelakaan pun terjadi, mungkin sudah ajalnya Van,”
matanya menerawang mengingat masa-masa bersama sang kakak.
“Saya turut bersedih dengan kejadian ini Riend,
semoga kamu tetap sabar menerima semua ini karena selalu ada hikmah dibalik
semua kejadian itu,” Irvan mencoba menghibur Riendra.
Beberapa menit Irvan disana dan akan pulang ke
rumah, tiba-tiba sana Riendra mengatakan hal yang tidak berhubungan dengan
topik pembiracaan di awal mereka.
“O..ya Van, insya Allah jika jadi nantinya akan
kuundang kamu dalam pernikahanku dengan Nadia.”
Catt: Cerita ini berkaitan dengan cerbung
Desmalina Agustini dengan judul “Nikah Muda.”
0 komentar:
Posting Komentar